HARI IBU: Saatnya Perempuan Angkat Pena
http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20071221182508

Oleh : Ibn Ghifarie

21-Des-2007, 19:56:51 WIB - [www.kabarindonesia.com]

APA YANG ANDA LAKUKAN MANAKALA HARI IBU ITU TIBA?

KabarIndonesia - Aksikah, demokah, turun ke jalan sambil meneriakkan yel-yel
ataukah diam seribu bahasa. Bila pertanyan itu dialamatkan padaku, maka aku
tidak akan menjawabnya. Tapi akan bercerita perempuan. Pasalnya momen ini
merupakan hari bersejarah bagi kaum hawa. Mereka berusaha ingin hidup lebih
baik dalam bingkai kesetaraan dan keadilan. Meskipun dalam mewujudkan
cita-cita itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tapi memerlukan
keuletan, ketabahan dan kesabaran.

Tengok saja, tindakan kriminalitas tentang kekerasan semakin marak di negeri
beradab ini. Seperti pelecehan di rumah tangga, baik kekerasan anak terhadap
orang tuanya, maupun sebaliknya. Bahkan yang lebih ironis lagi perbuatan
keji itu dilakukan oleh ibu terhadap anaknya.

Kedengaranya aneh memang, seorang ummi yang notabene mempunyai hasrat naluri
keibuan, lemah lembut, gemulai, sopan dan penyayang, tega-teganya melakukan
tindakan kekerasan fisik ataupun fisikis terhadap buah hatinya.

Ambil contoh, Januari yang lalu di daerah Gunung Kidul, Jogjakarta
dikejutkan oleh seorang Ibu bernama Ruhiem dan ketiga anaknya melakukan
pembunuhan dengan cara mencampur racun tikus pada nasinya. Usut punya usut
ternyata mereka sudah beberapa hari tidak makan. Menemukan lauk pauk
apalagi. Tiba-tiba perempun setengah baya itu kilap dan pada akhirnya
melakukan bunuh diri masal. Walaupun, keluarga tersebut tidak mati, karena
dapat ditolong oleh tetangganya (Pikiran Rakyat, 31/01).

Peristiwa serupa pun terajdi di Cirebon dan Tanggerang. Pembakaran anak oleh
Ibunya sendiri. Pasalnya perempuan kepala tiga itu, tidak tahan lagi dengan
kebiasaan suaminya selalu mabuk-mabukan dan jarang memberikan nafkah hampir
satu tahun. Sekoyong-koyong, entah kerasukan setan apa wanita itu, nekad
melakukan perbuatan ngeri tersebut (Radar, 19/01).

Ironisnya, di tengah-tengah arus informasi mudah didapat dan menjamurnya
gerakan feminis, perbuatan senada pun terjadi, bahkan lebih perih lagi.
Seperti yang dialami oleh Siti Nur Azilah di Surabya belakangan ini. Lisa,
sapaan akrabnya mendapatkan perilaku tidak wajar dari suaminya. Ia disiram
air raksa ke wajahnya. Sampai-sampai Lisa harus melakukan operasi face off
di Rumah Sakit (RS) DR Soetomo Surabaya. Lagi-lagi kemiskinan lebih akrab
dengan perempuan akibat marzinalisasi.


Dominasi Tafsir Patriarkhi

Menilik persoalan tersebut, membuat kita mengerutkan kepala bila mencari
jawaban. Apa yang melatarbelakangi modus tersebut? Tentu saja, perlakuan
ganjil itu diakibatkan penafsiran ayat-ayat Tuhan yang kaku dan rigid.
Seperti yang diutarakan oleh Rifat Hasan, bias tafsir itu terjadi mana kala;
pertama, Penciptaan Hawa dari tulang rusuk adam. Kedua, Perempuan
bertanggung jawab atas turunnya Adam dari surga. Ketiga, Tujuan diciptakanya
Mojang untuk Jajaka.

Selain itu, kuatnya pengaruh ulama dalam menafsirkan ayat-ayat yang berpihak
pada laik-laki. Semisal, Arijalu Qowwamuna Ala annisa (Anissa:34); laki-laki
menjadi pemimpin di antara perempuan. Bermula dari pemaknaan itu, pada
akhirnya kaum Hawa dinilai sebagai pelengkap bagi kaum Adam semata. Ditambah
lagi, posisi pemuka agama lebih tinggi dari kedudukan presiden. Pendek kata,
ulama sebagai pewaris utama para nabi.

Menanggapi kemalut yang akut dan pelik itu, Fazlu Rahman mengartikan surat
Anissa:34 itu mesti dimaknai berkisar pada fungsional, bukan pada perbedan
hakiki. Artinya bila perempun memiliki kemampuan dan kemaun dalam mengemban
amanah itu, maka berikanlah, tegasnya.

Senada dengan Rahman, Aminah Wadud mengomentari permasalahan tersebut. Bagi
Wanita kontroversi itu, selama yang bersangkutan tidak bertentangan dengan
al-qur'an sah-sah saja. Apalagi bila kita melihatnya secara fungsional,
tutur pakar studi agama-agama itu.

Lebih lanjut, Guru Besar asal Maroko itu, menegaskan penafsiran itu tidak
dimaksudkan superioritas hanya melekat pada kaum Adam secara otomatis, sebab
itu terjadi secara fungsinal semata. Selama perempuan mempunyai kemampuan
dan kualitas, berilah kesempatan, katanya.

Akibat dari pemahaman dan mendarah daging di masyarakat. Kaum Nisa tidak
boleh menjadi pemimpin dan hakim. Karena dianggap irasional, emosional dan
tidak bisa menentukan keputusan. Hingga terdapat satu stereoty; kaum Adam
membuat keputusan. Sementara kaum Hawa membuat kopi. Ujung-ujungnya kaum
Banat mesti berkutat pada ranah kasur, sumur dan dapur.

Tak berhenti sampai di sini saja, kaum Hawa pun tidak boleh mendapatkan
pendidikan yang tinggi. Seperti yang dilansir oleh Jurnal Perempuan (JP No
23, 2003) terhitung dari tahun 1980-1990 angka perempuan masuk ke lembaga
pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Di tingkat SMA;
41,45%:58,57% dan diperguruan tinggi 33,60%:66,40%. Padahal mengeyam bangku
sekolah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib mojang kelak. Menjadi
pentolan di panggung politik apalagi. Proses subordinat acap kali menimpa
kaum banat. Seolah-olah perempuan tidak boleh berdikari di ruang publik,
tapi domestik.


Maka Ambilah Pena

Mencermati kemiskinan wanoja, buah dari domestifikasi dan pembagian peran
menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara
lain selain bangkit dan angkat pena. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki
dalam bingkai penafsiran. Mesti ada penafsiran berbasis feminis, yang ramah
dan menyapa perbedaan. Coba tengok, adakah mufasir sekaligus pemikir
perempuan? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. Untuk bangsa
Indonesia masih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Paling tidak
terdapat sederetan tokoh; Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia,
Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee dan Ayu Utami dll. Apalagi
pada tataran Kampus UIN SGD Bandung. Seberapa banyak organisasi perempuan?
Seberapa banyak pergelaran lomba karya tulis digelar? Berapa banyak penulis
dari kalangan kaum hawa?

Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat
kaitannya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina
Bean, Hanna, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percya dan meyakini penemuan
tulisan benar-benar telah membentuk pearadaban.

Sangatlah wajar bila Fatima Mernisi dengan lantang menyuarakan kaum Nisa
untuk menulis. Karena penafsir jumplang harus dilawan dengan penafsir lagi.
Bahkan bagi penulis Teras Terlarang itu, goresan pena merupakan obat mujarab
awet muda. Apalagi kebiasaan itu di lakukan setiap hari. Terutama setelah
Sholat Subuh, tuturnya Lantas mesti mulai dari mana?

Tulislah apa yang dilihat, dialami, diraskan dan dipikirkan dalam bentuk
coretan. Seperti yang diungkapkan oleh JK Rowling "mulailah dengan
menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan
perasaanmu sendiri. Itulah yang saya rasakan," ungkap penulis Hery Pother
itu.

Tentu saja, hampir semua orang agaknya pernah melakukan curat-coret. Entah
menarikan pena di atas tumpukan; pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada
pelbagai ragam cara menuangkan ide atau gagasan. Jika kita masih kesulitan
memulai membikin apa tulisan yang bersifat luas dan dalam, maka kita bisa
memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana.
Misalnya dimulai dengan membikin surat pembaca dan diary. Semisal yang
pernah dilakukan oleh Soe Ho Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad
Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikir Islam).Pendek kata,
mengangkat pena menjadi satu keharusan bagi kaum pelajar. Sebab tanpa itu
semua harkat martabat kita akan dianggap rendah, bahkan lebih buruk dari
binatang.

Untuk itu, sangatlah wajar apabila dalam dunia Antropolog (Belb,
1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo; sebagaimana bahasa
membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia
beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal,
so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus, lengkingan
pena hanya terdapat dalam peradaban.
Dalam ungkapan lain, buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah
menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan
spekulasi mandek, begitulah Barbara Tuchmat berujar.

Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan
rasa ketakutan-ketakutan. Namun, "tulislah" ungkap Pramoedya Ananta Toer.
"Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima
penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti
berguna," tutur Pria mantan Lekra itu.

Dengan demikian, mudah-mudahan dengan diperingatinya Hari Kartini ini, kita
dapat melanjutkan perjuangannya. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena
kepada karibnya "Bila perempuan bisa membeli kebebasannya, mereka harus
membayar sangat mahal. Mereka akan menghadapi kenestapaan."; "Pergilah.,
bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu"; Suatu hari perempuan asal Jepara
itu, menulis surat buat Ny. RM Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902) "Orang
dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini
tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata
itu. Janganlah kami terlalu diusik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya.
Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami akan menggunakan
senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya. Aduhai! Tuhan,
berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami! Maafkan saya, cintailah
anak-anakmu yang berkulit coklat ini."

Sudah siapkah kaum Banat merdeka? Pojok Sekre Kering.[Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 19/12/07;12.13 wib*Pembelajar Stidi
Agama-Agama fakultas Filsafat dan teologi UIN GD Bandung dan Koord Post LPIK
(Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman) Bandung.

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): [EMAIL PROTECTED]
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke