Dari milis sebelah
Muenster, 04 Mei 2008 Luka Ibu Yang Menyusui Ahmadiyah Dewi Candraningrum* Telah cukup lengkap kesejarahan Ahmadiyah di Indonesia yang dinarasikan oleh sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dalam esei singkat "Belajar dari Sejarah Ahmadiyah" di Harian Jawa Pos Kamis 28 April lalu. Renda persaudaraan yang erat dan saling mengikat antara NU, Muhammadiyah dan Ahmadiyah merupakan fakta kesejarahan yang dapat dihikmati dengan cinta dan kasih. Narasi persaudaraan ini merupakan pelipur lara bagi kawan-kawan Ahmadiyah yang telah kehilangan rumah ibadahnya. Yang telah dibakar habis dalam amunisi kemarahan pemaksaan mazhab. Pemaksaan ini telah dilegitimasi oleh dua Fatwa MUI tahun 1980 dan 2005 yang memunculkan kata sesat pada Jemaat Ahmadiyah. Setelah sejak tahun 1920-an hidup berdampingan secara damai dengan penganut lain, kawan-kawan Ahmadiyah dirompak luka. Ibu-ibu dan anak-anak berlari-lari tergopoh-gopoh dalam ketakutan ketika masjid-masjid mereka dibakar hangus sampai habis. Pun, teror menghantui kehidupan para keluarga Ahmadiyah di Indonesia. Tak terkecuali, ibu-ibu dan anak-anak Ahmadiyah menderita trauma psikososial untuk kembali menjalani hidup yang normal sebagai bagian dari peri kewarganegaraan Indonesia, yang seharusnya dijamin oleh negara. Negara telah menjadi lalai untuk menjamin hak berkehidupan yang aman dari rasa takut dan ancaman teror. Susu Kehidupan Yang Sat dan Kering Raut muka penuh luka ini telah pula dirupakan oleh Nur Azizah dari Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) pada 4 Mei, dalam berita "Lagi, Ibu dan Anak Korban Kekerasan terhadap Ahmadiyah". Dalam laporannya, banyak anak-anak di Parakan Salak Sukabumi mengalami trauma sehingga malu untuk pergi ke sekolah. Kantor YJP dan KOMNAS HAM menerima pengaduan trauma psikologis anak-anak dan ibu-ibu yang melihat masjid mereka dibakar oleh oknum tidak bertanggung jawab. Kekerasan psikologis ini merupakan kelanjutan dari stempel fatwa MUI. Menyebut Liyan sebagai berkeyakinan sesat telah memasuki ruang kekerasan epistemik. Liyan dicitrakan sekaligus dinarasikan sebagai tidak memiliki kemampuan menempuhi jalan yang benar. Sementara MUI telah melegitimasi diri menempuhi jalan paling benar, sedangkan Liyan, yaitu Ahmadiyah, adalah menyimpang dan tersesat dari jalan Islam. MUI tidak menghitung konsekuensi sosial dari penyebutan atas Liyan sebagai sesat. MUI tidak menghitung dera luka psikososial yang dialami kawan-kawan Ahmadiyah, pun kawan-kawan Muslim, yang melihat aksi-aksi teror dan kekerasan ini. Pula, MUI tidak menghitung wajah- wajah para perempuan dan anak-anak yang dirundung trauma sosial untuk menjadi warga negara yang normal. Bagaimana dapat menjadi warga negara yang normal kalau hak atas berkeyakinan dan beragama telah ditebas oleh pernyataan sesat? Para ibu yang menyusui anak- anak Ahmadiyah seperti telah sat habis dan kering untuk menyediakan susu kehidupan bagi anak-anaknya. Trauma psikologis yang menimpa seorang ibu dapat menyebabkan keringnya air susu ibu. Dan, apakah ini bau kesturi perjuangan Islam yang dicanangkan oleh Muhammad SAW? Tentu saja tidak. Muhammad SAW adalah pengasih perempuan dan penyayang anak-anak. Muhammad SAW mengajari pernghormatan pada ibu. Pun, telapak kaki ibu merupakan metafora lokasi surga. Setangkai Daffodil untuk Ibu Ahmadiyah Jerman menjadi saksi atas Quran yang pertama kali ditarjamah menjadi bahasa Jerman oleh kawan Jemaat Ahmadiyah. Pengikut mujadid Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah di India pada 1889, tidak hanya mengembara di Indonesia. Pula, ke Eropa pada tahun 1920-an. Masjid pertama dan tertua di Jerman, didirikan oleh Jemaat Ahmadiyah di Berlin, Wilmersdorfer Moschee pada 1924, yang terkenal dengan sebutan Masjid Berliner. Dan, Quran tarjamah bahasa Jerman pertama ditulis oleh kawan Ahmadiyah, Imam Sadr-ud-Din pada 1939. Jamaat Ahmadiyah dikenal dengan motto Muslim yang damai dan toleran. Meskipun mendapat kritik keras dari Orthodoks Islam, Ahmadiyah berdiri tegak dengan motto perdamaian. Secara tidak sengaja, Sabtu 3 Mei lalu, saya dan seorang kawan menyempatkan diri berkunjung ke salah satu masjid Ahmadiyah di kota Muenster Jerman. Baitul Momin yang berdiri megah di Hiltrup pinggiran kota Muenster ini menyala dalam terpa matahari musim semi. Maret lalu Daffodil putih dan kuning yang mekar cantik menyala menghiasi secara acak pinggiran jalan menuju Bait-ul-Momin Moschee, masjid yang dibangun pada tahun 2003 ini. Selain ada masjid Arab dan masjid Turki, di Munster berdiri pula Tarekat Burhaniya yang kebanyakan diikuti oleh para Muslim Jerman. Hidup berdampingan secara damai. Pemerintah Jerman tidak perlu mengeluarkan surat geledah atau surat sesat atas aliran-aliran tersebut. Bahkan, perkumpulan Muslim Indonesia di Jerman paling kuat diorganisir oleh PIP-PKS, salah satu partai Islamis Indonesia. Banyak akivis Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera ini aktif menjadi pengurus di FORKOM (Forum Komunikasi Muslim Indonesia Jerman). Pemerintah Jerman memberi nafas luar biasa longgar pada gerakan- gerakan Islam ini. Bahkan, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Jerman telah pula didirikan pada awal 2007 lalu. Bunga Daffodil putih dan kuning yang mekar indah di lahan rerumputan Jerman telah menyediakan atmosfer berkehidupan bebas dalam meyakini pandangan dunia tertentu untuk memburu Tuhan. Tuhan telah menghembus nyawa Daffodil untuk hidup berdampingan secara damai dengan bunga-bunga lainnya yang mekar silih berganti di musim semi yang kaya warna. Berhenti di pinggir jalan, saya cabut satu bunga Daffodil putih, dan saya berikan kepada salah satu ibu dalam masjid Ahmadiyah itu. "Syukron, vielen Dank", jawabnya dengan lembut dan penuh kasih. Setelah ditanya darimana, dan saya menjawab dari Indonesia, Ibu ini menitikkan air mata. Sepertinya, Ibu ini mengetahui bahwa Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah dikejar teror yang dahsyat. Kami pun sholat bersama dan bersembah doa untuk ibu-ibu dan anak-anak Ahmadiyah yang sedang menjemput horor dalam pekik tangis menyaksikan rumah ibadahnya dibakar di Indonesia. Selamatkan Ibu dan Anak Ahmadiyah dari Kekerasan Islam mendaulah kemanusiaan dengan memperkenalkan kasih, cinta, budi, dan peri kehidupan yang adil dan beradab. Muhammad SAW, sang peneguh cinta kasih, adalah tiang segala kasih dan cinta. Muhammad tidak memperkenalkan cara-cara menyesati, menciderai, dan membakar para saudara dan bahkan musuh sekalipun. Muhammad selalu memperbawakan kasih dan cinta kepada dunia. Aksi penyesatan, penyerangan, dan pembakaran rumah ibadah Jemaat Ahmadiyah adalah aksi tidak Islami. Aksi yang tidak merahmati zaman. Aksi yang tidak diliputi semangat Muhammad. Aksi, yang sekaligus, melanggar asasi kemanusiaan kawan-kawan Ahmadiyah. Penghargaan terhadap Jemaat Ahmadiyah merupakan kesturi wangi Muhammad SAW. Semoga Allah SWT, Rab Yang Maha Agung, memberikan penerang dan jalan keindahan, jalan kasih pada para pemimpin Islam. Semoga tidak amnesia dan cepat lupa- diri lupa-hati menyesatkan Liyan. Jalan cinta adalah jalan kemanusiaan. Ketika cinta yang dibimbing oleh ibu yang melahirkan dan menyusui anak-anak Ahmadiyah. Amin. Keberpihakan pada ibu-ibu dan anak-anak Ahmadiyah yang mendapatkan kekerasan ini telah digalang oleh berbagai LSM perempuan: Yayasan Jurnal Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Aliansi Bhinneka Tunggal Ika, LBH Jkt, Inst Ungu, Komunitas Ungu, Our Voice, Inst Pelangi Perempuan, Lajnah Imaillah Ahmadiyah, Perempuan Mahardhika, Srikandi Demokrasi Indonesia, PCIM Jerman, dll. Bersama berjalan dalam hening dan damai pada Kamis depan 08 Mei 2008 pukul 09.00 pagi di Bundaran HI Jakarta. Pada Rabu 07 Mei pukul 11.00 akan digelar konferensi pers di kantor YJP, dengan dilanjutkan testimoni ibu-ibu dan anak-anak Ahmadiyah, pemutaran film dokumenter kekerasan terhadap Ahmadiyah, dan pernyataan sikap oleh Prof Siti Musdah Mulia (Ketua Umum ICRP), Mariana Amiruddin (Dir YJP) dan Masruchah (Sekjen KPI). Selamatkan Ibu dan Anak Ahmadiyah dari Kekerasan! Bergabunglah! --------------------------------- Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! Answers [Non-text portions of this message have been removed]