Koran Tempo, Jum’at, 06 Juni 2008
 Opini Hentikan Vigilantisme FPI  Achmad Munjid   
Kandidat Doktor Bidang Religious Studies, Temple University, Philadelphia, 
Amerika Serikat

Penyerangan massal terhadap aksi damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan 
Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) oleh Laskar Pembela Islam, sayap organisasi 
Front Pembela Islam (FPI), di Monas, Jakarta, pada 1 Juni lalu jelas merupakan 
anarkisme. Selain menganiaya fisik para korban, penyerangan itu mencederai akal 
sehat, melukai nurani, dan mencabik moralitas yang dijunjung tinggi oleh setiap 
agama dan sistem keyakinan. Insiden ini dan latar belakangnya hendaknya tidak 
dilihat secara teserpih atau terkotak; sebagai semata isu Ahmadiyah, misalnya; 
melainkan ia merupakan bagian dari pergumulan kita dalam merawat keutuhan 
bangsa dan kedaulatan negara menurut sendi-sendi demokrasi yang telah 
diletakkan para pendiri negeri ini. 

Dalam konteks demokrasi, tindakan main paksa, apalagi dalam bentuk penyerangan 
seperti yang dilakukan oleh FPI terhadap golongan yang tak disukai, sungguh tak 
bisa ditenggang. Itu pelanggaran serius atas tatanan bersama dalam kehidupan 
bernegara. Itu gempuran terhadap fondasi dan pilar bangunan kita sebagai 
bangsa. Karena itu, proses hukum yang cepat, adil, dan transparan atas para 
pelaku kekerasan Monas wajib segera dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk 
tanggung jawab minimal. Dalam hal ini tindakan profesional Kepolisian Daerah 
Metro Jaya, yang telah menangkapi puluhan tersangka di markas FPI, patut kita 
puji dan dukung. 

Lebih dari itu, dengan melihat rekam jejak kekerasan FPI selama ini, plus kian 
meluasnya tuntutan dari banyak kalangan, termasuk Gus Dur dan sejumlah anggota 
DPR, sekaranglah saat yang tepat bagi pemerintah untuk membubarkan FPI. Kecuali 
dilakukan sendiri secara sukarela seperti oleh FPI Jember dan Surabaya, perlu 
dicatat bahwa pembubaran organisasi seperti FPI hanya sah dilakukan oleh 
pemerintah dan harus didasarkan pada akibat tindakan, bukan pada paham, aliran, 
atau ideologi kelompok yang bersangkutan.

Jika terus dibiarkan, keberadaan kelompok pemaksa seperti FPI hanya akan 
menimbulkan sejumlah akibat negatif bagi semua pihak. Pertama, FPI bisa kian 
merajalela. Di satu sisi, ini dapat berarti bahwa FPI dan segala perilaku 
kekerasannya mendapat “legitimasi” pemerintah. Di sisi lain, kelompok lainnya, 
termasuk yang berseberangan dengan FPI, juga mendapat justifikasi, bahkan 
inspirasi, untuk meniru apa yang dilakukan FPI. Akibatnya, begitu timbul 
perselisihan, konflik horizontal sangat potensial untuk pecah. Segera setelah 
insiden Monas, gejala itu telah kita saksikan merebak di sejumlah wilayah, 
termasuk Cirebon, Purwokerto, dan Yogyakarta. 

Kedua, dengan membiarkan FPI atau kelompok serupa bermain hakim sendiri, 
pemerintah makin kelihatan tidak mampu mengelola kehidupan berbangsa, 
kepercayaan rakyat pun kian anjlok. Ketiga, dalam situasi tanpa kepastian hukum 
demikian itu, setiap pihak cenderung saling memanfaatkan demi kepentingan 
sempit dirinya. Begitu ada persoalan, masing-masing hanya “lempar batu sembunyi 
tangan”. Ujung-ujungnya, rakyat awamlah yang paling dirugikan. 

Sementara itu, meski menyesalkan tindakan FPI, menyatakan aksi damai AKKBB 
sebagai “provokasi” kekerasan, seperti diucapkan oleh Jimly Asshiddiqie (Ketua 
Mahkamah Konstitusi) dan Amidhan (Ketua MUI), adalah pernyataan “cuci tangan” 
sembari menyalahkan pihak korban (blaming the victim). Pernyataan demikian 
sekaligus juga mencerminkan ketidakpekaan- -untuk tidak mengatakan 
ketidakpedulian- -penuturnya terhadap rawannya kesatuan dan gentingnya ancaman 
kehidupan bangsa. Pernyataan “abu-abu” yang dikeluarkan pejabat negara dan 
tokoh masyarakat atas suatu pelanggaran hukum dan moral adalah dukungan atas 
pelanggaran itu sendiri. 

Kita semua tahu, termasuk dalam kasus Ahmadiyah, kelambanan pemerintah dalam 
mengambil tindakan strategis telah menciptakan ruang gelap yang kosong, ruang 
hampa hukum, yang tak terkontrol. Dalam impitan krisis yang terus menekan dari 
segala penjuru, kombinasi antara ruang-ruang kosong tanpa hukum dan pernyataan 
“abu-abu” sejumlah tokoh mengenai pelanggaran hukum dan moral adalah ladang 
subur bagi berkembang-biaknya anarkisme dan vigilantisme seperti yang 
dipraktekkan FPI. 

Vigilantisme
Dengan mencermati latar sosiologis dan perilakunya, FPI lebih tepat kita 
kategorikan sebagai vigilantisme berjubah Islam. Secara etimologis, 
vigilantisme berasal dari kata Spanyol "vigilante", yang berarti "pengawas" 
atau "pengawal". Sedangkan vigilantisme adalah gerakan main hakim sendiri 
(taking the law into one's own hands), termasuk penggunaan intimidasi dan 
cara-cara kekerasan, oleh warga sipil, entah individu atau kelompok sosial 
tertentu. Ia merupakan fenomena yang lumrah kita temui di semua masyarakat yang 
sedang ditimpa kemelut, ketika negara dianggap tidak mampu atau tidak efisien 
dalam menangani macam-macam perkara. 

Berdasarkan motifnya, seperti ditulis dalam Vigilante Politics oleh H. Jon 
Rosenbaum dan Peter Sederberg (1976: 9-19), kita mengenal tiga tipologi 
vigilantisme, yakni, (1) vigilantisme kontrol-kriminal, yang ditujukan untuk 
mengatasi terlalu maraknya kriminalitas, seperti Esquadrao de Morte (Pasukan 
Maut) di Brasil pada 1970-an dan “Penembak Misterius” di zaman Soeharto. (2) 
Vigilantisme kontrol kelompok sosial, yang dimaksudkan untuk mengawal entah 
kepentingan, otoritas, ataupun superioritas sistem nilai suatu kelompok sosial 
tertentu, seperti kasus Ku Klux Klan di AS; dan (3) vigilantisme kontrol-rezim, 
yang dibentuk guna menggulingkan suatu rezim yang sedang berkuasa seperti 
Gerakan Kemerdekaan Kosta Rika. 

FPI bisa kita masukkan ke tipologi vigilantisme kontrol kelompok sosial. Kita 
tahu, organisasi ini didirikan persis di tengah pusaran krisis pada 17 Agustus 
1998 dengan retorika demi “amar ma'ruf, nahi munkar” (mengajak kepada 
kebajikan, mencegah kemungkaran) . Asumsinya, nilai-nilai Islam sebagai agama 
paripurna sedang dikepung musuh dari segala penjuru dan Negara sama sekali 
tidak bisa diandalkan untuk melawan. Orang-orang Islam sendirilah yang harus 
“angkat tangan” guna menghadang musuh-musuh itu, dengan menggunakan cara apa 
saja, termasuk kekerasan, jika keluhuran nilai Islam mau ditegakkan di bumi 
Indonesia. Nama FPI jelas mencerminkan hal ini.

Meski bisa saja bercitra positif, seperti tokoh Robin Hood atau Superman, pada 
umumnya vigilantisme dianggap negatif. Problem utama gerakan vigilantisme, 
termasuk FPI, adalah klaim bahwa kebenaran penuh ada di tangannya dan dia 
berhak memaksa siapa saja mengikuti kehendaknya. Dialah Superman, Super-Muslim, 
yang punya otoritas mengawal tatanan dunia. Vigilantisme juga selalu bersifat 
Machiavellian, menghalalkan segala macam cara. 

Sebagai upaya mengatasi kemelut, meski boleh jadi ia efektif dalam jangka 
pendek, vigilantisme hanya akan membuat tatanan sosial mengalami disfungsi 
dalam jangka panjang. Karena watak kesewenangan kekuasaan yang nikmat, 
sebagaimana modus operandinya, vigilantisme juga sulit dihentikan, kecuali 
dengan dipaksa. Itulah mengapa, sebelum terlambat, FPI perlu segera dibubarkan 
agar kita tidak terlalu lama membuang energi tak keruan.

Namun, mari kita catat, baik dalam jangka pendek maupun panjang, pemerintah dan 
kita semua juga harus secara serius mengatasi kemelut di tengah masyarakat dan 
memecahkan persoalan-persoalan sosial maupun moral yang melatarbelakangi 
munculnya gerakan vigilantisme. Tanpa itu, meski telah dibubarkan, FPI-FPI lain 
akan terus bermunculan, entah dengan jubah, kayu salib, tato, atau kekuatan 
sihir lain. Dan kita semua akan jadi korbannya.*

Ahmad Badrudduja 
 
Inna ikhtilaf al-mukhtalifin fi al-haqq la yujibu ikhtilaf al-haqq fi nafsihi 
Kebenaran tak menjadi banyak hanya karena orang-orang berbeda pendapat
-- Ibn al-Sid al-Batalyawsi (w. Valencia 1127 M)


       

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke