Sedemikian rupa Farid Muttaqin bisa mencoba 'mendekonstruksi' sesuatu yang
jelas halal dan 'agung' tapi mengapa di saat yang sama seolah dia buta pada
fakta lain yang lebih menghinakan dan merendahkan kaum perempuan yang
notabene jadi tamengnya di opininya ini, yaitu fenomena perempuan sebagai
'barang dagangan' entah itu berwujud pemilihan ratu2an, cover majalah, SPG
(itu tu yang mejeng nawarin dagangan dengan tampilan yang kadang seronok
tapi pasti harus 'menarik'), para pengemis perempuan dengan anak sendiri
atau sewaan di pinggir2 jalan, belum lagi yang jelas menjadi 'barang
dagangan seks' ... yang dengannya di Muammar MK 'sukses' membuat buku
Jakarta Undercover ... tanpa rasa malu!

Apakah hanya di dalam lembaga pernikahan dengan lebih dari 1 istri peluang
kekerasa pada perempuan itu pasti terjadi? Jika hanya itu tolok ukurnya,
bahkan yang lebih kejam yang terjadi di lembaga pernikahan dengan 1 istri
begitu akrab di tengah masyarakat, apa itu artinya tidak usah nikah saja,
cukup dengan social contract, dengan aturan main khusus tapi perempuan
'pasti' terhindar dari kekerasan? Naif sekali!

Jangan2 ini hanya tip of the iceberg yang tujuan akhirnya adalah
sekularisasi Islam sebagaimana saat ini terjadi pada institusi
gereja/kristiani baik yang katolik maupun protestan? Islam adalah urusan
pribadi, bahkan cukup Islam itu hanya pada saat kelahiran, menikah dan mati
...! Selebihnya HAM HAM dan HAM..!

salam

---------- Forwarded message ----------
From: diskusi_poligami <[EMAIL PROTECTED] >
Date: Dec 17, 2006 10:10 PM
Subject: [diskusi_poligami] Membangun Gerakan Antipoligami Melalui Pesantren
To: [EMAIL PROTECTED]



Membangun Gerakan Antipoligami Melalui Pesantren
Farid Muttaqin
Kompas - Senin, 23 Agustus 2004

TULISAN ini tidak terfokus pada pro-kontra poligami, tetapi lebih
jauh pada upaya membangun gerakan tidak toleran terhadap poligami
sebagai bagian dari upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan
sampai pada titik nol. Tulisan ini akan mengeksplorasi tiga
pertanyaan sebagai berikut.

Pertanyaan pertama, mengapa perlu gerakan antipoligami? Alasan
pertama, sebab kenyataan yang menunjukkan poligami telah menjadi
salah satu sumber kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan,
khususnya dalam relasi suami-istri.

Kedua, pada sisi lain masih ada kepercayaan konseptual untuk
menjadikan poligami sebagai tindakan yang wajar sampai perlu bagi
seorang laki-laki, baik dengan alasan menghindari zina,
upaya "pemberdayaan" perempuan, atau alasan syariat, yaitu secara
tekstual poligami tidak dilarang menurut ajaran agama Islam seperti
ditunjukkan QS An-Nisa' (4):3 atau bahkan sunah
seperti "dicontohkan" Nabi Muhammad SAW.

Gerakan antipoligami, dengan dua kenyataan tersebut, dibutuhkan
untuk melindungi perempuan dari berbagai tindak kekerasan dan
ketidakadilan seperti tampak dalam kenyataan, serta melakukan
perubahan kepercayaan konseptual yang dianut sebagian orang yang
permisif terhadap poligami. Gerakan antipoligami dengan demikian
menjadi titik krusial gerakan antikekerasan terhadap perempuan
berbasis pandangan agama bias jender.

Pertanyaan kedua, mengapa melalui pesantren? Bagi sebagian orang
yang sudah kenal tradisi dan kebiasaan pesantren, pilihan membangun
gerakan antipoligami melalui pesantren pasti akan menimbulkan
keanehan tersendiri. Bagaimana pesantren, yang hingga kini di
dalamnya masih banyak yang memandang poligami tidak bermasalah
dengan ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan, harus
dilibatkan dalam gerakan yang bertolakan dengan pandangannya? Memang
sulit.

Terakhir kali, pada saat saya melakukan silaturahmi ke pesantren di
Indramayu untuk keperluan berkaitan dengan gerakan antikekerasan
terhadap perempuan, tampak masih kuat resistensi kalangan pesantren-
termasuk para alumninya-terhadap pandangan yang antipoligami. Namun,
justru di sinilah tantangannya serta nilai krusialnya bagi upaya
membangun gerakan antipoligami yang lebih kuat. Pada kesempatan
silaturahmi itu pula saya mendapat pemikiran untuk mengupayakan
gerakan antipoligami melalui pesantren, bagaimana institusi yang
selama ini dianggap banyak melestarikan poligami dapat dioptimalkan
menjadi bagian dari gerakan antipoligami. Hal ini akan melahirkan
pengaruh luar biasa kuat terhadap gerakan antipoligami dalam
masyarakat kita. Masyarakat akan mengikuti semacam pertobatan
pandangan pesantren sebagai lembaga yang permisif terhadap poligami,
menjadi lembaga antipoligami.

Alasan lain adalah kuantitas pesantren yang begitu besar di negeri
kita akan menjadi kekuatan tersendiri bagi gerakan massal.
Bayangkan, jika satu pesantren minimal dapat memengaruhi satu saja
masyarakat sekitarnya, maka akan terbangun gerakan massal di bawah
pengaruh pesantren. Pengaruh sosial pesantren, baik terhadap akar
rumput maupun elite masyarakat sekitarnya, akan melempangkan jalan
membangun kerja sama massal yang komprehensif di antara keduanya
dalam gerakan antipoligami. Dalam kerja sama, masing-
masing "kekuatan" dapat memerankan diri sesuai potensinya: ada peran
konsolidasi organisasi, ada peran advokasi kebijakan, ada peran
pendampingan perempuan korban poligami, ada peran rekonstruksi
pandangan agama dan budaya, serta peran-peran lainnya.

Sebagai penjaga gawang masalah keagamaan, keterlibatan pesantren
akan mengecilkan dan menciutkan ruang gerak kelompok masyarakat yang
masih berpandangan permisif terhadap poligami berdasarkan
kepercayaan keagamaan yang konseptual. Dengan alasan inilah, mengapa
perlu gerakan antipoligami seperti disebut dalam pertanyaan pertama
dapat dipenuhi pesantren.

PERTANYAAN ketiga, bagaimana membangun gerakan antipoligami melalui
pesantren? Pertama, yang sangat penting dalam upaya ini adalah
pendekatan terhadap pesantren dalam memberi pemahaman poligami
sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kita harus mengenal
tradisi dan kebiasaan di pesantren sehingga dapat dirumuskan
pendekatan strategis dalam mengoptimalkan pesantren untuk gerakan
antipoligami.

Pilihan pendekatan tidak boleh terlalu ekstrem dengan langsung
memaksa pesantren untuk percaya poligami merupakan kekerasan
terhadap perempuan! Hal ini justru akan menguatkan resistensi
mereka. Ego patriarkhis berdasar pandangan agama yang bias jender
akan mengaburkan kesadaran kalangan pesantren untuk menerima
perspektif ini.

Yang terpenting justru menampilkan fakta bahwa poligami telah
mengakibatkan penderitaan, baik fisik, psikologis, seksual maupun
ekonomi pada perempuan, hingga muncul istilah poligami yang tidak
adil, yang bertentangan dengan konsep syariat-nya. Karena saat ini
wajah poligami secara keseluruhan menunjukkan poligami yang tidak
adil, maka akhirnya kita dapat menegaskan untuk tidak toleran
terhadap praktik poligami.

Untuk kebutuhan pendekatan pula kita bisa mereaktualisasi peran
historis kalangan santri sebagai anak kandung masyarakat yang
selayaknya peduli pada persoalan kemanusiaan yang terjadi di
masyarakatnya. Peran historisitukini dibutuhkan untuk mengadvokasi
perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan akibat tindakan
poligami.

Hal lain adalah memfasilitasi terbangunnya jaringan antarpesantren
dalam gerakan antikekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan
berbasis pandangan agama bias jender seperti poligami.

Upaya ini belum sepenuhnya dilakukan, meskipun beberapa pesantren
sudah memiliki kesadaran untuk terlibat dalam upaya antikekerasan
terhadap perempuan. Dengan berjaringan, kita akan merasakan
kedahsyatan kekuatan pesantren dalam gerakan antikekerasan terhadap
perempuan, termasuk gerakan antipoligami. Dan, sekali lagi, dengan
berjaringan kita meniscayakan pembagian peran yang meringankan beban
gerakan ini serta, yang tak kalah penting, akan muncul keunikan baru
pesantren yang fungsional dalam gerakan antikekerasan terhadap
perempuan.

Melalui keunikan ini pula, kita akan bisa lebih leluasa menjadikan
pesantren sebagai pusat jaringan pemberdayaan perempuan dan
penghapusan kekerasan terhadap perempuan: ada yang berperan sebagai
pusat penanganan perempuan korban, ada yang berperan
mereinterpretasi pandangan agama, ada yang berperan sebagai
narasumber sosialisasasi pandangan agama yang sensitif terhadap
perempuan, dan ada yang berperan dalam lobi dan advokasi kebijakan.

Selain itu, mendorong pesantren agar dapat aktif berinisiatif
memediasi terbentuknya jaringan dengan institusi eksternal pesantren
untuk penanganan integratif kekerasan terhadap perempuan, termasuk
isu poligami. Jika semua upaya ini bisa dilakukan dengan kerja
keras, kita percaya, hanya persoalan waktulah yang kita hadapi untuk
membangun gerakan antipoligami melalui peran aktif pesantren.

Farid Muttaqin Koordinator Program "Pendampingan Perempuan Berbasis
Pesantren" PUAN Amal Hayati Jakarta,





-- 
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang

-- 
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke