Suara Merdeka Facebook, Fundamentalisme, dan Indonesia Ditulis Oleh Fahd Riyadi
04-06-2009, Facebook situs web jejaring sosial yang diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang lulusan Harvard dan mantan murid Ardsley High School. Keanggotaannya pada awalnya dibatasi untuk siswa dari Harvard College. Setelah itu keanggotaannya ditambah ke universitas-universitas lain di Amerika, hingga akhirnya facebook merupakan situs jejaringan yang sangat fenomenal ini, merupakan situs jejaring sosial yang paling sukses di dunia, melapaui Friendster yang merupakan situs serupa. Maka tak heran jika situs ini menjadi favorit sebagai media pertemanan atau silahturahmi tanpa batas ruang dan waktu. Namun baru-baru ini di Jawa Timur, sekitar 700 ulama dari Jawa dan Madura berkumpul, dan dari momen ini keluar fatwa yang sangat kontroversi, dimana para ulama tersebut mengeluarkan fatwa yang mengharamkan facebook. Sentak fatwa ini menjadi perbincangan hangat dikalangan pengguna facebook. Ironis sekali, dimana fatwa ini terkesan sanggat bias sekali, karena ditengarai dan di khawatirkan menjadi ajang pergaulan bebas, perselingkuhan, yang menjuru ke perzinahan, dan hal negatif lainnya seperti penipuan dan criminal dunia maya (cybercrime). Sebagai mahasiswa saya sangat terbantu sekali dengan facebook, untuk diskusi, tugas wawanacara, dan sebagainya. Keluarnya fatwa haram "facebook" ini oleh ulama yang menurut saya fundamentalis tak berdasar ini, memnunculkan anggapan, bahwa umat Islam belum dewasa, dimana dipaksa dan menggantungkan diri pada otoritas diluar dirinya dalam menilai segala sesuatu. Dalam hal ini otoritas agama via ulama. Fatwa bias dan di biasakan, jika facebook ditinjau dari sisi negatif saja. Pemanfaatan Facebook dalam rangka berkomunikasi guna menggali atau tukar ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat, hal itu tidak bisa dibilang haram. Tidak heran jika nanti akan keluar fatwa yang mengharamkan Blog, Inernet itu sendiri, bahkan telepon Selular atau HP, jika ditinjau dari segi negatif dan indikasi dosa saja, toh, setiap inovasi dan produk IT (information technology) tak lepas dari tindakan penyalahgunaan. Hal ini pun sudah diatur dalam undang-undang, salah satunya, Pasal 27: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan: (i) yang melanggar kesusilaan; (ii) muatan perjudian; (iii) penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, (iv) pemerasan dan atau pengancaman. Dapat dikenakan penjara max 6 tahun. Denda max 1 Milyar Rupiah, pasal 45 ayat (1). Fundamentalisme Istiah "fundamentalisme" berasal dari kata latin "fundamentum", yang berarti "dasar". Istilah fundamentalisme mulanya lahir di lingkungan orang Kristen di Amerika pada awal abad ke-20, sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Namun, sekarang ini kata fundamentalisme sudah menjadi trademark yang dipakaikan pada semua agama (Kristen, Islam, Yahudi, Hindu, Buddha, dan lain-lain) yang berjuang untuk mempertahankan ajaran-ajaran fundamental (dasar) agama itu secara konservatif di mana teks-teks kitab suci cenderung dipahami secara harfiah tanpa melihat konteks penulisannya. Setiap individu dapat memilih mana yang baik dan tidak bagi dirinya, bukan melalui penekanan yang dogmatis, terhadap hal yang bersifat "kebebasan individu (civil liberty), budaya fatwa di Indonesia, sudah memasuki tahap keranah publik yang mengakibatkan politisasi agama "kepentingan", terutama oleh kaum fundamentalis Islam, politisasi agama sama dengan politik fundamentalisme yang mengaduk kepentingan politik pragmatis dengan teologi menjadi ideology agama. Fundamentalisme tidak memberikan ruang terhadap kritik, perbedaan pendapat, dan toleransi. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah bentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk ekapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Selama ini, perhatian umat islam dalam mengkajji al-Qur'an cenderung lebih tertuju pada ayat-ayat hukum atau "ayat-ayat al-ahkam". Kita juga melihat adanya tendensi untuk untuk memandang al-Qur'an sebagai kitab hukum, suatu dokumen yang hanya memuat aturan-aturan yang kurang lebih mirip KUHP. Di satu pihak, ini menunjukan gelala yang baik yaitu bahwa umat Islam sadar hukum "law abiding society". Tetapi cenderung hanya sadar hukum agama, tidak pada hukum publik. Pemandangan pelangaran hukum publik. hukum lalu lintas tak ditaati. Antri tidak menjadi budaya. Suka main hakim sendiri. Dst. Ini seakan merupakan pembenaran dari ungkapan Muhammad Abduh yang popular itu, "saya melihat Islam di Barat, meski tak melihat orang Islam; saya melihat orang Islam di Kairo tapi tak melihat Islam disana". Saya bagian dari Bangsa Indonesia, dimana, sebagai warga Negara Indonesia, saya menyanyikan Indonesia Raya, berikrar pancasila, dan bersemboyan Bhineka Tunggal IKa, bukan mengucap tiga kali kalimat syahadat. Kampanye-kampanye yang meneriakan demokrasi kufur, tegakan khilafah islamiyah dan syariat islam di Indonesia, untuk membentuk teokrasi (theocracy). Teokrasi adalah system pemerintahan sebuah Negara yang di kepalai (dikuasai) oleh seorang pemimpin agama. Hal ini membuat saya berpikir, apakah mereka tidak memahami Indonesia, terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, agama, dan memiliki 17000 pulau, dimana semboyannya Bhineka Tungal Ika (unity in diversity). Yang mengenai ini semua sudah diajarkan semenjak SD, namun disini tak akan dibahas mengenai kegagalan guru SD dalam memupukan pendidikan PPKN dan IPS, ataukah karena seorang siswa SD yang memang sudah berhaluan oposan (oposisi) di kelasnya dan cenderung bergeming. Kita bangga bahwa Indonesia merupakan Negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika. Tapi politisasi agama, gerakan politisasi agama ini cenderunglaku keras. Partai-partai berbasis agama (Islam, Kristen, Katolik) bermunculan. Gerakan-gerakan fundamentalisme ini cenderung mengabaikan prinsip-prinsip toleransi dan hak asasi. Saya ingin memandang suatu masa depan dimana Islam justru memperkuat ruang publik, bukan dipandang sebagai masyarakat hukum diluar otoritas hukum diluar hukum Negara. kita harus dapat membedakan mana nilai-nilai islam yang paling fundamental dan mana yang merupakan pengaruh dan budaya arab, dalam segi politik, sosial, dan kehidupan. Dengan demikian demokrasi kita akan kokoh, dalam kegiatan berbangsa dan bernegara Indonesia. Fahd Riyadi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Aktivis Demokrasi [Non-text portions of this message have been removed]