http://batampos.co.id/edisi-harian/opini/hari-kartini-dan-kesehatan-perempuan.html
Hari Kartini dan Kesehatan Perempuan Monday, 21 April 2008 OLEH: Kelompok Komunikasi Mahasiswa Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Indonesia Tanggal 21 April yang tiap tahun diperingati sebagai Hari Kartini oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia selalu dikaitkan dengan perjuangan seorang wanita kelahiran Jepara. Masih keturunan darah biru yang bernama lengkap Raden Ajeng Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kemudian lebih populer dengan istilah emansipasi. Seiring dengan berjalannya waktu, ada hal lain yang juga tak kalah penting untuk diperjuangkan, yakni soal kesehatan reproduksi perempuan. Masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia hingga saat ini, merupakan cerminan keterpurukan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan kita. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Kartini kembali menghadap Sang Khalik dalam usia relatif muda yaitu 25 tahun setelah melahirkan putra pertama karena komplikasi pasca persalinan. Kematian Kartini mungkin dapat kita maklumi karena hal itu terjadi lebih dari satu abad yang lalu dan teknologi kedokteranpun pada masa itu belum mampu mengatasi komplikasi yang mungkin saja terjadi. Namun, bagaimana jika hal tersebut berlaku pada saat sekarang ini? Di zaman yang konon katanya era teknologi informasi, dimana teknologi kedokteran telah berkembang sedemikian pesat. Sungguh sangat disayangkan memang, tapi itu lah realita yang ada. Besarnya masalah kematian ibu memang menjadi perhatian dunia internasional, sehingga ada ahli yang menyatakan bahwa setiap 4-5 jam jatuh sebuah jumbo jet yang seluruh penumpangnya adalah ibu hamil (Potts, 1986), satu jumlah yang sangat fantastis untuk menunjukkan tingginya angka kematian ibu di seluruh dunia. Di negara miskin, sekitar 25-50 persen kematian perempuan usia subur di sebabkan oleh masalah terkait kehamilan, persalinan dan nifas. Organisasi Kesehatan dunia (WHO) memperkirakan, di seluruh dunia lebih dari 585.000 ibu meninggal tiap tahun saat hamil atau bersalin. Artinya, setiap menit ada satu perempuan yang meninggal. Sebuah kematian yang seharusnya tidak perlu terjadi dan sesungguhnya dapat dihindari. Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri? Pada tahun 2005 saja, menurut laporan BPS tercatat 262 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah Angka Kematian Ibu di Indonesia ini jauh lebih tinggi jika kita bandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Di negara tetangga kita Malaysia saja misalnya, jumlah AKI hanya 39 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan di negara maju seperti Singapura, AKI bisa ditekan hingga 6 per 100.000 kelahiran hidup. Bercermin dari realita di atas, sudah seyogyanya kita semua memperhatikan pentingnya kesehatan perempuan itu sendiri. Masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia memperlihatkan rendahnya pelayanan kesehatan yang diterima oleh perempuan serta rendahnya akses informasi yang dimiliki. Untuk itu seorang perempuan haruslah memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi serta mampu memberdayakan dirinya, di samping pemerintah juga harus meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan hingga ke seluruh penjuru tanah air. Selain itu juga, adanya sebuah peraturan yang mengatur tentang hak kesehatan perempuan sangat dibutuhkan karena sampai saat ini belum kita temui aturan secara eksplisit yang mengakui akan hak-hak reproduksi perempuan. Mengenang Kartini berarti mengingat kembali perjuangan hak-hak perempuan. Jadikanlah momen Hari Kartini, sebagai hari untuk memikirkan nasib kesehatan kaum hawa. Semangat kartini dapat terus digelorakan dalam menghadapi era globalisasi dimana kemandirian perempuan meski terus ditingkatkan. Ini sesuai dengan kesepakatan Internasional Millenium Development Goals (MDGS) yang tujuannya sebagian besar tujuannya berkaitan dengan perempuan, seperti kesetaraan gender; menghapuskan diskriminasi gender dan pemberdayaan perempuan. Serta kesehatan ibu; memperbaiki kesehatan ibu dan mengurangi angka kematian ibu sampai tiga perempatnya. Sudah saatnya perempuan-perempuan Indonesia perlu diperhatikan lebih dan diberdayakan oleh bangsa ini. Tak ada alasan untuk mengesampingkan arti kesehatan dari seorang perempuan, tanpa melupakan kodrat seorang perempuan itu sendiri maupun isu gender yang berkembang saat ini. Tak seharusnya di zaman yang serba modern seperti saat ini, seorang perempuan masih memiliki risiko kesakitan dan kematian untuk melahirkan calon anak-anak yang sehat dan kelak akan menjadi modal bangsa. Pemberdayaan perempuan harus terus digerakkan agar tak ada lagi kematian ibu yang sia- sia di negeri ini. Di akhir dari tulisan ini, ada sepenggal surat yang pernah dilayangkan Kartini kepada Ny. Abendanon bertanggal 7 Oktober 1900 : "Saya tahu jalan yang akan saya tempuh itu sukar, penuh onak dan duri, licin berbatu dan berlubang-lubang. Jalan itu belum tebuka...! Kendatipun saya tidak sampai ke tujuan akhir, kendatipun saya gugur di tengah jalan, saya akan mati dalam kebahagiaan. Karena bagaimanapun jalannya telah dirintis dan saya ikut mendobrak jalan itu. Jalan menuju kebebasan dan kemerdakaan wanita pribumi". Semangat ini bisa terus di gelorakan. Selamat Hari Kartini, semoga menjadi bahan renungan serta dapat mencerahkan kembali fikiran kita untuk mencari solusi yang tepat dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan perempuan. Sehingga ke depan perempuan Indonesia lebih berdaya dan mandiri dan mempunyai kesempatan yang sama dan dapat terpenuhi hak-haknya sehingga tidak ada lagi kartini-kartini lain yang akhir hidup karena melahirkan. * [Non-text portions of this message have been removed]