SUARA KARYA
Kenaikan BBM dan Aspek Keadilan Oleh Susidarto Selasa, 27 September 2005 Mengapa di balik pengurangan subsidi, yang berkorelasi positif untuk masyarakat miskin, tetap ada gejolak sosial berupa demonstrasi atau unjuk rasa lainnya? Sederhana jawabnya, mereka adalah komponen masyarakat yang sangat tidak menginginkan terjadinya kenaikan BBM (bahan bakar minyak), yang senantiasa diikuti dengan kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya. Maklum saja, BBM merupakan komoditas strategis yang keberadaannya senantiasa memengaruhi komoditas lainnya. Hampir di setiap kenaikan komoditas ini, senantiasa memicu terjadinya fenomena meroketnya harga-harga, yang akhirnya mengakibatkan terjadinya penambahan angka inflasi yang cukup signifikan. Tak hanya itu, di balik subsidi BBM ini, ada isu lain yang menarik. Isu tersebut adalah tuntutan masyarakat mengenai perlunya ditegakkan keadilan ekonomi bagi masyarakat banyak. Selama ini masyarakat banyak justru merasa memberikan subsidi yang berlebihan untuk para konglomerat, koruptor ataupun pejabat yang bermental kleptomani (maling) melalui berbagai pungutan pajak, serta pungutan-pungutan lainnya. Bayangkan, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang adalah milik rakyat, sebagian besar pos pengeluarannya justru dipakai untuk membayar utang luar negeri serta utang domestik dalam bentuk obligasi, yang sebagian besar akibat ulah para obligor kakap. Berbagai pungutan pajak yang semakin membebani masyarakat ini, ternyata tidak dikembalikan ke masyarakat itu sendiri, namun justru banyak dinikmati oleh mereka yang kaya raya. Sebut saja, misalnya, untuk membayar bunga obligasi (utang domestik) saja, pemerintah mengeluarkan anggaran puluhan triliun rupiah. Angka itu jauh melebihi subsidi BBM tahun 2001 (Rp 41 triliun) maupun tahun 2002 (Rp 38 triliun) dan menyamai tahun 2004 (Rp 71 triliun). Dan, lucunya, jumlah obligasi itu tidaklah semakin berkurang, namun tetap saja, sehingga pemerintah terus-menerus memberikan "subsidi" kepada bank-bank pemegang obligasi rekap. Rakyat kembali disakiti hatinya, karena tidak ada keadilan ekonomi sama sekali. Tidak hanya sebatas itu. Utang konglomerat yang macet pun (dalam bentuk bantuan likuiditas bank Indonesia - BLBI), ternyata kembali mendapatkan keistimewaan luar biasa. Berbagai keringanan dalam bentuk grace period, hingga keistimewaan lain termasuk yang sungguh mencengangkan kita: pemberian fasilitas surat release & discharge (R&D) kepada beberapa konglomerat (obligor) yang dianggap kooperatif melalui Inpres yang cukup kontroversial itu. Hal ini bertambah parah, manakala aset-aset yang kini dikuasai pemerintah, sekarang dilego dengan harga obral alias murah. Pemerintah bekerja bak sinterklas terhadap para konglomerat itu. Luar biasa. Itu artinya, administrasi keuangan negara ini memang sangat amburadul. Memang, pemerintah masih memberikan subsidi BBM sebesar Rp 30,3 triliun (2003) dan Rp 70 triliun (2004), namun subsidi ini pun kembali salah sasaran, karena yang menikmati banyak subsidi justru orang-orang kaya bermobil yang rakus BBM. Selain itu, akibat subsidi diberikan terhadap harga bukan pengguna, maka banyak muncul tindakan spekulatif dalam bentuk penimbunan, pengoplosan dan sejenisnya. Akhirnya, rakyat kembali gigit jari. Porsi subsidi yang dapat mereka nikmati sungguhlah kecil, tidak sebanding dengan pengorbanan yang sudah diberikan untuk negara. Keadilan menjadi diinjak-injak tanpa ada yang menghormati sama sekali. Dana kompensasi subsidi kenaikan BBM pun akhirnya digulirkan, setidaknya untuk meredam gejolak sosial yang mungkin akan muncul akibat adanya ketidakadilan ekonomi ini. Untuk tahun 2002 lalu, dana kompensasi yang disalurkan sebesar Rp 2,85 triliun, sebelumnya Rp 2,2 triliun (2001) dan Rp 800 miliar (1999). Untuk tahun 2003 ini, dana subsidi kompensasi BBM sebesar Rp 3,1 - Rp 4 triliun. Untuk tahun 2005 ini, tidak kurang Rp 18,5 triliun sudah dianggarkan. Namun, efektivitas penyaluran dana melalui berbagai tahap ini pun kembali depertanyakan. Jangan-jangan ini hanya siasat untuk kembali mengelabui rakyat banyak, atau hanya sekadar kamuflase belaka agar masyarakat banyak merasa terhibur dengan paket ini. Sebab, kenyataannya, program yang sudah berjalan lima tahun lebih ini belum terlihat pertanggung-jawabannya. Dana kompensasi untuk tahun 1999 dan 2000, total sebesar Rp 3 triliun yang katanya sudah disalurkan, ternyata belum diaudit dan dilaporkan secara transparan kepada masyarakat. Masyarakat pun kembali bertanya-tanya, ke mana gerangan dana itu disalurkan dan apakah ada kebocoran ataupun yang tercecer di mana-mana? Sederetan pertanyaan itu belum terjawab sampai hari ini. Dan konon, dana kompensasi 2005 ini sudah mulai digulirkan tanpa ada persiapan yang matang. Masyarakat kembali khawatir, jangan-jangan dana itu menguap persis nasibnya seperti dana jaring pengaman sosial (JPS) yang menghebohkan itu. Inti persoalan sebenarnya cukup sederhana, masyarakat mendambakan adanya keadilan ekonomi. Artinya, pemerintah jangan hanya berpihak terus-menerus kepada golongan menengah-kaya (konglomerat) yang terus menerus dielus-elus, diberi ransum makanan, dan keistimewaan, sementara masyarakat miskin justru "diperas" dijadikan bahan bulan-bulanan. Kondisi semacam ini sungguh mengkhawatirkan banyak kalangan. Keresahan sosial, rasa frustasi dan pembusukan dendam kesumat, lama kelamaan akan keluar secara membabi buta dan membahayakan kita bersama. Oleh sebab itu, jangan sampai kemarahan masyarakat ini terus menerus tertimbun dan menemukan salurannya. Pemerintah harus mencarikan solusi yang tepat. Kalaupun pemerintah bisa berhemat dan melakukan efisiensi, maka kondisinya tidak akan parah seperti sekarang ini. Sebut saja, misalnya, bila pemerintah bisa menekan penyelundupan yang konon berpotensi merugikan negara sebesar Rp 6 triliun (per bulan), maka uang sebesar itu sebenarnya sangat membantu ekonomi masyarakat banyak. Belum lagi, kalau pemerintah bisa berhemat dalam membayar bunga obligasi (berarti harus mengurangi porsi obligasi rekap), maka berapa puluh triliun rupiah bisa dihemat. Itu baru dua pos, belum pos-pos pengeluaran lain dan pos "kebocoran" lain yang konon menurut almarhum Prof Soemitro bisa mencapai 30 persen. Kenaikan BBM untuk kedua kalinya pada tahun ini telah menjadi kebijakan pemerintah. Memang, nasi sudah menjadi bubur, pemerintah sudah telanjur akan segera menaikkan harga BBM. Namun tidak ada salahnya, catatan di atas menjadi bahan perenungan tersendiri bagi kita semua, agar di kemudian hari bisa memetik hikmah dari setiap kejadian yang muncul. Mengelola negara memang tidak mudah, namun itulah seninya menjadi seorang negarawan, yakni mampu bertindak cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. *** Penulis pengamat ekonomi-perbankan, tinggal di Yogyakarta [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/