http://www.sinarharapan.co.id/berita/0812/05/pol04.html

HAM Timtim Akankah Terus Menjadi Kerikil? 

Jakarta- Mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas pernah berujar, Timor Timur 
(Timtim)-sekarang Timor Leste-akan menjadi kerikil dalam sepatu diplomasi 
Indonesia, jika persoalannya tidak diselesaikan dengan benar.


Ungkapan mantan Menlu zaman Orde Baru (Orba) itu tidak perlu diragukan lagi 
kebenarannya. Timtim memang selalu menjadi kerikil dalam sepatu diplomasi RI, 
baik ketika ia masih bergabung dengan Indonesia ataupun sesudah melepaskan diri 
dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). 


Sebelum jajak pendapat 1999, Indonesia menjadi sorotan dunia internasional 
karena dianggap melakukan invansi ataupun penjajahan di Timor Lorosae. Kasus 
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terkenal dengan peristiwa Santa Cruz 
telah menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara yang melakukan penjajahan, 
sekaligus kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karenanya, Timtim harus merdeka. 
Segala upaya dilakukan Indonesia demi meyakinkan dunia internasional untuk 
meluruskan tudingan-tudingan itu dan meredam suara-suara yang mendukung 
kemerdekaan Timtim. Namun, gerak sejarah menuju tempat yang dipilihnya sendiri. 
Melalui Keputusan Presiden, Baharuddin Jusuf Habibie memberikan opsi kepada 
rakyat Timtim, memilih integrasi dengan Indonesia atau menolak integrasi. 


Hasil jajak menunjukkan, mayoritas rakyat Timtim menginginkan lepas dari NKRI 
serta berdiri menjadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Namun, bukan 
berarti persoalan selesai. Kerusuhan yang terjadi sebelum jajak pendapat tahun 
1999 telah merenggut banyak korban tewas. Indonesia akhirnya dituding telah 
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dewan Keamanan (DK) PBB pun 
memutuskan untuk menggelar peradilan HAM internasional. Beruntung, RI berhasil 
meyakinkan PBB supaya perkara itu tidak dibawa ke pengadilan internasional. 
Indonesia berjanji menyelesaikan persoalan tersebut di dalam negeri. 


Permintaan Indonesia itu disetujui oleh PBB dan kemudian dibentuklah pengadilan 
HAM sehingga sejumlah petinggi militer diadili. Namun, keputusan pengadilan 
yang membebaskan seluruh terdakwa membuat PBB berang. Indonesia dianggap hanya 
main-main. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Kofi Annan memerintahkan 
pembentukan Komisi Ahli (Commission of Expert) yang bertugas mengkaji kembali 
penanganan kasus itu. 

Merangkul
Tak ingin dibawa ke internasional, Indonesia berinisiatif merangkul Timor Leste 
untuk menuntaskan persolan itu secara bilateral. Gayung bersambut. Timor Leste 
menerima tawaran Indonesia untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan 
(KKP). 


Menurut Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, hasil KKP telah membuat Indonesia 
tenang karena sidang HAM PBB di Jenewa, Swiss, bulan Agustus, hasil KKP 
diterima dunia internasional. Bagi Indonesia, persoalannya bukan terletak pada 
dua atau tiga orang petinggi militer yang diseret ke pengadilan internasional, 
tetapi lebih menyelamatkan muka Indonesia supaya tidak tercatat dalam sejarah 
dunia sebagai negara kelima yang dibawa ke Mahkamah Internasional. "Juli, 95 
persen selesai. Agustus ada pengertian yang baik pada upaya kita menyelesaikan 
sejarah masa lalu yang diputuskan bersama antara Indonesia-Timor Leste," kata 
Hassan dalam peluncuran buku berjudul 1 Menit Terakhir Timtim, di Jakarta, 
Kamis (4/12). 


Kata Hassan, yang diperlukan saat ini adalah rakyat Indonesia menerima 
kebenaran itu. Ada keperluan, secara pribadi maupun kolektif bangsa untuk 
menegakkan masa lalu, melakukan koreksi, dan kemudian melangkah lebih tegap 
menuju masa depan. Selesaikah persoalan? 


Tampaknya masih membutuhkan waktu yang panjang. Pasalnya, dalam sebuah diskusi 
publik besar, kemarin, di Jakarta, pelanggaran HAM Timtim kembali dipersoalkan. 
Pemerintah Indonesia dinilai tidak serius menindaklanjuti rekomendasi KKP. 
Menurut mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 
(Komnas HAM) Asmara Nababan, pemerintah harus membentuk tim untuk mencari orang 
hilang, pemerkosaan, dan juga meminta maaf secara resmi. Dalam laporan setebal 
400 halaman disebutkan, Indonesia menjadi pihak yang paling bertanggung jawab 
dalam melaksanakan rekomendasi KKP. Kerusuhan yang berkobar di Timtim menjelang 
kemerdekaannya adalah akibat dari kepongahan dan kelalaian pemerintah 
mengendalikan situasi serta kondisi keamanan yang saat itu masih menjadi 
kewenangan pemerintah. 


Sementara itu, Mantan Komisioner KKP Letjen (Purn) Agus Widjojo mengakui adanya 
dukungan dari militer dan pemerintah daerah setempat kepada milisi sipil 
prointegrasi yang diberikan dalam bentuk pembinaan dan pengadaan senjata. 
Namun, ia meminta semua pihak untuk melihat secara objektif sebab saat itu, apa 
yang dilakukan militer dan pemda memiliki dasar hukum yang jelas sehingga tidak 
bisa dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM. (tutut herlina/cr-


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke