http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Opini&id=253522

Sabtu, 12 April 2008


Hak-hak Perempuan Masih Terabaikan 



Sejarah mencatat bahwa selama ini perempuan cenderung di-nomor dua-kan terutama 
dalam bidang politik, terutama keanggotaan di legislatif. Bahkan menurut data 
yang ada pada era 1950-1955 hanya 3,8 persen saja perempuan di DPR, pada 
1955-1960 meningkat menjadi 6,3 persen. Persentase perempuan di parlemen 
mencapai angka tertinggi pada 1987-1992 dengan 13 persen. 
TETAPI setelah itu terus menyusut menjadi 12,5 persen pada tahun 1992-1997, dan 
turun lagi menjadi 10,8 persen, menjelang Orde Baru runtuh. Di awal era 
reformasi 1999-2004 jumlah perempuan di parlemen turun lagi hingga 9 persen. 
Bahkan menurut data dan catatan Sekjen MPR RI ada empat hal yang menjadi 
catatan penting mengenai minimnya partisipasi politik perempuan di Indonesia 
ini, yakni: 

1. Perempuan yang menjadi anggota MPR terus berkurang dalam tiga Pemilu 
terakhir, Pemilu 1992 (6,0%), Pemilu 1997 (11,8%) dan Pemilu tahun 1999 menurun 
menjadi (9,1%). 

2. Perempuan yang menjadi anggota DPR persentasenya terus menurun dari 12,0% 
pada Pemilu 1992 menjadi 11,2% pada Pemilu 1997 dan 8,8% pada Pemilu 1999. 

3. Perempuan yang menjadi anggota DPR dipandang dari sisi usia, umurnya relatif 
lebih muda daripada laki-laki. Persentase anggota DPR perempuan yang berusia 
dibawah 40 tahun sebesar 22,7% sedangkan laki-laki hanya 9,4%. 

4. Pendidikan perempuan anggota DPR relatif lebih rendah daripada laki-laki. 
Anggota perempuan yang berpendidikan Akademi/PT 84,1% seangkan laki-laki 91,7%. 

Jelaslah, bahwa kondisi perempuan saat ini masih timpang. Di sinilah perlunya 
pemberlakuan kuota. Kuota merupakan salah satu bentuk tindakan khusus sementara 
yang perlu diambil untuk mempercepat persamaan kesempatan dan manfaat guna 
mencapai persamaan dan keadilan. Adalah fakta bahwa kebanyakan perempuan saat 
ini terjerembab dalam kemiskinan dan tidak terpenuhinya hak-hak mereka sebagai 
manusia. Sementara itu, nilai-nilai sosial budaya dan watak partiarkis negara 
menghambat dan menutup kesempatan perempuan untuk menjadi pengambil keputusan. 
Umumnya laki-laki masih sangat sulit menerima kehadiran perempuan di lembaga 
pengambilan kebijakan. Sebagai akibatnya, jumlah perempuan di lembaga pengambil 
kebijakan/keputusan sangat kecil, sehingga perencanaan dan pelaksanaan 
kebijakan pemerintah cenderung mengabaikan kepentingan dan hak-hak perempuan. 
Kuota menjadi penting agar jumlah perempuan di tingkat perumus kebijakan dan 
pengambilan keputusan dapat meningkat secara lebih seimbang agar perempuan 
dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang memuat kepentingan 
perempuan. 

Secara umum ada tiga faktor yang cukup berpengaruh untuk menentukan 
keterwakilan perempuan dalam bidang politik, yaitu Sistem Pemilu, Peran dan 
Organisasi Parpol serta penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung yang 
bersifat wajib dan sukarela. Saat ini, salah satu upaya yang dianggap paling 
strategis untuk memposisikan perempuan dalam posisi pengambilan keputusan 
(decision maker) adalah dengan penetapan sistem kuota perempuan di parlemen. 

Kini, kuota 30% mencuat bersamaan dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 2003 tentang 
Pemilihan Umum dalam Pasal 65 ayat 1 yang berbunyi, "Setiap Partai Politik 
Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD 
Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan 
perempuan sekurang-kurangnya 30%". 

Meski sifat rumusan yang sukarela, dicerminkan lewat kata 'dapat' dan tidak 
adanya sanksi, namun pasal ini berimplikasi adanya jaminan keterwakilan 
perempuan sebagai kebutuhan nyata meningkatkan representasi perempuan. Kuota 
30% untuk perempuan artinya 30% menjadi batas minimal prosentase keterwakilan 
perempuan dalam lembaga pengambil keputusan. 

Dengan adanya UU tersebut, jumlah perempuan di legislative meningkat dari tahun 
1999 yang hanya berjumlah 9% menjadi 11,8 persen pada saat ini. Perjuangan 
politisi perempuan tidak hanya bertujuan terpenuhinya kuota 30% di legislatif, 
tetapi juga di partai politik (parpol). Saat ini, dari 127 anggota DPD, kouta 
untuk perempuan baru tercapai 21% , sedangkan untuk DPR dari 550 anggota baru 
tercapai 11% . 

Bahkan, untuk Pemilu 2009 mendatang, telah disahkan UU Pemilu yang baru yang di 
dalamnya bukan hanya mengatur tentang kuota perempuan di legislative tetapi 
juga mengatur tentang kuota 30% perempuan di parpol yaitu dalam Pasal 8 yang 
berbunyi, "Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi 
persyaratan", salah satunya dalam point d berbunyi," menyertakan 
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada 
kepengurusan partai politik tingkat pusat" 

Maka, untuk mewujudkan hal tersebut, ada beberapa peran yang harus dilakukan 
oleh parpol yang akan menjadi peserta Pemilu 2009 : pertama, memberikan 
kesempatan kepada perempuan untuk dapat terjun dalam bidang politik; kedua, 
meningkatkan kualitas perempuan-perempuan yang ada di parpol, sehingga ketika 
telah berada di legislatf dapat memperjuangkan aspirasi perempuan dan bukan 
hanya menjadi pelengkap; ketiga, berani untuk melakukan suatu perubahan yang 
berarti untuk masyarakat. 

Sekarang sudah ada 47 parpol yang mendaftar untuk menjadi peserta Pemilu 2009 
dan kita akan melihat parpol apa saja yang lulus verifikasi oleh KPU pada 
pertengahan April mendatang. Terakhir, selamat berjuang politisi dan aktivis 
perempuan demi kejayaan Indonesia umumnya dan Kaltim pada khususnya. 


Oleh : Fitriyati* 


* ) Penulis adalah staf Kajian Strategis KAMMI Kaltim 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke