Refleksi : Apakah pengiriman PRT sebagai pahlawan devisa ke luarnegeri 
memperindah image NKRI di masyarakat dunia? Apa beda pengiriman ini dengan yang 
disebut "human trafficking"?


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=250272

            Masalah Tenaga Kerja Migran Indonesia
            Oleh Taufiqurrahman 


            Rabu, 7 April 2010

            Keruwetan persoalan tenaga kerja migran asal Indonesia terus 
bergulir. Sebagian dari sekitar 4,5 juta jiwa anak bangsa yang mengadu nasib di 
negeri asing tanpa ada kewajaran perlindungan dan kenyamanan dalam bekerja. 
Setiap tahun sekitar 600-700 ribu tenaga kerja asli Indonesia diberangkatkan ke 
luar negeri. Umumnya di antara mereka bekerja sebagai domestic workers 
(pembantu rumah tangga/PRT). 

            Mereka berangkat ke luar negeri karena didera impitan ekonomi dan 
menghadapi kenyataan lapangan pekerjaan yang sangat terbatas. Fenomena TKI ini 
menjadi rumit karena banyaknya kasus penganiayaan yang terjadi pada diri 
mereka. 

            Dari sekitar 4,5 juta TKI di luar negeri, yang sebagian besar kaum 
perempuan, sekitar 70%-nya bekerja di sektor domestik (PRT) dan manufaktur. 
Sedangkan sekitar 30% lainnya adalah kaum laki-laki yang bekerja sebagai buruh 
perkebunan, konstruksi, transportasi, dan jasa. 

            Jumlah TKI di luar negeri terus bertambah seiring dengan "situasi 
sulit" yang melanda warga masyarakat miskin. Kian bertambahnya arus migrasi TKI 
ke luar negeri makin memperberat persoalan. Ini karena para TKI umumnya tidak 
memiliki keahlian bahasa dan kedewasaan diri. Mereka dalam kondisi finansial 
yang minim, tanpa pengetahuan hukum dan perundang-undangan terkait dengan 
posisinya. Akibatnya, banyak di antara mereka yang terlibat pemalsuan identitas 
dokumen perjalanan dan sebagainya. 

            Keruwetan ini bermula dari persoalan lingkaran setan kemiskinan 
(vicious circle of abject poverty) yang dialami TKI kita yang umumnya telah 
turun-temurun berada dalam kondisi miskin. Rangkaian persoalan kemiskinan ini 
semestinya dapat diputus, sehingga generasi baru yang terberdayakan akan tampil 
dan merangkai sejarah peradaban baru yang lebih sejahtera dan bermartabat bagi 
keluarganya. 

            Jumlah pekerja migran yang berangkat melalui jalur tidak resmi 
(ilegal) diperkirakan melampaui jumlah pekerja migran yang melalui jalur resmi. 
Kendati pekerja migran Indonesia merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap 
pendapatan devisa Indonesia, yakni mencapai 2,4 miliar dolar per tahunnya, 
banyak di antara "pahlawan devisa" ini yang mengalami eksploitasi dan 
penganiayaan di sepanjang proses migrasi, baik di Indonesia maupun di luar 
negeri. 

            Kerumitan persoalan TKI dimulai dari tahap awalnya, yaitu pada saat 
rekrutmen tenaga kerja migran dilakukan, hingga tahap akhir, sekembali mereka 
dari tempat kerja di luar negeri. Pada tahun 2007 saja terdapat 71 orang (35%) 
mendapat vonis mati dari pengadilan di Malaysia atas beragam tuduhan kasus. 
Jumlah ini merupakan kasus terbesar pada masa tahun tersebut dibandingkan 
dengan jumlah kasus yang terjadi pada tenaga kerja migran Indonesia di negara 
lain. 

            Vonis mati yang menimpa TKI pada 2007 mencapai 206 orang. Dari 
jumlah tersebut, yang menimpa kaum perempuan mencapai 114 kasus (55%) 
(www.migrantcare.net). Contoh kasus penganiayaan TKI terakhir di Malaysia 
dialami oleh Siti Hajar yang dianiaya oleh majikannya pada 2009. TKI Muntik 
Hani juga disiksa majikannya hingga tewas. Namun, kasus penganiayaan TKI paling 
heboh menimpa diri TKW Nirmala Bonat yang disiksa oleh majikannya pada awal 
Januari 2004. 

            Dari sekitar 4,5 juta tenaga migran Indonesia yang ada di luar 
negeri, terdapat sekitar 138.000 TKI legal asal Indonesia yang terlibat dalam 
berbagai asus. Diperkirakan, di Malaysia terdapat sekitar 2 juta TKI, yang 1,2 
juta di antaranya legal dan 800 ribu TKI lainnya ilegal dalam rentang waktu 
tahun 2007-2008. Memang, permasalahan TKI di Malaysia ibarat fenomena gunung es 
yang menimbulkan persoalan besar dan rumit bagi kedua negara. 

            Dalam waktu satu tahun, KBRI Kuala Lumpur harus menampung sekitar 
1.000 kasus TKI yang lari dari majikan dan sekitar 600 kasus kematian TKI di 
Malaysia. Itu belum termasuk data di keempat Konsulat Jenderal RI di Penang, 
Johor Bahru, Kota Kinabalu, dan Kuching yang juga menerima kasus-kasus yang 
sama terkait permasalahan TKI. 

            Upaya Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan yang lebih 
baik kepada para tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri, di antaranya 
lewat pengesahan UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga 
Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun, itu belum memadai. Bahkan belum genap 
usia 100 hari kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, dilaporkan tujuh 
buruh migran asal Indonesia mengalami kematian dalam waktu satu hari di 
berbagai negara (27 Januari 2010). 

            Gambaran ini menyiratkan betapa rumit dan pedihnya persoalan tenaga 
kerja migran Indonesia, yang sejauh ini belum banyak mendapat perhatian serius 
dari pemerintah. Ditambah lagi, adanya oknum yang merusak idealisme yang 
terkandung dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan tenaga kerja 
migran asal Indonesia. 

            Ketika kita menginginkan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia, 
pihak Malaysia menghendaki agar moratorium itu dicabut dan bahkan mengizinkan 
TKI ilegal untuk bekerja. Ini diduga Malaysia jelas membutuhkan tenaga-tenaga 
kerja murah dari Indonesia, terutama PRT. 

            Di Timur Tengah tidak sedikit tenaga kerja migran asal Indonesia 
dianggap seperti budak atau diperlakukan sebagai budak. Sebagian masyarakat 
Timur Tengah secara populer mengenali Indonesia sebagai "negeri pembantu". Di 
negeri Singapura yang kecil malah pernah diberitakan ada majikan yang 
melecehkan kemanusiaan TKI dengan memaksa TKI itu memakan kotoran binatang 
piaraan tertentu. 

            Hal-hal macam itu sungguh merupakan penghinaan yang teramat terang 
benderang. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya kita menghentikan pengiriman TKI, 
menarik kembali semua TKI yang ada di luar negeri, dan memberi peluang kepada 
mereka untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup di negeri sendiri. Bagaimana 
caranya? 

            Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan yang rumit ini, 
Pemerintah Indonesia dapat mengalokasikan sebuah kawasan (daerah) yang 
potensial ekonomis atau memiliki sumber daya alam yang kaya sebagai tempat 
pengembangan potensi ekonomi dan kapasitas dari mereka yang semula berprofesi 
sebagai tenaga kerja migran Indonesia. Pengembangan kawasan tersebut harus 
mengandung berbagai program pemberdayaan yang produktif dan memiliki nilai jual 
produk yang tinggi, dalam sebuah skema pemberdayaan komunitas yang komprehensif 
terpadu. 

            Model pengembangan kawasan yang mengandung pendekatan pembangunan 
berkelanjutan (sustainable development) tersebut diharapkan dapat menyelesaikan 
permasalahan anak-anak bangsa ini. Tidak sepatutnya mereka terus-menerus 
mengais rezeki di negara lain sebagai pembantu rumah tangga hanya untuk sekadar 
mempertahankan hidup dan harkat mereka sebagai manusia Indonesia yang mulia. 
Karena itu, Pemerintah Indonesia harus mengupayakan terbentuknya lahan 
kehidupan bagi mereka. *** 

            Penulis adalah Ketua Divisi Kerja Sama Internasional dan Hubungan 
Luar Negeri
            pada Center for Information and Development Studies (Cides)  
     

--------------------------------------------------------------------
           
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke