http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2006/4/16/opini.html
Ibu Pertiwi Kikir Besarnya cinta seseorang atas negara dan bangsanya, tidak diukur dari kasta atau agamanya. Tetapi, bila sekelompok tertentu merasa agamanya tidak termasuk agama nasional dan dianggap agama nomor dua, maka perasaannya akan terusik. Lalu, bisakah mereka sungguh-sungguh disalahkan, jika nasionalisme mereka berubah jadi komunalisme? ----------------- TASLIMA Nasrin, dokter sekaligus novelis, menuangkan pernyataan dan pertanyaan itu lewat tokoh Suranjan dalam buku "Lajja". Wanita kelahiran Banglades, 25 Agustus 1962 itu juga mengaku agnostik atau tidak memiliki keyakinan religius akibat kekecewaannya atas diskriminasi terhadap perempuan, khususnya dalam praktik-praktik keagamaan. Di bagian lain dari buku yang sama, tokoh Suranjan juga mengemukakan, "Biarkanlah bangunan-bangunan pemujaan itu dirusak! Setelah semuanya dihancurkan, di atas reruntuhan itu akan kita bangun taman-taman penuh bunga yang indah dan sekolah-sekolah untuk anak-anak. Mulai kini, biarlah rumah ibadah menjadi akademi seni, sekolah seni rupa dan balai diskusi sains. Biarlah agama berganti nama menjadi kemanusiaan". Apa yang dirasakan Taslima, hemat Rubag, mungkin juga dirasakan banyak orang Indonesia yang pernah jadi korban berbagai kemelut, meskipun tetap bertaqwa kepada Tuhan. Sebab, negeri yang dulu dikenal berkebudayaan tinggi, ramah-tamah dengan toleransi sosial serta agama terpuji, ini tiba-tiba jadi masyarakat yang cepat kalap dan mengamuk. Ironisnya, tidak jarang agama dipakai alasan untuk menista dan menganiaya kelompok lain. Tak berlebihan kalau Solahuddin Wahid menyitir kritik Karl Marx terhadap kaum beriman yang praktik sosial sehari-harinya bertentangan dengan ajaran agama. Terpecahnya masyarakat menjadi kelompok-kelompok komunal, lanjutnya, mudah tersinggung dan bertindak anarkhis karena menganggap kelompok lain melecehkan simbol atau ritus agama mereka. "Kita menganggap bangsa ini religius, tapi yang terjadi sehari-hari adalah penindasan," komentar Solahuddin dalam sebuah seminar pada Desember 2003 bertajuk "Komunisme bukan Ancaman, tapi Tantangan". "Kita harus berani bertanya, masih religiuskah bangsa Indonesia? Marxisme sudah diarak ke tiang gantung sejarah, meski demikian, agama justru menjadi upacara ritual dan formal semata, sementara substansi hidup beragama terabaikan," sahut Achmad Syafii Maarif sependapat dengan Solahuddin dalam kesempatan lain di forum yang sama. *** HAMPIR sewindu pemerintahan otoriter Soeharto tutup buku, namun kondisi ketakutan, kekhawatiran dan rasa waswas menyelimuti suasana kehidupan berbangsa dan bernegara. Di era Orde Baru yang represif, orang-orang takut "dihilangkan" tanpa jejak, namun kini mereka takut kehilangan nyawa tanpa sebab. Padahal semboyan demokrasi dan demokratisasi fasih diucapkan setiap orang dalam berbagai kesempatan. Demokrasi yang diharapkan membawa angin kebebasan ternyata merobek dan mengoyak integritas, solidaritas dan toleransi sesama warga bangsa yang ber-"Bhineka Tunggal Ika" ini. Atas nama demokrasi yang direifikasi menjadi angka "50 + 1", menyebabkan kelompok yang terhimpun dalam angka kurang dari jumlah itu dianggap minoritas. Sebaliknya kelompok yang menganggap diri mayoritas merasa berhak menentukan segala hal, sedangkan pihak lain yang tidak sepaham dianggap wajar untuk diabaikan dan bila perlu ditindas. Bagi Rubag, ucapan Solahuddin Wahid, "kita menganggap bangsa ini religius, tapi yang terjadi sehari-hari adalah penindasan" agaknya bukan ucapan tanpa dasar. "Yang lain" atau "Liyan", menurut Freek Colombijn dalam artikel "Explaining the Violent Solution in Indonesia", adalah dampak dari budaya kolektif yang mengakar di negeri ini. Ini dikaitkan dengan sejarah kekerasan yang bisa dirunut dari zaman Ken Arok atau era sebelumnya. Budaya kolektif memungkinkan untuk menjadikan kelompok yang tidak sejalan atau sepaham sebagai pihak "Liyan". Konstruksi "Liyan", apalagi dengan posisi minoritas, menyebabkan mereka diberikan stigma macam-macam yang berkonotasi negatif seperti "jahat, pemberontak, pengkhianat" selanjutnya jadi korban yang diperlakukan secara tidak manusiawi. Kemanusiaan manusia dihilangkan, juga oleh manusia yang bertindak bagai malaikat, seakan-akan tahu persis bentuk, ukuran dan warna moral. Media massa akhir-akhir ini sering mewartakan tindakan anarkhis yang di antaranya dikaitkan dengan masalah agama. Pertanyaan Syafii Ma'arif tiga tahun silam, "Kita harus berani bertanya, masih religiuskah bangsa Indonesia?", agaknya tidak ada yang menggubris. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 pernah menobatkan Indonesia sebagai "The Worst Place to be President". Alasannya, negara yang memiliki 17 ribu pulau ini menyimpan seribu titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bahkan Duta Besar Singapura untuk Indonesia (1970-1974), Lee Khoon Choy menulis buku "A Fragile Nation. The Indonesian Crisis", yang mengulas tuntas kerusuhan Mei 1998 menjelang tumbangnya rezim otoriter Soeharto serta konflik etnis dan agama di berbagai wilayah Indonesia sebagai gejala awal runtuhnya Orde Baru. Hampir semua suku yang berlatar belakang karakter dan budaya potensial penyebab terpecah belahnya Indonesia dipaparkan Lee dalam bukunya. Sebab, sebelum jadi duta besar di Indonesia, dia mengaku pernah menginjakkan kakinya di Bandung saat Konferensi Asia Afrika tahun 1955 dan selanjutnya kerap kali berkunjung ke berbagai wilayah negeri ini. Dipilihnya judul "Sebuah Bangsa yang Mudah Pecah", selain memahami antropologi budaya masing-masing suku yang dianggapnya sebagai "titik api", seperti sinyalemen Newsweek, Lee juga sempat berbincang dengan Amien Rais dan Abdurrahman Wahid sebelum buku itu dicetak tahun 1998. Keduanya, menurut Lee, mengkhawatirkan Indonesia terkena sindrom Yugoslavia dan Uni Soviet yang berantakan paska Perang Dingin, akibat suara-suara ketidakpuasan di beberapa tempat seperti di Papua Barat, Aceh, Ambon dll. Jangankan jadi presiden, seperti kata Newsweek, bagi Rubag, jadi rakyat pun bukan posisi yang enak di Indonesia. Sebab, ketika Era Reformasi baru berjalan dua tahun, untuk menyambut HUT Kemerdekaan 17 Agustus 2000, di Jakarta ada sekelompok masyarakat melakukan unjuk rasa sembari membaca proklamasi yang berbunyi, "Kami rakyat miskin kota, petani dan buruh. Nama kami disebut dalam dasar-dasar negara, tapi hidup kami gelap selama ini. Rakyat yang tertindas dan menderita adalah penghinaan terhadap cita-cita kemerdekaan. Maka hari ini, kami kabeh semuanya menyatakan kemerdekaan kami". *** SEJARAWAN yang budayawan Taufiq Abdullah menyatakan secara tegas bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan "The Declaration of Indonesian Independence" karena di dalamnya mengandung hal-hal penting menyangkut visi kesejarahan dan tujuan berdirinya NKRI. Kemerdekaan sebagai hak semua bangsa yang diberkati Tuhan Yang Mahaesa, melindungi seluruh tumpah darah dan bangsa, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut menjamin perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan, serta dasar kehidupan negara Pancasila merupakan visi dan tujuan yang dimaksud. Kenyataannya, meskipun hingga tahun 2002 hampir seluruh batang tubuh UUD 1945 diamandemen, kehidupan berbangsa dan bernegara tak makin gampang. Bahkan, banyak produk hukum dilahirkan seperti tidak mengacu pada konstitusi sehingga menimbulkan kontroversi di masyarakat. Dalam "Manifes Jalan Lurus" Mei 2004, Syafii Ma'arif kembali berkomentar, "Sekarang Ibu Pertiwi kita kikir dan sulit melahirkan negarawan-negarawan dengan visi jauh ke depan. Negarawan adalah sosok yang lebur dan larut demi kepentingan umum, tapi yang lahir justru politisi-politisi yang membuat kepentingan umum larut dalam dirinya." * aridus [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/