KULIAH
NEOLIB RIZAL RAMLI

Indonesia Berpotensi Jadi the New Philipina



Selasa, 23 Juni 2009, 10:50:41 WIB

 

Jakarta, RMOL. Catatan Redaksi: Pada bagian ini ekonom senior
Rizal Ramli memperdetail perbandingan model pembangunan Indonesia dengan 
negara-negara Asia yang tidak
mengikuti tekanan Washington
Consensus. Ini adalah bagian dari kuliah ekonomi neoliberal yang disampaikan
Rizal Ramli pekan lalu. 





SUBRODINASI kepentingan rakyat dan nasional kepada
kepentingan global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki
kemandirian dalam perumusan Undang-Undang, strategi dan kebijakan ekonomi. 



Indonesia juga tidak memiliki fleksibilitas untuk merumuskan strategi
ekonomi karena terpaku pada model generik Washington Konsensus. Padahal model
tersebut dirancang terutama untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi global
sehingga negara-negara yang mengikutinya justru akan gagal meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. 



Hasil tipikal dari model Washington Konsensus adalah siklus
terus-menerus dari “krisis ekonomi dan akumulasi utang”, seperti yang terjadi
di banyak negara Latin Amerika, Afrika dan Indonesia. Krisis ekonomi biasanya
diselesaikan hanya dengan menambah beban utang yang kemudian akan kembali
menjadi sumber krisis baru. Namun dari segi kepentingan ekonomi global, krisis
ekonomi merupakan peluang untuk memaksa negara yang bersangkutan melakukan
liberalisasi ekstrim dan privatisasi ugal-ugalan. 



Liberalisasi ekstrim ala Washington Konsensus sangat berbeda
dengan keterbukaan bertahap dan penuh persiapan untuk memperkuat ekonomi
domestik yang dilakukan oleh negara-negara Asia
lainnya. Jepang, Korea,
China dan bahkan Malaysia dan Thailand terlebih dahulu memberikan
insentif ekspor kepada industri domestik dalam upaya meningkatkan produktivitas
dan daya saing. Liberalisasi dilakukan hanya setelah ekonomi domestik telah
cukup kuat dan mampu bersaing di level global. Ketergantungan terhadap utang
juga memungkinkan kepentingan global ikut intervensi merumuskan Undang-undang
dan Peraturan Pemerintah seperti Undang-undang tentang privatisasi air, BUMN,
migas, dsb. 



Pada pertengahan tahun 1960-an GNI perkapita Indonesia, Malaysia,
Thailand, dan China nyaris
sama, yaitu kurang dari US$100 per kapita. Setelah lebih dari 40 tahun, GNI per
kapita negara-negara tersebut pada tahun 2006, mencapai: Indonesia sekitar US$ 
1.420, Malaysia US$ 5.620, Korea Selatan US$ 17.690, Thailand US$ 3.050, dan 
China US$ 2.000
(Asian Development Bank). 



Ternyata bahwa kekuasaan dan peranan ekonom-ekonom
neo-liberal selama 40 tahun tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat 
Indonesia dan mewariskan potensi sebagai salah
satu negara gagal (failed state) di Asia.
Kenyataannya Indonesia
bukanlah the next Korea, dan
bahkan bukan the next Malaysia.
Setelah 40 tahun di bawah kendali para ekonom neo-liberal, Indonesia
justru berpotensi menjadi the new Philipina. 



Ekonom-ekonom neo-liberal telah gagal membawa Indonesia menjadi negara yang 
sejahtera dan
besar di Asia walaupun didukung regim otoriter
selama 32 tahun. Selain ketinggalan dari segi pendapatan perkapita,Indonesia
juga merupakan salah satu negara yang memiliki distribusi pendapatan paling
timpang, stok utang paling besar, serta memiliki landasan struktural dan
industri yang sangat rapuh. Padahal negara-negara seperti Taiwan, Malaysia,
Korea Selatan, China dan Thailand tidak memiliki sumber daya alam yang besar
seperti Indonesia. 



Di bawah pengaruh dan kekuasaan ekonom-ekonom neo-liberal,
utang yang besar dan habisnya kekayaan alam dan hutan yang rusak, ternyata
hanya menghasilkan pendapatan per kapita sekitar US$ 1.420. dan pemenuhan
kebutuhan dasar sangat minimum serta ketergantungan mental maupun finansial
terhadap utang luar negeri. Bersambung []














    
            
            


      
      KULIAH NEOLIB RIZAL RAMLI 
http://www.rakyatme rdeka.co. id/indexframe. php?url=situsber ita/index. 
php?pilih= lihat_edisi_ website&id=76748
  
Padahal "Mbah Washington Consensus" Pun Mengaku Salah 
Senin, 22 Juni 2009, 13:55:27 WIB
Laporan: Teguh Santosa
  
Catatan Redaksi: Wacana neo-liberalisme di arena Pilpres 2009 masih menarik 
untuk terus diikuti. Bagi sebagian orang, isu neolib yang dihembuskan di tengah 
kampanye pemilihan presiden adalah black campaign belaka. Namun bagi sementara 
kalangan ini adalah kesempatan yang baik bagi masyarakat Indonesia untuk 
memahami isu ekonomi neoliberalisme ini dengan bahasa sederhana dan gamblang. 
Ekonom senior Rizal Ramli termasuk dalam kelompok kedua. Pekan lalu dalam 
sebuah diskusi di Hotel Mulia, Jakarta, dia memberikan kuliah terbuka mengenai 
neoliberalisme dan dampaknya dalam pembangunan Indonesia. Redaksi Rakyat 
Merdeka Online akan menurunkan kuliah itu dalam beberapa bagian. Berikut adalah 
bagian pertama. 

SALAH seorang pendiri mahzab neoliberalisme adalah Profesor John Williamson 
yang merumuskan apa yang
 disebut sebagai Washington Consensus. 

Saya bertemu dia beberapa kali dalam sejumlah konferensi di Washington. Kepada 
saya, dia mengakui bahwa rumusan itu dalam praktiknya tidak memberikan hasil 
seperti yang dia pikirkan. Tetapi, rumusan yang diperkenalkannya itu sudah 
terlanjur menjadi dogma yang dipaksakan oleh Washington kepada negara-negara 
berkembang. 

Kalau saya sederhanakan, Washington Consensus itu adalah Jerat Washington. 
Semua model pembangunan di negara berkembang dipaksa untuk mengikuti model ini. 
Di Amerika Latin dari tahun 1960-an sampai tahun 2000 hampir semua negara 
mengikuti model Washington Consensus atau neoliberalisme. 

Hasilnya, negara-negara di Amerika Latin semakin lama semakin tertinggal, gap 
antara yang kaya dan yang miskin juga semakin besar, dan ketergantung terhadap 
siklus krisis-utang semakin lama
 semakin berat. Siklus krisis-utang berarti bila terjadi krisis, solusi yang 
diambil untuk mengatasinya hanya dengan menambah utang. Untuk sementara keadaan 
akan stabil kembali. Namun setelah itu, karena utang sudah terlalu banyak, 
negara akan terkena krisis lagi. Dan kemudian menambah utang lagi. Pemimpin 
yang dapat ditekan Washington DC akan terus menerus mengikuti siklus 
utang-krisis- utang-krisis ini. Semakin lama utangnya semakin dalam, semakin 
berat sehingga sebagian besar anggaran belanja negara habis untuk membayar 
utang. 

Belakangan, di Latin Amerika mulai muncul gerakan untuk menolak Jerat 
Washington. Pemimpin-pemimpin Amerika Latin yang masih manut pada Washington 
Concensus biasanya tidak terpilih lagi. Ada yang progresif dan radikal seperti 
Hugo Chavez dari Venezuela, dan Evo Morales dari Bolivia, tapi ada juga yang 
relatif moderat seperti Cristina Fernandez de Kirchner di Argentina dan 
Michelle Bachelet dari
 Chili. Namun yang jelas ini adalah arus balik dari Washington Consensus. 

Di Asia yang ikut model ini hanya Indonesia dan Philipina. Keadaan di dua 
negeri Asia ini pun tak jauh berbeda dengan keadaan negara-negara Amerika Latin 
yang manut pada Washington Consensus. 

Pertanyaannya ada nggak sih model lain, alternatif lain. Tentu ada. Amerika 
Latin pun sekarang ini dalam eksperimen mencoba berbagai macam variasi 
alternatif. 

Kalau kita melihat pengalaman di Asia, negara-negara besar di Asia yang tumbuh 
di atas 10 persen dan mampu mengejar ketertinggalannya dari Barat nyaris tidak 
ada yang ikut model Washington Consensus atau neoliberal ini. Saya rasa, contoh 
yang paling klasik adalah Jepang yang menjadi besar setelah PD II sampai awal 
1980-an nyaris tanpa modal asing dan pinjaman luar negeri. Kalaupun ada baru 
setelah 1980. Jepang
 membiayai seluruh pembangunannya dari mobilisasi tabungan nasional dan 
mengandalkan kebijakan industri yang progresif dan agresif sehingga volume 
ekspor mereka menjadi begitu besar. Dalam banyak hal pembangunan nasional 
Jepang tidak dapat dikatakan sebagai model pembangunan liberal. 

Di Eropa ada juga pembangunan yang tidak mengacu pada neoliberal, yaitu model 
pembangunan Jerman. Dimana peran negara di dalam industrial policies dan peran 
negara di dalam alokasi sumber daya alam cukup besar. 

Model Jepang dan Jerman ini yang ditiru oleh Mahathir Mohammad, sehingga 
Malaysia menjadi negara yang maju dan kesejahteraan rakyatnya lebih baik. 
Dengan berbagai variasi, kita juga tidak dapat mengatakan Singapura tidak 
sepenuhnya mengikuti jalan neoliberal, karena pengaturan sektor keuangan di 
negara itu sangat ketat dan peranan negara dalam perusahaan negara juga sangat 
penting.
 

China juga demikian. Ada yang mengatakan bahwa kini China sudah masuk ke dalam 
sistem pasar. Tapi kalau kita amati lebih dalam lagi, fenomena di China tidak 
sesederhana itu. Pola pembangunan China memang mengandalkan modal asing, tetapi 
pinjaman luar negerinya sangat minimum. Modal asing ini digerakkan untuk 
memperbahurui teknologi China dan memaksimalkan kapasitas produksi negeri itu 
sehingga China bisa menjadi negara yang besar di bidang ekonomi. Bersambung 
  
  
  
KULIAH NEOLIB RIZAL RAMLI
Belajar dari Dua Dekade Kemerosotan Ekonomi Ugal-ugalan
Senin, 22 Juni 2009, 16:40:16 WIB 
  
Catatan Redaksi: Pada bagian ini ekonom senior Rizal Ramli menjelaskan pondasi 
pendekatan ekonomi neoliberalisme, antara lain kebijakan anggaran ketat, 
liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi industri dan penjualan BUMN. Redaksi 
Rakyat Merdeka Online merasa perlu menyoroti perdebatan mengenai pendekatan 
ekonomi neoliberal di arena Pilpres 2009. 


SEKILAS program Konsensus Washington tersebut sangat wajar dan netral, namun 
demikian dibalik program tersebut tersembunya kepentingan negara-negara 
Adikuasa. 

Pertama, kebijakan anggaran ketat, selain untuk mengendalikan stabilitas makro 
dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran 
untuk membayar utang. Bahkan penghapusan subsidi untuk rakyat seperti untuk 
pendidikan, kesehatan,
 perumahan, UKM, dipaksakan hanya agar tersedia surplus anggaran untuk membayar 
utang. 

Pembayaran utang adalah suatu keharusan, sementara anggaran untuk pemenuhan 
kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain-lain 
adalah urusan belakangan. 

Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin 
modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang. 

Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan memudahkan negara-negara maju 
mengekspor barang dan jasa ke negara berkembang. Tetapi negara-negara maju 
sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya 
melalui kuota, kebijakan anti-dumping, export restraint, subsidi dan hambatan 
non-tarif. 

Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara dimaksudkan agar 
peranan negara
 di dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam prakteknya program penjualan 
aset-aset negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah (under-valued) 
sehingga sering terjadi program privatisasi yang identik rampokisasi 
(piratization), seperti diungkapkan Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard. 

Dalam prakteknya, kebijakan Konsesus Washington sering dipaksakan sekaligus 
kepada negara berkembang tanpa tahapan, fleksibilitas dan persiapan untuk 
memperkokoh kekuatan ekonomi domestik. China, yang melakukan proses reformasi 
ekonomi sejak 1978, menggunakan pendekatan yang kerap disebut Deng Xiaoping 
sebagai “crossing the river by feeling the stones”. 

Walaupun melakukan liberalisasi, tetapi proses liberalisasi tersebut dilakukan 
secara bertahap dan dipersiapkan, dengan terlebih dulu memperkuat kekuatan 
produktif di dalam negeri. China menempatkan liberalisasi
 sektor keuangan pada tahap akhir dari reformasi ekonomi. Bahkan ketika 
cadangan devisanya nyaris mencapai US$ 3 triliun, China tetap tidak bersedia 
melakukan liberalisasi penentuan nilai tukarnya. 

Menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia gagal menjadi negara yang sejahtera dan 
besar di Asia walaupun ekonom-ekonom neo-liberal (Mafia Berkeley) berkuasa 
selama 40 tahun? 

Karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh 
ekonom-ekonom neo-liberal akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi 
(sekedar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara 
menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model 
Konsensus Washington. Kemerosotan selama dua dekade di Amerika Latin 
(1980-2000) adalah contoh monumental dari kegagalan tersebut. 

Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model
 Konsensus Washington seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, China, 
dll. berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar kekuatan ekonominya. 
Negara-negara yang berhasil tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur 
yang memberikan peranan yang seimbang antara negara dan swasta, serta 
ketergantungan utang yang minimal. 

Dua negara Asia, Indonesia dan Philipina yang patuh pada Konsensus Washington 
mengalami kemerosotan ekonomi terus-menerus, ketergantungan utang yang 
permanen, ketimpangan pendapatan sangat mencolok, kemiskinan yang merajalela 
dan kerusakan lingkungan yang parah. Bersambung 
  
  
  
KULIAH NEOLIB RIZAL RAMLI
Mediocre, 2045 Indonesia Tetap Terbelakang 
Senin, 22 Juni 2009, 11:26:33 WIB 
  
Catatan Redaksi: Wacana neo-liberalisme di arena Pilpres 2009 masih menarik 
untuk terus diikuti. Bagi sebagian orang, isu neolib yang dihembuskan di tengah 
kampanye pemilihan presiden adalah black campaign belaka. Namun bagi sementara 
kalangan ini adalah kesempatan yang baik bagi masyarakat Indonesia untuk 
memahami isu ekonomi neoliberalisme ini dengan bahasa sederhana dan gamblang. 
Ekonom senior Rizal Ramli termasuk dalam kelompok kedua. Pekan lalu dalam 
sebuah diskusi di Hotel Mulia, Jakarta, dia memberikan kuliah terbuka mengenai 
neoliberalisme dan dampaknya dalam pembangunan Indonesia. Redaksi Rakyat 
Merdeka Online akan menurunkan kuliah itu dalam beberapa bagian. Berikut adalah 
bagian pertama. 

SETELAH memahami sekian banyak masalah yang sedang dihadapi Indonesia, kita 
bisa menyimpulkan bahwa hal
 yang kini harus kita lakukan adalah keluar dari mediocre performance. 

Kinerja yang biasa ini punya target pertumbuhan maksimum hanya sebesar 7 
persen, sementara realisasi pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen lebih. Kalau 
target saja mediocre, dapat dibayangkan bahwa di tahun 2045 nanti Indonesia 
akan tetap menjadi negara yang terbelakang. Jumlah penduduk miskin juga tidak 
akan banyak berkurang, atau bisa jadi malah akan semakin bertambah. 

Ada pertanyaan mengapa Indonesia bisa demikian? Apakah hanya karena faktor 
regime; karena Soeharto dan presiden-presiden sesudahnya, termasuk SBY? Atau 
barangkali karena jalan yang diambil memang jalan yang tidak memungkinkan 
Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen? 

Saya senang sekali karena dalam pemilihan presiden kali ini ada diskusi yang 
lebih substansial mengenai neoliberalisme
 dan jalan alternatif untuk keluar dari jerat neoliberalisme. Mungkin diskusi 
mengenai hal ini agak terlalu teknis dan akademis. Tetapi saya menangkap kesan 
rakyat kini mulai memahami bahwa neoliberalisme itu identik dengan tidak pro 
rakyat dan identik dengan tidak pro kepentingan nasional. 

Dari semua calon presiden yang sedang bertanding di arena Pilpres, tidak ada 
yang mengaku dirinya penganut dan pendukung neoliberal. Semua mencuci tangan. 
Menurut saya, untuk hal ini ada yang palsu, ada yang setengah hati dan ada yang 
tidak mengerti. Tugas kita, saya kira, adalah mencoba menjelaskan 
perbedaan-perbedaan ini sehingga rakyat bisa memilih yang terbaik dari 
pilihan-pilihan yang ada. 

Bahasa sederhana neoliberalisme adalah sistem pasar atau kapitalisme 
ugal-ugalan. Sistem ini percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan bila 
diserahkan kepada pasar. Kelompok fundamentalis pasar ini
 mendasarkan keputusan ekonomi mereka berdasarkan dogma daripada argumen 
empirik dan aktual. Bersambung
 

      Lebih Bersih, Lebih Baik, Lebih Cepat -  Rasakan Yahoo! Mail baru yang 
Lebih Cepat hari ini!
 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      Mencari semua teman di Yahoo! Messenger? Undang teman dari Hotmail, Gmail 
ke Yahoo! Messenger dengan mudah sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke