http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=61711

      Selasa, 09-06-09 | 21:41 | 


      Jilbab & Bahasa Politik Islam

      Oleh: Irwan Muin

      Tulisan ini tidak bermaksud mengungkit hakikat penggunaan jilbab (dalam 
pengertian sebagai hijab) bagi muslimat dalam tinjauan syariat Islam. 
Sebaliknya, lebih dimaksudkan memaknai busana jilbab sebagai realitas 
kultur-sosial-keagamaan kaum muslim kaitannya dalam kacamata bahasa politik 
Islam. 

      Tulisan ini bermaksud pula merespons diskursus isu terakhir yang muncul 
menjelang Pilpres 2009 berkenaan "penggunaan jilbab bagi istri para kandidat 
capres dan cawapres". Isu tersebut banyak dimaknai oleh para politisi termasuk 
pengamat sebagai tidak lebih sebagai isu politisasi agama dan tidaklah fair 
kata mereka jika menggunakan isu agama untuk kepentingan politik praktis 
menjelang Pilpres 2009. 

      Tetapi apapun bentuk keberatan atau sanggahan terhadap munculnya isu 
tersebut, dari sisi realitas sosial-politik, isu-isu seputar simbolisme agama 
menjadi trend dadakan dan memiliki daya tarik tersendiri untuk "dieksploitasi" 
secara politis. Termasuk isu jilbab tentu saja. 

      Siapapun tentu tidak bisa menyanggah sebuah realitas sosial bahwa antara 
busana jilbab (yang jauh berbeda dari sekadar berkerudung) dan klaim sebagai 
busana kaum muslimah adalah dua hal yang nyaris tidak bisa dipisahkan. 

      Bahwa yang mengenakan busana jilbab tentulah umumnya adalah seorang 
muslimah, namun tidak semua perempuan muslim dapat dicap "muslimah" (di 
Indonesia) hanya karena harus mengenakan busana jilbab. 

      Hanya saja dalam persepsi dan kesadaran simbolisme umat Islam di 
Indonesia, di mana ketika seorang perempuan muslim mengenakan busana jilbab 
maka seolah-olah yang terpancar dari dirinya adalah kesan mendalam sosok 
perempuan muslimah yang religius. 

      Dapat dibandingkan ketika terdapat dua orang perempuan muslim berdiri 
berdampingan (yang belum dikenal sama sekali personalitinya), di mana yang 
satunya mengenakan jilbab dan yang lainnya tidak berjilbab, maka besar 
kemungkinan kesan pertama yang muncul adalah bahwa sosok perempuan religius di 
antara keduanya tentulah yang berjilbab (walaupun realitasnya bisa saja 
terbalik). 

      Dalam sejarahnya, simbolisme agama dalam Islam (termasuk agama-agama 
lain) secara alamiah telah terbentuk secara kuat dan menjadi bahasa politik 
yang ampuh untuk "mempropaganda kesadaran entitas dan identitas" sekaligus 
perekat emosional bagi umat Islam dalam membentuk reaksi komunal dalam 
menyikapi suatu realitas. Simbolisme agama (Islam) telah melahirkan 
impilkasi-implikasi yang luas dalam mendorong kreativitas umat Islam dalam 
segala bidang. 

      Sebagaimana diungkap oleh seorang Orientalis, Bernard Lewis dalam bukunya 
The Political Language Of Islam, secara sadar mengungkapkan bahwa salah satu 
faktor terbesar yang mendorong kaum muslim kala itu mampu menaklukkan dan 
diperhitungkan oleh dunia adalah di mana semangat-semangat yang tangguh itu 
telah terukir secara berantai dan berkesinambungan secara turun-temurun yang 
tersimpan rapi di dalam pesan-pesan simbol Islam di dalam sajadah maupun 
lafaz-lafaz/kalimah suci, dan lain sebagainya. 

      Dalam konteks keindonesiaan, busana jilbab telah mengalami kristalisasi 
nilai sebagai simbolisme agama (Islam) yang mengandung dua makna, yaitu sebagai 
identitas kultur muslim Indonesia dan sekaligus juga sebagai identitas 
beragama. Sehingga sangat tidak proporsional ketika membicarakan isu jilbab 
kemudian tidak mengaitkannya dengan konteks keberagamaan (Islam). 

      Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar umat muslim (yang puritan) 
masih memaknai agama Islam secara simbolik di mana kesadaran-kesadaran religius 
sangat dipengaruhi oleh pemaknaannya terhadap simbolisme agama. 

      Bahkan, membangun kesadaran dan partisipasi sosial politik mereka juga 
terkadang harus dipancing dengan simbolisme agama. Tidakkah mereka umumnya akan 
jauh lebih mempercayai (lebih positif thinking) menyikapi seruan atau ajakan 
dari para ulama/kiai ketimbang ajakan/seruan dari seorang biasa bahkan pejabat 
negara sekalipun. 

      Bahwa ternyata ulama/kiai itu juga adalah simbol Islam sama halnya dengan 
busana jilbab tadi. Keduanya adalah simbol-simbol Islam yang sangat berpengaruh 
besar "memancing kesadaran emosional umat" untuk merespons realitas-realitas 
sosial termasuk realitas politik (menentukan pilihan politik). 

      Para politisi sendiri sebenarnya telah menyadari hal itu, terbukti dengan 
banyaknya menggandeng para kiai/ulama untuk terjun langsung kepada umat 
sekaitan dengan kampanye politik mereka. Simbolisme agama (Islam) tidak bisa 
disepelekan artinya karena secara substansial justru mampu menembus alam bawah 
sadar dan selanjutnya membangkitkan kesadaran nyata bagi umat untuk menyikapi 
suatu realitas. 

      Memunculkan simbol-simbol agama dalam kegiatan politik praktis bukanlah 
suatu hal yang dilarang atau diharamkan (dalam Islam), justru hal itu menjadi 
menarik karena menjadi bahasa politik yang secara langsung atau tidak langsung 
akan memancing kesadaran komunal umat Islam untuk lebih simpati dan empati 
memperjuangkan kepentingan politik strategis umat Islam. 

      Jadi, kalau ada politisi yang kemudian menghindar menggunakan 
simbol-simbol agama untuk menarik simpati dan empati dukungan politis dari 
umat, maka sebenarnya mereka justru telah menunjukkan sikap ketidakkonsistenan 
mereka dalam berpolitik dan terkesan justru sebagai "jaim" (jaga image). 

      Adalah umat Islam Indonesia sendiri secara sadar tentu mampu memilah dan 
memilih mana kategori perempuan muslim yang berbusana jilbab karena kesadaran 
religius dan yang mana "berbusana jilbab-politis kamuflase". 

      Umat muslim di Indonesia yang berjumlah sekitar kurang lebih 86 persen 
dari jumlah total penduduk Indonesia adalah pasar politik paling ramai 
sekaligus sangat strategis untuk mendulang suara dalam pertarungan Pilpres 
2009. 

      Oleh karena itu, menurut hemat saya, siapapun pasangan kandidat yang 
mencoba menghindari "mempolitisasi simbol agama" sebagai media bahkan jargon 
kampanye politik, adalah merugi kelak. Jadi merupakan poin politik tersendiri 
bagi para kandidat yang mampu menempatkan simbol-simbol Islam secara 
proporsional (dan bukan sebagai rekayasa politik) sebagai bahasa politik untuk 
menarik simpati dan empati pemilih umat Islam di Indonesia. Wallahu a’lam 
bisshawab. (**)  

        Komentar pembaca 
            Husni yunus # makassar # 09 Jun 2009

            simbol keislaman mesti dimunculkan secara riel,karena indonesia 
mayoritas muslim, capres mendatang harus memiliki komitmen keislaman yang 
plural, bila tidak maka proses sekularisasi, westernisasi, neolibelarisme akan 
jadi kekuatan bangsa, islam terlupakan 

--------------------------------------------------------------------
           
            salmon # jl. batu karang no. 02 jayapura # 09 Jun 2009

            jangan sampai blok2 & simbol-simbol agama membuat bangsa yang 
berbineka tunggal ika ini terpecah. dan menghindari penggunaan simbol2 agama 
sebagai komsumsi politik 

--------------------------------------------------------------------
           
     



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke