Pikiran Rakyat , Jumat, 23 Desember 2005
Malinkundang dan Ibunya Oleh Prof. Dr. WILA CANDRAWILA, S.H. ANDAIKAN ada legenda yang mengumpamakan Malinkundang itu seorang suami dan ibunya itu seorang istri, dan apabila suami durhaka kepada istri (ibu dari anak-anaknya), maka suami akan terkutuk menjadi batu. Pesan moral dari legenda kedua itu, mungkin saja dapat mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, karena takut pada kutukan? Perempuan (biasanya, ada juga pria tentunya) korban kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum melalui UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT), yang diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 22 September 2004. Para perempuan yang sangat lama menderita, karena ketidakberdayaannya menghadapi KDRT, boleh berbangga hati dengan diundangkannya UU ini. Namun, setelah setahun lamanya diberlakukan, gaung terhadap pelaksanaan dari UU KDRT ini, sangatlah lemah, dalam arti tidak seperti yang diharapkan semula. Padahal, UU KDRT memberikan hak kepada korban kekerasan dan masyarakat yang mengetahui adanya kekerasan, untuk mengadukan penganiayaan/kekerasan itu kepada polisi, namun tidak terdengar adanya pengaduan dari perempuan korban KDRT atau pengaduan masyarakat yang melihat adanya KDRT, kepada pihak kepolisian. Pertanyaannya: apakah memang tidak ada kekerasan di dalam rumah tangga? Kekerasan dalam rumah tangga cukup banyak terjadi setiap hari, baik fisik maupun nonfisik (psikis), bahkan penelantaran oleh suami kepada istri/anak terjadi demikian banyak. Bukan saja penelantaran terhadap pemenuhan kebutuhan fisik, juga penelantaran secara psikis, yang sulit dilihat dengan kasat mata. Pertanyaan selanjutnya, mengapa perempuan dan masyarakat, enggan mengadukan penganiayaan yang dialami, baik kepada pihak kepolisian maupun pihak lainnya? Selain karena masih ada pendapat mengadukan masalah rumah tangga seperti menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri, di samping itu akibat dari pengaduan bisa menjadi buah simalakama bagi perempuan. Masih kuatnya pendapat tentang mengadukan masalah domestik adalah tabu, karena yang diadukan adalah bapak dari anak/anak-anak. Selain itu, membuka borok rumah tangga adalah suatu aib, sehingga borok itu diupayakan untuk ditutup-tutupi. Ketidakberdayaan perempuan Ada seorang istri bertanya apakah istri dapat menggugat suaminya, yang begitu saja meninggalkan rumah, menolak memenuhi kebutuhan istri dan termasuk anak-anaknya, agar pengadilan memaksanakan suami memenuhi kewajibannya memberikan nafkah? Pada waktu dijawab bahwa hukum memang memberikan hak kepada istri untuk menggugat suami memenuhi kebutuhan rumah tangga melalui Pasal 34 Ayat 3 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya UUP), bahkan melalui Pasal 49 UU KDRT), sang istri dapat mengadukan suaminya, karena UU menetapkan hukuman penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 150 juta. Bagi suami yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga, istri menjadi sangat bersemangat ingin menggugat secara perdata dan mengadukan suami kepada pihak kepolisian. Namun, setelah dijelaskan proses gugatan dan pengadukan selain membutuhkan waktu dan tenaga yang sangat melelahkan, juga apabila suami dihukum penjara, bukankah malah suami tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga? Jawab sang istri, jadi apa yang harus diperbuat? Istri tersebut seperti makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Di samping itu, tidak ada gunanya menggugat atau mengadukan suami, karena kalaupun berhasil, pemaksaan terhadap pemenuhan kewajiban juga tidak mudah. Akhirnya sang istri menjawab, kalau begitu saya mau bercerai saja. Apakah istri tersebut siap menghadapi perceraian? Apakah istri cukup mandiri sehingga kalaupun terjadi perceraian, dapat menghidupi dirinya sendiri? Pertanyaan selanjutnya dari sang istri, apakah saya tidak mendapatkan tunjangan nafkah setelah perceraian? Sadarkah sang istri, selagi masih terikat dalam perkawinan saja suami menolak memenuhi kebutuhan rumah tangga, terlebih lagi setelah bercerai? Menyedihkan memang nasib sang istri, yang tergantung baik lahir maupun batin dari suami, terlebih lagi apabila telah lahir anak-anak, maka keadaan akan bertambah sulit saja. Ketidakberdayaan istri dalam bidang keuangan, seringkali menjadi kendala terlaksananya penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga. Ketergantungan finansial terhadap suami, menyebabkan istri menerima kenyataan bahwa dirinya adalah korban kekerasan baik fisik dan atau psikis. Perempuan terbelenggu dalam keadaan yang sangat dilematis, yang tidak tahu dari mana mulainya dan sampai mana akhirnya. Bukan hanya keberanian menggugat dan mengadu yang harus dipunyai oleh para perempuan, karena apabila suami yang berfungsi sebagai pencari nafkah berurusan dengan kepolisian, dinyatakan bersalah dan harus dihukum, siapa yang akan memberikan nafkah kepada keluarga? Apakah ada instrumen yang dapat memaksa suami untuk tetap memberkan nafkah? Sulit rasanya memaksa suami tetap memberikan nafkah setelah diadukan ke kepolisian. Kemudian apakah ada jaminan bahwa suami tidak akan menceraikan istrinya? Hari ibu Pemerintah telah menetapkan bahwa Hari Ibu diperingati secara nasional pada setiap tanggal 22 Desember, sebagai penghargaan terhadap jasa ibu, yang sepanjang hidupnya berjuang bukan hanya untuk anak-anaknya, namun juga telah berjuang membentukan dan mendidik generasi muda, yang pada gilirannya akan menjadi generasi penerus bangsa. Perempuan yang dikodratkan dapat mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya, adalah mahluk yang sangat beruntung, karena dari rahimnya dapat dilahirkan anak-anak. Sampai saat ini, meskipun kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kedokteran sudah demikian pesatnya, namun masih belum mampu menggantikan fungsi rahim ibu dengan rahim buatan. Ibu sebagai simbol keperempuan dan perempuan sebagai simbol keibuan adalah seperti dua sisi dari sebuah mata uang yang tidak dapat dipisahkan, dalam arti ibu adalah seorang perempuan dan perempuan adalah seorang ibu. Pengertian ini mempunyai makna yang sangat dalam, karena ibu berjuang bukan karena dia ibu dari anak-anaknya, berjuang untuk masyarakat, dengan naluri keperempuan dan keibuannya. Peringatan Hari Ibu di Indonesia sangat lain dengan peringatan mother/s day di negara-negara dengan pandangan hidup individualisme, karena Hari Ibu yang diperingati di sini adalah bersifat kekeluargaan, yakni ibu yang bukan saja milik keluarga, juga ibu yang milik masyarakat. Pesan-pesan moral yang dihantarkan dalam peringatan Hari Ibu ini, berupaya mengingatkan pada seluruh komponen bangsa bahwa perjuangan ibu yang tidak kenal lelah itu, patut mendapatkan penghargaan yang setimpal. Penghargaan terhadap ibu yang bukan hanya sebatas peringatan pada Hari Ibu itu saja, namun harus dihargai secara berkesinambungan sepanjang masa. Bagaimana seorang ibu, yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, dapat mendidik putra putrinya dengan baik, apabila yang dialami adalah kepahitan di dalam rumah tangga? Ibu harus sehat baik jasmani maupun rohani, sehingga hanya yang terbaik yang dapat diberikan kepada putra putrinya. Undang-undang perkawinan Hari Ibu tidak dapat dipisahkan dengan undang-undang tentang perkawinan. Suatu penghargaan terhadap perempuan, yang pernah diberikan pemerintah, dengan diterimanya pengesahan RUU tentang Perkawinan pada tanggal 21 Desember 1973, tepatnya pukul 23.45 WIB dalam rapat komisi DPR, dan pada keesokan harinya, pada Hari Ibu 22 Desember 1973, berita itu dipersembahkan oleh Presiden Soeharto sebagai hadiah bagi para ibu. Tiada yang sempurna di dunia ini, meskipun UU tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, masih banyak kekurangannya, yang pada beberapa ketentuan berisi pengaturan yang bersifat dualisme dan berisi ketentuan yang menzalimi perempuan, tetapi apabila dilihat dari sudut pandang pada saat UUP itu diundangkan, terdapat perbaikan yang cukup banyak, yang boleh disukuri oleh para ibu. Antara lain, ditentukannya usia minimum kelangsungan perkawinan, 16 tahun bagi perempuan dan 19 bagi pria. Juga tentang perceraian yang harus mengikutsertakan pengadilan, keduanya sebagai sisi yang menggembirakan, demikian juga tentang pembatasan terhadap perkawinan poligini (satu pria dengan lebih dari satu perempuan). Perkawinan poligini yang sebelumnya tanpa syarat, dalam UUP disyaratkan harus dengan izin pengadilan, istri mandul, sakit karena cacat, dan yang terpenting harus ada izin dari istri pertama. Kemudian terdapat syarat lain, suami harus mampu dan dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Jelas UUP yang telah diundangkan 32 tahun yang lalu, sudah usang dan perlu diperbaiki, karena harkat dan martabat perempuan dilecehkan oleh UUP, terutama tentang syarat perkawinan poligini, yang sampai sekarang masih terus saja menuai perbedaan pendapat, yakni syarat-syarat diperbolehkannya perkawinan poligini, yang menggunakan ketidakberdayaan istri, mandul, dan sakit/cacat sebagai alasan pembenaran. Kemudian, karena lemahnya pengaturan yang memberikan sanksi kepada suami yang "beristri lebih dari satu", tanpa dicatatkan, artinya dilangsungkan " perkawinan di bawah tangan", maka "perkawinan kedua tanpa dicatatkan" menjadi pilihan dan menjadi setiap saat. Suami tersebut di atas sebetulnya dapat dijerat dengan Pasal tentang Zinah yang ada di dalam KUHPidana, namun yang harus mengadukan adalah istri sahnya. Pertanyaannya sekali lagi, maukah istri mengadukan suaminya ke kepolisian? Perlu dipikirkan untuk membentuk mekanisme khusus memberikan perlindungan terhadap korban LDRT, selain perlindungan hukum seperti yang dituangkan di dalam UUKDRT. Salah satu cara yang sekarang ini perlu ditumbuhkembangkan yakni mengupayakan perempuan mandiri dalam bidang finansial, sehingga tidak bergantung terhadap suami. Rupanya untuk sekarang ini, para perempuan tinggal mengharapkan saja, mudah-mudahan akan ada legenda tentang "Suami dan Istrinya", seperti legenda "Malinkundang dan Ibunya", agar suami durhaka terkutuk menjadi batu! Kalau sudah jadi batu, bukankah para perempuan terpaksa akan mencari nafkah?*** Penulis, Guru Besar Unpar Bandung. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/