Refleksi. Tidak ada krisis dalam bidang pendidikan Indonesia, karena apa yang 
berlangsung adalah sesuai dengan politik pendidikan pemerintah NKRI,  dalam 
mana juga  Departemen Agama serta  Majelis Ulama Indonesia memainkan peranan  
yang tidak kalah pentingnya. 

Jadi adalah tidak keliru bila dipahami bahwa politik pendidikan yang berlansung 
ilah untuk tidak menciptakan sebanyak mungkin rakyat tidak terdidik, 
berpengetahuan minimalisme. Dengan begitu rakyat mudah dapat dimanipulasikan 
sesuai idam-idaman para penguasa negara kleptokratik.  

Kalau politik negara bercita-cita memajukan dan mempertinggi mutu pendidikan 
bagi rakyat mayoritas maka yang disebut krisis ini tidak terjadi dihindarkan 
atau dapat diabaikan dari mula. 

http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/08/21/20374646/Krisis.Parah.dalam.Pendidikan.Indonesia


Krisis Parah dalam Pendidikan Indonesia
Jumat, 21 Agustus 2009 | 20:37 WIB
KOMPAS.com - Pada umumnya masyarakat Indonesia dapat merasakan dan menyadari 
dengan jelas krisis ekonomi dan krisis finansial seperti yang terjadi pada 
tahun 1998 dan 2008. Namun mereka kurang menyadari krisis yang berdampak lebih 
besar, yaitu krisis pendidikan Indonesia. 

Krisis Pendidikan semakin parah justru setelah Indonesia berdemokrasi dan bebas 
memilih apa yang terbaik untuk rakyat dan lepas dari belenggu kediktatoran. 

Tak seperti krisis ekonomi, krisis pendidikan ini berimplikasi pelan tapi pasti 
dan kuat pada struktur sosial di masa depan. 

Biang utama dari krisis pendidikan adalah sistem pendidikan yang mengadopsi 
sistem pasar dan konsep efisiensi privat atau perusahaan swasta yang dibawa 
pada ranah pendidikan yang bersifat publik. 

Sistem ini sebenarnya telah melecehkan konstitusi yang menempatkan negara yang 
berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penghayatan terhadap totalitas konstitusi sebagaimana dirumuskan oleh para 
pendiri bangsa, konstruksi sosial masyarakat yang sudah terkapitalisasi, dan 
ketidakcukupan pemaknaan yang lebih tegas, banyak melahirkan peraturan dan 
perundangan yang membawa ideologi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh 
pendiri bangsa ini. 

Bahkan ketika konstitusi mengamanatkan dengan jelas alokasi anggaran untuk 
pendidikan, masih banyak dimaklumi pemunduran penerapannya. Bahkan ketika 
kesempatan itu ada, maka implementasi alokasi anggaran masih serabutan dan 
tidak jelas arahnya.

Ideologi dasar sistem pendidikan Indonesia saat ini tak lain adalah ideologi 
neoliberal murni, meski masih dibatasi oleh kondisi sosial. Artinya kerangka 
dasar sistem pendidikan Indonesia adalah ideologi neoliberal dengan 
penyesuaian-penyesuaian kecil yang terlihat peduli pada hak-hak dan beban 
sosial masyarakat.

Jadi perhatian pada hak rakyat atas pendidikan hanya ditempatkan sebagai 
kendala, yang dipenuhi agar sistem utama dapat berjalan. 

Dalam sistem seperti ini pendidikan ditempatkan sebagai komoditas, peranan 
pemerintah dimimalisasi dengan berfokus pada kontrol kurikulum dan standar, 
melakukan desentralisasi kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain negara 
melempar kewajibannya pada entitas politik lokal. 

Guru, dosen, dan profesi pendidik dininabobokkan sebagai pahlawan tanpa tanda 
jasa atau dengan kata lain ditempatkan dalam status ekonomi dan kondisi kerja 
yang rendah. 

Upaya meningkatkan kesejahteraan, seperti kenaikan gaji yang tidak signifikan 
atau sistem sertifikasi yang tidak masuk akal, memperkuat asumsi itu.

Indikasi ini dapat dilihat pada semua level pendidikan dari tingkat dasar, 
sampai pendidikan tinggi. Pada sekolah dasar dan menengah, kesenjangan pada 
sekolah-sekolah negeri sendiri sangatlah tinggi. Ada sekolah yang kaya dan ada 
sekolah yang miskin. 

Status sekolah menjadi tergantung kondisi sosial ekonomi muridnya. Ada sekolah 
roboh, ada sekolah yang megah, padahal semua sekolah pemerintah. 

Bahkan di dalam sekolah pun dibedakan, ada yang masuk rintisan sekolah bertaraf 
internasional dan ada sekolah biasa saja. Yang satu ber-AC dan berbahasa 
inggris, yang satu berkeringat dan berbahasa Indonesia.

Mengapa ada rintisan sekolah bertaraf internasional? Ini adalah wujud dari 
ketidakpercayaan diri pada sekolah nasional atau inferioritas sebagai bangsa. 

Kalaupun sekolah bertaraf internasional ini memang dianggap memiliki kualitas 
yang lebih baik kenapa tidak dijadikan standar nasional untuk semua, kenapa 
hanya diperuntukkan hanya untuk kelompok tertentu.

Diskriminasi terjadi tidak hanya ketika akan masuk sekolah yang tersaring 
dengan tarif yang mahal, akan tetapi dalamn proses di dalamnyapun terjadi 
diskriminasi lanjutan. Pada tingkat pendidikan tinggi, universitas besar 
dijadikan BHMN (Badan Hukum Milik Negara), sekarang sedang menuju BHP (Badan 
Hukum Pendidikan).

Sekolah dan perguruan tinggi didesain agar berpikir dan bergerak secara swasta, 
dengan sebuah asumsi dasar swasta selalu lebih baik dari publik atau pemerintah.

Universitas didorong menjadi entrepreneurial university sehingga PT (Perguruan 
Tinggi) berperilaku seperti PT (Perseroan Terbatas). 

Logika pasar benar-benar merebah. Uang masuk mahal, SPP mahal, bahkan sampai 
para dosennya sendiri tidak akan mampu menyekolahkan anaknya di universitas 
tempat mengajar. 

Perguruan tinggi pun sekarang mengejar kelasnya menjadi berkelas dunia (world 
class university). Daripada berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang 
dihadapi bangsa sendiri, perguruan tinggi mengikuti arus global dengan mengacu 
pada standar-standar internasional yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan 
bangsa sendiri.




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke