http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

  
[ Selasa, 22 Juni 2010 ] 

Jelang Muktamar Muhammadiyah, Jogjakarta, 3-8 Juli 2010 
Kegamangan dalam Euforia Satu Abad 
Oleh Syamsul Arifin


PEKAN depan, Muhammadiyah menghelat muktamar ke-46 di Jogjakarta. Muktamar 
Muhammadiyah kali ini bertepatan dengan peringatan satu abad organisasi yang 
didirikan oleh Ahmad Dahlan pada 8 Zulhijah 1330 H (18 November 1912 M). 

Warga Muhammadiyah patut bergembira dengan capaian usia organisasi yang 
panjang. Sebab, tidak banyak organisasi umat Islam di Indonesia yang berkembang 
secara dinamis, selain eksis, kendati telah melampaui usia seabad. Ahmad Dahlan 
mungkin tidak pernah membayangkan bahwa organisasi yang dia bidani ternyata 
tidak hanya melekat dalam memori kolektif umat Islam sebagai sebuah nama, 
tetapi dari sisi basis massa serta jaringan kian berkecambah, berkelindan 
dengan pertambahan amal usaha yang dimiliki. 

Ada banyak kontribusi yang telah diberikan oleh Muhammadiyah dengan modal yang 
dimilikinya itu. Salah satu kontribusi yang dicatat sejumlah pengamat dan 
peneliti Muhammadiyah adalah kontribusi di bidang politik, selain bidang 
keagamaan dan pendidikan yang memang sudah dikenal baik oleh publik. Di bidang 
politik, Muhammadiyah dalam penelitian Alfian (1989) yang mendalam terhadap 
perilaku politik Muhammadiyah untuk kurun 1912-1942 dinilai memiliki posisi 
strategis sebagai kekuatan politik (as political force) meskipun bukan partai 
politik. 

Tanpa harus menjadi partai politik, Muhammadiyah sebenarnya telah memainkan 
peran politik penting. Peran yang ditemukan oleh Alfian selama meneliti, 
Muhammadiyah mampu menjadi masyarakat sipil atau civil society -menurut 
kosakata politik mutakhir. Ahmad Dahlan -karena lebih menonjol sebagai sosok 
kiai- tidak pernah memberikan atribut kepada Muhammadiyah dengan ungkapan yang 
tidak pernah ditemukan dalam teks kitab suci Alquran. Yang ada di benak Ahmad 
Dahlan hanyalah keinginan memperbarui sosial-keagamaan dengan agama sebagai 
sumber inspirasi dan motivasi. 

Praksis gagasan Ahmad Dahlan, rupanya, mengundang apresiasi. Karena itu, banyak 
kalangan Islam perkotaan yang bergabung dengan Muhammadiyah, kendati banyak 
juga yang bersikap oposisi. Terlepas dari kontroversi yang mengiringi 
perkembangan Muhammadiyah, ada suatu fakta yang tidak terbantahkan. Yakni, 
Muhammadiyah memiliki basis massa dan jaringan yang lumayan kuat serta luas 
sehingga dapat mengefektifkan Muhammadiyah dalam berperan sebagai civil 
society. 

***

Dengan peran tersebut, Muhammadiyah di satu pihak selalu konsisten di luar 
jalur kekuasaan dalam pengertian formal. Tetapi, di pihak lain, Muhammadiyah 
tidak pernah kehilangan nyali untuk menyampaikan kritik secara objektif dan 
elegan terhadap lembaga kekuasaan formal, pemerintah. Soal kemampuan mengkritik 
sebagai civil society, kalangan internal Muhammadiyah selalu menjadikan A.R. 
Fachruddin sebagai contoh yang baik. 

Tokoh yang dikenal bersahaja dan pernah memimpin Muhammadiyah dalam rentang 
waktu yang cukup panjang (1968-1990) itu memahami betul konteks budaya 
penguasa. Beberapa episode kepemimpinan Pak AR, panggilan akrab A.R. 
Fachruddin, semasa dengan kekuasaan Presiden Soeharto yang memang kental akan 
nuansa budaya Jawa dan dikenal otoriter. Pak AR tidak jarang menggunakan bahasa 
Jawa kromo inggil saat berkomunikasi dengan Soeharto sehingga aspirasi, kritik, 
dan lobi bisa disampaikan secara elegan, tanpa menimbulkan stigma, apalagi 
friksi utama antara Muhammadiyah dan pemerintah. 

Dengan kompetensi personal dalam berkomunikasi di ranah politik, Pak AR mampu 
mengawal karakter kepolitikan Muhammadiyah, yang sejatinya harus mengutamakan 
keadaban berdemokrasi. Pak AR tentu sangat sadar bahwa Muhammadiyah bukan 
partai politik yang memang terbiasa dengan dua pilihan: berkuasa atau oposisi. 
Muhammadiyah merupakan institusi dakwah. 

Secara diametral, perspektif dakwah berbeda dengan pandangan partai dalam 
memahami realitas politik. Perspektif dakwah lebih mengedepankan kearifan atau 
hikmah dalam berhadapan dengan realitas politik. Realitas politik jarang 
dilihat secara hitam-putih. Kekuasaan secara kelembagaan maupun personal, 
misalnya, tidak melulu dilihat dari sisi buruk atau baik. 

Agar bisa sampai pada penilaian yang seimbang, kita dituntut menjaga jarak dan 
tidak boleh mengambil posisi sebagai partisan. Sebab, jika mengambil posisi 
sebaliknya, kita dengan mudah terperangkap pada sikap hitam-putih lazimnya 
partai politik. 

Mengapa Pak AR sering dijadikan contoh yang baik dalam komunikasi politik? 
Sebab, Pak AR lebih mengutamakan pola berpikir dakwah yang menjadi karakter 
Muhammadiyah! 

***

Dalam lima tahun terakhir, warga Muhammadiyah mulai merindukan sosok seperti 
Pak AR, yang piawai memosisikan Muhammadiyah ketika berhadapan dengan realitas 
politik. Suasana kebatinan itu merupakan hal yang wajar. Sebab, elite 
Muhammadiyah, terutama di level puncak, kian kehilangan nalar dalam memahami 
dua realitas sekaligus: Muhammadiyah dan politik. Cara memosisikan Muhammadiyah 
sebagai institusi dakwah dengan politik tak ubahnya yang dilakukan oleh aktivis 
partai politik. Karena itu, Muhammadiyah menjadi seperti partisan dan terbawa 
ke arus kontestasi perebutan kekuasaan. Hal tersebut tampak pada pemilihan 
presiden 2009. 

Sampai pilpres usai pun, elite puncak Muhammadiyah tidak mau belajar dari 
kesalahan yang baru saja dibuat. Mereka tetap menggiring Muhammadiyah ke dalam 
pusaran politik partisan. Kinerja elite puncak Muhammadiyah yang demikian tentu 
bisa menimbulkan efek psikologis sebagai pihak yang kalah jika agenda politik 
partisannya terhambat. Sebaliknya, jika agenda politik partisan terakomodasi ke 
ranah kekuasaan, efek psikologis sebagai pemenang meluap-luap. Model logika 
biner, kalah-menang, lazim digunakan oleh aktivis partai politik. Logika 
seperti itu sungguh tidak elok bila dikembangkan di Muhammadiyah. 

Mengapa elite puncak Muhammadiyah memiliki agenda politik partisan, sedangkan 
di pihak lain mengabaikan potensi besar Muhammadiyah sebagai civil society? 
Tanpa agenda politik partisan, apakah kekuatan Muhammadiyah tergerus? Saya 
khawatir, dengan mendorong Muhammadiyah terlibat dalam praktik politik 
partisan, elite puncak Muhammadiyah mulai dihantui kegamangan saat Muhammadiyah 
justru memasuki abad kedua. 

Kegamangan merupakan pertanda bahwa elite puncak itu dihinggapi rasa kurang 
percaya diri terhadap potensi besar Muhammadiyah sebagai civil society, yang 
semestinya memiliki kekuatan sejati, tanpa perlu mencari patron kekuasan dengan 
melibatkan diri dalam percaturan politik partisan. (*) 

*) Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si , guru besar dan wakil direktur Program 
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke