Jawa Pos
[ Minggu, 05 April 2009 ] Hendi Prayogo, Ketua Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu Runtuhnya Orde Baru membuat warga Tionghoa kian banyak ke dunia politik. Hendi Prayogo salah seorang di antaranya. Mantan aktivis 1998 itu tak terjun ke politik praktis. Dia memilih jalur lain, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat Tionghoa ---- Semakin banyak warga Tionghoa yang maju sebagai caleg pada pemilu kali ini. Bagaimana menurut Anda? Saya kira, itu merupakan perkembangan yang sangat bagus. Masyarakat Tionghoa semakin sadar untuk berpolitik. Mereka berani mewakili dan menyalurkan aspirasi rakyat. Ini sangat positif. Yang lebih baik lagi, kondisinya lebih baik daripada pemilu lalu. Kalau dulu, warga Tionghoa terkonsentrasi pada satu atau dua parpol saja. Sekarang mereka menyebar ke mana-mana. Hampir tiap parpol. Baik kecil maupun besar. Sepengetahuan Anda, apa sebenarnya motivasi mereka? Banyak faktor. Bisa jadi, mereka memang ingin menyuarakan aspirasi masyarakat. Tapi, saya juga menangkap fenomena itu tak lebih dari sebuah grand design atau grand strategy partai politik. Parpol ingin menang. Sehingga, mereka coba merangkul banyak orang dari berbagai kalangan. Termasuk warga Tionghoa. Bisa jadi, warga Tionghoa itu punya banyak modal. Atau dia bisa jadi daya tarik untuk mendongkrak suara. Sebab saat ini, terjadi euforia luar biasa. Sistemnya kan baru. Sekarang suara terbanyak. Lihat saja, tak hanya warga Tionghoa yang dirangkul untuk jadi caleg. Artis, pelawak, atau penyanyi ikut-ikutan mencalonkan diri. Padahal, mereka tidak punya basic politik. Hanya bermodal popularitas atau punya modal besar. Sehingga, partai yang diuntungkan. Berpolitik harus punya basis. Tanggung jawab politik tidak sekadar populer. Artinya, mereka yang mencalonkan diri tidak punya kualifikasi yang baik? Bisa jadi. Maka, kita harus pandai atau cerdas memilih. Istilah itu dilontarkan oleh kawan-kawan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Saya setuju itu. Sebab, tidak semuanya kan baik. Yang pasti, euforia itu tak akan berjalan lama. Artinya, jika saat ini banyak masyarakat Tionghoa maju sebagai caleg, pada pemilu pendatang jumlahnya bisa berkurang. Sebab, mungkin sistemnya berubah lagi. Atau mereka sudah habis banyak modal, tapi tak tidak jadi anggota dewan. Sehingga, banyak orang yang lantas kapok mencalonkan diri. Nanti orang menyadari bahwa suara terbanyak bukan segalanya. Orang masuk ke dunia politik bukan pertarungan hidup dan mati. Banyaknya warga Tionghoa maju sebagai caleg bisa jadi indikasi bahwa sudah tidak ada lagi diskriminasi di bidang politik? Secara sistem atau formalitas mungkin iya. Namun, kondisi riilnya tidak begitu. Masih banyak stereotipe mengenai orang Tionghoa. Misalnya, banyak yang aktif di organisasi, tapi posisinya bendahara. Stereotipe orang Tionghoa kaya. Sehingga, ada Tionghoa miskin tidak dapat BLT (bantuan langsung tunai). Artinya secara riil masih belum tuntas. Belum lagi secara formal hukum. Masih ada BKMC (Badan Koordinasi Masalah China) yang dulu di bawah Bakin. Di dalamnya ada perintah untuk yang menyebutkan warga Tionghoa perlu diawasi dan diregulasi karena dianggap berbahaya. Juga masih ada kerancuan dalam UUD pasal 26 mengenai definisi warga Indonesia. Di sana disebutkan, warga Indonesia adalah bangsa-bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain. Itu juga perlu diamandemen. Sebab, definisinya tidak jelas. Diskriminasi itu membuat warga Tionghoa perlu punya wakil di legislatif? Bisa iya, bisa tidak. Sekarang bergantung motivasi warga Tionghoa menjadi caleg. Kalau untuk kepentingan usahanya, ya tidak perlu memilih dia. Tapi, kalau motivasinya untuk membangkitkan semangat kebangsaan yang modern, so pasti harus didukung. Anda menjadi ketua Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu. Seperti apa sebenarnya organisasi Anda itu? Organisasi yang kami bentuk itu melakukan pendidikan politik. Terutama terhadap masyarakat Tionghoa. Salah satu di antaranya mengenai paham kebangsaan. Kebetulan, saat ini momentumnya pemilu. Sehingga, kami mengajak masyarakat Tionghoa menyalurkan aspirasi untuk mengubah bangsa. Sebab, fakta di lapangan, warga Tionghoa menyalurkan pilihan bukan berdasar garis perjuangan atau platform partai. Tapi, lebih karena motivasi lain. Misalnya, ada warga Tionghoa yang terpaksa mencoblos karena takut kesulitan mengurus KTP (kartu tanda penduduk). Pendidikan politik yang kami lakukan untuk mengubah pemikiran seperti itu. Ikut memilih atau tidak adalah hak. Tidak ada yang menyuruh pilih partai A atau partai B. Organisasi ini bukan underbow partai politik. Ini independen. Selain pendidikan politik, kami ingin menjembatani kepentingan masyarakat Tionghoa dengan partai politik. (hafid abdurahman/dos) --- Riwayat Hidup Nama : Hendi Prayogo Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 11 Februari 1967 Ayah : Prayogo Ibu : Lisayani Pekerjaan : Marketing Riwayat Pendidikan Pengalaman Organisasi - Anggota OSIS SMP Katolik Untung Suropati, Sidoarjo - Badan Perwakilan mahasiswa PMKRI St. Lucas Surabaya - Keluarga Mahasiswa Katolik St. Theresa - Komisi Kepemudaan Keuskupan Surabaya - Pendiri Kalimas (Komite Aliansi Kepedulian Masyarakat Surabaya) - Pendukung peguyuban masyarakat Tionghoa Surabaya - Ketua Inspirasi (Institut Studi Persatuan Etnis dan Ras Indonesia) - Koordinator Forum Komunikasi Tionghoa - Pendiri Forum Lintas Agama - Koordinator Komite Pemilu - Sekretaris peguyuban sosial marga Tionghoa Indonesia cabang Jatim - Ketua Komite Tionghoa Indonesia Peduli Pemilu (Yinhoa Guanxin Puxian Lishihui) [Non-text portions of this message have been removed]