Kritik Atas Jilbab
Oleh Nong Darol Mahmada
Pandangan yang mengatakan bahwa jibab itu tak wajib bisa kita baca di buku ini. 
Bahkan Al-Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan 
tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa 
dijadikan landasan hukum tetap. Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa 
jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan 
tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada 
keharusan agama. 
Judul Buku: Kritik Atas Jilbab 
Penulis: Muhammad Sa’id Al Asymawi 
Penerjemah: Novriantoni Kahar dan Oppie Tj 
Editor: Nong Darol Mahmada 
Penerbit: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, April 2003 
Harga: Rp. 12.000,- 
================================== 
Apa sih pentingnya Jaringan Islam Liberal (JIL) menerbitkan buku tentang hijâb 
atau di Indonesia lebih dikenal dengan jilbab, ini? Sebenarnya pertanyaan ini 
sangat personal karena pasti jawabannya akan sangat subyektif. Saya sangat 
concern dengan tema ini berawal dari sebuah pengalaman pribadi. 
Saya ingat ketika saya kecil. Nenek saya sangat ketat dengan kerudung, meski 
kerudungnya hanya sehelai kain yang ditutupkan di kepala. Ia muslimah yang taat 
sampai wafat-nya (âllâhummâghfirlâhâ). Menurutnya, rambut perempuan yang sudah 
baligh tak boleh diperlihatkan karena itu aurat. Bila melanggar, tegasnya, 
pasti rambut kita akan dibakar di neraka. Tentu saja, penggambaran api neraka 
yang akan membakar rambut selalu terbayang di mata. Apalagi pernyataan itu 
keluar dari seorang yang saya teladani. Makanya ketika saya menginjak baligh, 
saya langsung memakai kerudung karena ketakutan itu. 
Namun keputusan saya untuk berkerudung tak menghilangkan kekritisan saya untuk 
terus mencari jawaban kenapa kepala dan rambut perempuan itu aurat sehingga 
harus ditutupi. Kenapa perempuan itu serba aurat sehingga semuanya harus 
ditutupi? Kenapa laki-laki tidak, bahkan aurat laki-laki hanya sebatas dari 
lutut hingga pusar? Akhirnya karena dorongan rasa ingin tahu itu saya mulai 
banyak membaca tentang jilbab. 
Ternyata, tak sesederhana itu masalah-nya; tak sekedar aurat dan dibakar  api 
neraka seperti pengalaman saya di atas. Namun lebih rumit dari itu. Apalagi 
bila kita melihat kenyataan, dalam setiap gerakan penerapan syariat Islam, bisa 
dipastikan, perempuan (jilbab)-lah program awalnya. Jangan jauh-jauh, lihatlah 
di pelbagai daerah di negeri kita. Pasti, wacana yang berkembang pertama kali 
untuk membuktikan kalau daerah itu menerapkan syariat Islam yaitu dengan 
mewajibkan perempuan memakai jilbab. Tak lupa, dibuatlah peraturannya dan ada 
lembaga pengawasnya. Seakan-akan jilbab adalah indikator paling kasat mata dari 
keberhasilan penerapan syariat Islam. Seakan-akan jilbab itu adalah Islam itu 
sendiri. Pertanyaannya, benarkah jilbab itu adalah syariat Islam? 
Jawabannya tentu saja sangat panjang dan tidak hitam putih. Meski jilbab hanya 
salah satu bagian pakaian untuk perempuan tapi konsep ini punya sejarah yang 
sangat panjang. Sebagai  pengantar untuk buku ini, saya akan mengurai kata dan 
sejarah jilbab. Tak lupa, saya juga akan kaitkan dengan konsep Islam menurut 
persepsi subyektif saya tentang jilbab. 
*** 
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan 
kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab 
berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa 
Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari 
kepala hingga kaki perempuan dewasa. 
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara 
Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador 
di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, 
charshaf di Turki, hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, 
Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, 
berubah mak-na menjadi pakaian penutup aurat perem-puan semenjak abad ke-4 H. 
Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah ‘milik’  
Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal 
beberapa istilah yang semakna dengan hijâb sepertitif’eret. Demiki-an pula 
dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan 
isti-lah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah,zaif dan mitpahat. 
Bahkan kata Eipstein yang dikutip Nasa-ruddin Umar dalam tulisannya yang pernah 
dimuat di Ulumul Quran,konsep hijâb dalam arti penutup kepala sudah dikenal 
sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani). Bahkan kata pak 
Nasar, pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), 
kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 
SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti 
Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. (Kompas, 25/11/02) 
Tradisi penggunaan kerudung pun sudah dikenal dalam hukum kekeluargaan Asyiria. 
Hukum ini mengatur bahwa isteri, anak perempuan dan janda bila bepergian ke 
tempat umum harus menggunakan kerudung. Dan kalau merunut lebih jauh mengenai 
konsep ini, ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, maka persoalan pertama 
yang mereka alami adalah begaimana menutup kemaluan mereka (aurat) (QS. 
Thaha/20: 121). 
Karena itu tak heran, dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan hijâb 
berawal dari dosa asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu 
adalah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta 
kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai hijab tetapi juga 
mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya. 
Nah, berbeda dengan konsep hijâb dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, dalam Islam, 
hijâb tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam 
konsep Islam, hijâb dan menstruasi pada perem-puan mempunyai konteksnya 
sendiri-sendiri. Aksentuasi hijâb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada 
ke persoalan substansi ajaran.. Pelembagaan hijâb dalam Islam di-dasarkan pada 
dua ayat dalam Alqur’an yaitu QS. Al-Ahzab/ 33: 59 dan QS. An-Nur/24: 31. 
Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian untuk perempuan 
Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur meru-pakan bentuk pulral dari khimar yang 
artinya kerudung. Sedangkan kata juyub merupakan bentuk plural dari dari kata 
jaib yang artinya adalah ash-shadru (dada). Jadi kalimat hendakl-ah mereka 
menutupkan kain kerudung ke dada-nya ini merupakan reaksi dari tradisi pakaian 
perempuan Arab Jahiliyah. 
Seperti yang digambarkan oleh Al-Allamah Ibnu Katsir di dalam tafsirnya: 
“Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan 
telanjang dada tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang-kadang mereka 
memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya”. 
Sementara  itu Imam Zarkasyi memberikan komentarnya mengenai keberadaan 
perempuan pada masa jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian yang membuka leher 
bagian dadanya, sehingga tampak jelas selu-ruh leher dan urat-uratnya serta 
anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan keru-dungnya mereka ke arah 
belakang, sehingga bagian muka tetap terbuka. Oleh karena itu, maka segera 
diperintahkan untuk mengulur-kan kerudung di bagian depan agar bisa menutup 
dada mereka”. 
Pakaian yang memperlihatkan dadanya ini pernah dilakukan Hindun binti Uthbah 
ketika memberikan semangat perang kaum kafir Mekah melawan kaum muslim  pada 
perang Uhud. Dan ini biasa dilakukan perempuan jahiliyah dalam keterlibatannya 
berperang untuk memberikan semangat juang. 
Selain karena faktor kondisional seperti yang digambarkan di atas,  kedua ayat 
ini juga turunnya lebih bersifat politis, diskriminatif dan elitis. Surat 
Al-Ahzab yang didalamnya terdapat ayat hijab turun setelah perang Khandaq (5 
Hijriyah).. Sedangkan surat An-Nur turun setelah al-Ahzab dan kondisinya saat 
itu sedang rawan. Bersifat politis sebab ayat-ayat di atas turun untuk menjawab 
serangan yang dilancarkan kaum munafik, dalam hal ini Abdullah bin Ubay dan 
konco-konconya, terhadap umat Islam. Serangan kaum munafik ini “memakai” 
perempuan  Islam dengan cara memfitnah isteri-isteri Nabi, khususnya Siti 
Aisyah. Peristiwa terha-dap Siti Aisyah ini disebut peristiwa peristiwaal-ifk.* 
Pada saat itu, peristiwa ini sangat menghebohkan sehingga untuk mengakhiri-nya 
harus ditegaskan dengan diturun-kannya lima ayat yaitu QS. An-Nur/23: 11-16. 
Ayat-ayat ini juga turun di saat kondisi sosial pada saat itu tidak aman 
seperti yang diceritakan di atas. Gangguan terhadap perempuan-perempuan Islam 
sangat gencar. Semua ini dalam rangka menghancurkan agama Islam. Maka ayat itu 
ingin melindungi perempuan Islam dari pelecehan itu. 
Menurut Abu Syuqqah, perintah untuk mengulurkan jilbab pada ayat di atas, 
mengandung kesempurnaan pembedaan dan kesempurnaan keadaan ketika keluar. Dan 
Allah Swt telah menyebutkan alasan perintah berjilbab dan pengulurannya. 
Firman-Nya, Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu 
mereka tidak diganggu. Dalam hal ini, untuk membedakan perempuan merdeka dan 
perempuan budak. 
Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, 
ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat 
dilihat am-biguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin 
menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata 
masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian di atas. 
Namun menurut saya, untuk menghindari penafsiran ambigu tersebut, maka titik 
tekan penafsiran itu adalah etika moral ayat itu. Yaitu tidak hanya sebagai 
aturan dalam berpakaian saja. Sehingga tidak ada perbedaan antara perempuan 
merdeka dengan budak, tetapi lebih pada suruhan untuk sopan dan bersahaja 
(modesty) yang bisa dilakukan siapa saja. 
Dalam dunia Islam, banyak buku tentang tentang hijâb ditulis, yang dalam 
pengertian luasnya menyebutkan pakaian perempuan Islam yang baik, pemisahan 
perempuan dan pembatasan kontak perempuan dengan laki-laki yang bukan 
keluarganya. Ayat-ayat di atas yang berkenaan dengan isu ini tidak memberikan 
perintah yang tersurat bagi perempuan Islam. Ini hanya membicarakan kesopanan 
perempuan pada umumnya dan menetapkan peraturan bagi isteri-isteri Nabi. 
Seperti pernah dikemukakan Fatima Mernissi dalam bukuWanita dalam Islam, dalam 
masa-masa awal kehidupan Islam, ruang yang diciptakan Nabi sepertinya tidak ada 
dikotomi antara ruang privat Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin 
lainnya. QS. Al-Ahzab/33:53 menegaskan akan ruang privat Nabi dan 
isteri-isterinya yang berarti diduga sebelumnya tidak ada dikotomi publik dan 
privat. 
Pelembagaan jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam 
bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting 
tersebut. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupa-kan pakaian pilihan 
(occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized), pakaian 
wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam 
kodifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarekh, termasuk 
pem-bakuan standar penulisan (rasm) dan bacaan (qira’at) Alqur’an. Disadari 
atau tidak, unsur Hellinisme-Persia ikut berpengaruh di dalam kodifikasi dan 
standardisasi tersebut. Sebagai contoh, riwayat Israiliyat ikut 
mempertebal jilid kitab Tafsir al-Thabary yang kemudian menjadi rujukan ulama 
pada kitab-kitab tafsir sesudahnya. 
Menurut Ruth Rodded dalam bukunya Kembang Peradaban, sampai sekarang masih 
terjadi perbedaan pendapat mengenai makna dan penerapan praktis ayat-ayat 
hijâb. Perbedaan pendapat ini juga berkisar pada definisi-definisi yang tepat 
mengenai kata-kata tertentu (termasuk istilah hijâb), konteksnya dan apakah 
peraturan yang ditetapkan untuk isteri-isteri Nabi harus menjadi norma bagi 
semua perempuan Islam. Namun seperti yang dikatakan Harun Nasution, “Pendapat 
yang mengatakan hijâb itu wajib, bisa dikatakan ya. Dan yang mengatakan tidak 
wajib pun bisa dijawab ya. Tapi batasan-batasan aturan yang jelas mengenai 
hijâb ini tidak ada dalam Alqur’an dan hadits-hadits mutawatir.” (Islam 
Rasional, h.332) 
Nah, pandangan yang mengatakan bahwa jibab itu tak wajib bisa kita baca di buku 
ini. Bahkan Al-Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi 
rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa 
dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, 
dampaknya akan besar. Seperti kutip-annya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan 
adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan 
diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. 
Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan 
kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, 
perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan 
Allah karena serba aurat. 
Selama ini, kita terbiasa membaca buku atau selebaran tentang kewajiban jilbab 
disertai ayat Alqur’an dan Hadis serta ancaman bila perempuan Islam tak 
memakainya. Persis seperti pengalaman saya waktu kecil. 
Buku ini, secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan 
tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih 
merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama. 
Saya harap, buku kecil ini bisa memberi masukan yang bermanfaat buat siapa 
saja, yang berjilbab ataupun tidak. Tentu saja, bukan berarti saya fobia atau 
over estimate terhadap jilbab. Sepanjang pemakaian jilbab itu dikarenakan atas 
kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencari-an jati diri 
seorang perempuan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah 
saja. Selamat membaca! 
-- Utan Kayu, 17 April 2003 
* Peristiwa al-ifk  terjadi ketika Aisyah tertinggal dari rombongan di salah 
satu medan perang karena ia mencari kalung permatanya yang hilang. Ketika 
sampai di kemah, tak lagi dijumpai seorangpun. Seluruh pasukan sudah 
meningalkan lokasi. Di saat Aisyah sendirian di kemah, datanglah Safwan ibn 
Mu’attal al-Sulami dengan untanya lalu membawanya ke Madinah. Pecahlah isu yang 
tidak enak dalam masyarakat. Dan ini dimanfaatkan oleh kaum munafik dengan 
koordinator Abdullah bin Ubay. Akibat peristiwa ini, Nabi membentuk tim khusus 
untuk menyelediki kasus ini. 


      Buat sendiri desain eksklusif Messenger Pingbox Anda sekarang! Membuat 
tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Kirim email ke