GELIAT FEMINISME ISLAM oleh Herri Permana
Isu feminisme Islam pada masa lalu masih berada pada level retorika teoritis saja , tapi pada saat ini mulai memasuki akar-akar teologis sehingga menandai isu baru Islam Indonesia pada pergantian abad ini bahkan bukan tidak mungkin suatu waktu hal ini bukan sekedar isu tapi akan memasuki level praxis.Seiring dengan diusungnya isu isu ini oleh sejumlah ulama maupun cendikiawan Islam mancanegara seperti Fatima Mernissi , Riffat Hasan , Amina Wadud , Ali Ashgar Engineer , dll , bermunculan pulalah para ulama dan cendikiawan muslim Indonesia yang mengusung isu ini seperti Prof Nasarudin Umar , Masdar F Mas'udi , KH. Husein Muhammad , Syafiq Hasyim , Jalaluddin Rakhmat , Said Agil al Munawar , Lies Marcos-Natsir , Wardah Hafidz , Zaitunah Subhan , Nurul Agustina , Siti Ruhaini dll. Akan tetapi bukan berarti pergerakan ini tidak mendapat tentangan , sebahagian ulama maupun masyarakat Islam khususnya yang beraliran konservatif mengkonotasikan feminisme islam secara pejorative .Pada banyak orang Indonesia -baik perempuan maupun lelaki- feminisme sering diasosiasikan kepada perempuan bebas, kebarat-baratan (juga kebanyakan 'murtad', menurut sebagian ustad). Tapi hal ini tidaklah menyurutkan para tokoh-tokoh tersebut untuk menggali sumber-sumber islam sendiri dan mencari akar-akar teologis untuk mendukung teori mereka bahwa gagasan kesetaraan jender sebenarnya sudah ada sejak masa lalu dan dimuat di sumber-sumber islam sendiri, bahkan secara paradigmatik membangun kerangka teoritis yang cukup kritis, dengan mengawinkan Islam sebagai sistem keyakinan dan analisis sosial (sebagai tools of analysis) sehingga menghasilkan pemikiran- pemikiran progresif yang cenderung lebih akomodatif terhadap persoalan kontemporer sebagaimana isu kesetaraan jender yang diusung kaum feminis. Bahkan di lingkungan NU yang terkenal sebagai kalangan yang konservatif , tradisionalis dan puritan seiring dengan dididirikannya sejumlah lembaga-lembaga untuk menampung kalangan cendikiawan NU baik yang berada dalam payung organisasi NU ataupun berada di luar NU misalnya Lakpesdam , LKiS dll sedikit demi sedikit sikap ambivalensi dalam menanggapi kemajuan dan perkembangan isu-isu kontemporer yang bahkan condong membuat dikotomi tajam terhadap ilmu agama dan ilmu sekluer mulai ditinggalkan.Bahkan akhirnya NU malahan berhasil melahirkan cendikiawan-cendikiawan muda bahkan kyai-kyai dan nyai-nyai yang berpikiran progressif tapi tanpa melepaskan akar kultur pesantren yang menjadi ciri khasnya.Wacana-wacana feminisme yang dulu dianggap sinis oleh sebahagian ulama NU bahkan dianggap sebagai sesuatu yang "kotor" akhirnya mulai diterima sebagai sebuah wacana yang memberi jendela pemikiran baru yang memperkaya wajah NU.Bahkan NU menjadi terlihat lebih modernis dan moderat dibandingkan Muhammadiyah yang dianggap sebagai organisasi kaum modernis dan moderat. Kongres alim ulama NU di Lombok pada tahun 1997 yang mengeluarkan keputusan dibolehkannya perempuan menjadi presiden menjadi tonggak kemenangan perjuangan para feminis islam dalam tubuh NU bahkan dianggap lebih maju daripada putusan majlis tarjih Muhammadiyah tahun 1976 yang hanya memperbolehkan perempuan berpolitik dan menjadi hakim ( dimana NU mengeluarkan putusan yang hampir serupa pada era 50 an dan 60 an ). Bahkan pada Seminar Fikih Perempuan (fiqh al nisa) di Baturaden, Banyumas tanggal 16-17 juli 1999 yang diadakan oleh panitia Muktamar XXX NU para nyai-nyai muda secara lantang menyuarakan tuntutan untuk melakukan reinterpretasi-reinterpratasi atas nash-nash agama yang berkaitan dengan perempuan sehubungan perubahan masa dan cara pandang masyarakat yang menyetarakan gender.Hal ini memperlihatkan bahwa NU telah menjadi organisasi islam terdepan yang menyuarakan tuntutan-tuntutan kesetaraan jender. Tapi angin perubahan yang diinginkan oleh para feminis islam nampaknya masih akan menghadapi banyak rintangan karena otoritas penafsiran atas nash-nash agama masih dianggap sebagai monopoli sejumlah kalangan bahkan keabsahan penafsiran tersebut seringkali mengarah pada klaim kebenaran secara mutlak (sehingga menyuburkan fanatisme ulama dan ummat terhadap wacana konservatif) dan mengingat masih minimnya jumlah ulama perempuan sehingga menyiratkan kekuatiran api harapan yang muncul bisa jadi padam kembali. Bandung , 8 Agustus 2001