Memperkaya Orang Miskin 

Oleh Mustofa Liem 

Kita masih berduka atas tewasnya 21 orang, rata-rata janda berusia 50-70 tahun, 
akibat terinjak-injak saat berdesakan mengantre pembagian zakat dari seorang 
dermawan di Pasuruan, Senin 15 September lalu (Jawa Pos, 16 September 2008). 
Itulah potret kemiskinan di negeri ini.

Terkait peristiwa itu, sebagian koran menulis dengan judul besar Tragedi Zakat 
Maut, seolah yang salah adalah zakatnya. Padahal, zakat termasuk rukun keempat 
dari lima rukun Islam yang mengandung pesan abadi untuk kemanusiaan. Terlebih 
di negeri dengan 40 juta orang miskin ini, ajaran Islam tentang zakat menemukan 
relevansi dan aktualitasnya. 

Pasalnya, Islam yang diproklamasikan Nabi Muhammad SAW lima belas abad silam 
begitu memedulikan orang-orang miskin. Kata "kemiskinan" dalam bahasa Indonesia 
diserap dari bahasa Arab, yakni "miskin". 

Dalam kitab suci agama Islam (Alquran), kata miskin disebutkan beberapa kali 
dan dalam berbagai bentuk, seperti miskin (tunggal) dan masakin (jamak). 
Bahkan, jika ditelusuri lebih lanjut, dapat dijumpai berbagai istilah lain 
dalam Alquran yang juga mengandung arti miskin, seperti al-faqir (fakir), 
al-mustadh'afin (orang yang tidak mampu), as-sail (orang yang meminta-minta), 
dan al-mahrum (orang yang miskin, tetapi tidak meminta-minta). Itu semua 
menunjukkan Islam peduli pada orang-orang miskin.

Tanggung Jawab Pemerintah 
Berbicara tentang orang miskin di negeri ini, berbagai wacana bisa mengemuka. 
Namun, satu hal sudah pasti bahwa di negeri dengan sumber daya alam melimpah 
ini, sebenarnya tak layak orang jatuh miskin. Tentu kita jangan menyalahkan 
kaum miskin, tetapi sistem ekonomi dan pengelolaan negara yang amburadul 
menjadi pemicu utama kemiskinan. 

Dari sistem ekonomi kolonial di awal berdirinya negeri ini hingga sistem 
ekonomi neoliberal dan kapitalis saat ini, semua hanya menguntungkan segelintir 
elite dan memiskinkan banyak "wong cilik". 

Harga BBM dan sembako semakin mencekik dan membingungkan kaum ibu. Padahal, di 
Venezuela minyak tanah hanya seharga Rp 600 dan di Iran malah Rp 400.

Tidak heran jika negeri ini tak bisa menjalankan amanat konstitusi yang 
menyebutkan bahwa orang miskin dan telantar menjadi tanggung jawab negara. 
Jadi, Haji Syaichon dan Faruq, anaknya, yang memberikan uangnya di Pasuruan tak 
layak dihukum, meski telah membuat kekeliruan. Penguasa atau pemerintahlah yang 
membuat jumlah orang miskin kian membengkak sehingga mereka tertarik untuk 
mendapatkan uang receh dari haji yang dermawan itu.

Sikap kedermawanan sang haji dari Pasuruan itu memang bisa digugat. Tapi, sikap 
kedermawanan untuk terus berzakat harus dipupuk. Bayangkan, potensi zakat di 
Indonesia sekitar Rp 7 triliun per tahun, tapi realisasinya hanya Rp 500 
miliar-Rp 800 miliar per tahun. 

Zakat diyakini sebagai jalan yang membebaskan manusia dari jerat materialisme 
dan pemberhalaan atas harta benda. Inilah inti utama ajaran zakat. Harta yang 
dimiliki manusia sesungguhnya hanya titipan dan di dalamnya ada hak orang 
miskin. Secara harafiah zakat berarti "berkembang", "menyucikan", atau 
"membersihkan". 
Kita menyadari dominasi sistem ekonomi neoliberal dan kapitalis sering menjebak 
orang kaya untuk jatuh memuja materi, lalu segenap pola hidup pun kian 
materialistis, hedonistis, konsumtif, dan individualistis. 

Akibatnya, orang bisa berkoar, "Toh, ini hartaku sendiri, aku bebas 
menggunakannya". Kepedulian sosial, solidaritas, dan persaudaraan menjadi 
melemah. Orang-orang demikian akan mendapatkan siksa luar biasa suatu saat 
kelak (QS 9: 35). Orang-orang semacam itu dalam pandangan Alquran dinilai 
berlebihan dan tidak tahu batas. Padahal, harta benda mereka sesungguhnya hanya 
pinjaman Tuhan (QS 6: 141).

Nabi Muhammad SAW pada 15 abad yang lalu sudah menunjukkan bahwa kekayaan 
hakiki bukan terletak pada bergelimangnya harta. Kekayaan hakiki terjadi saat 
kita mampu mengendalikan kebutuhan dan mencukupkan dengan rezeki yang ada 
(qonaah/tidak konsumtif). Alquran juga mengecam gaya hidup konsumtif dan 
materialistik dalam QS Al Humazah: "Neraka Weil bagi pencela dan penghina, yang 
mengumpulkan (menimbun) hartanya dan menghitung-hitungnya. Mereka mengira 
hartanya akan mengekalkan (membahagiakan) hidupnya".

Kepedulian 

Namun, bukan berarti Islam melarang hidup kaya. Setiap muslim harus kaya karena 
untuk haji dan zakat perlu kekayaan. Namun, kita jangan memberhalakan kekayaan 
atau materi. Apalagi, kekayaan sejati sebenarnya terletak dalam kesadaran bahwa 
kekayaan itu hanya pinjaman. 

Kekayaan yang dititipkan itu seharusnya bisa mengentas dan memperkaya 
orang-orang miskin. Ada tanggung jawab sosial yang tidak kecil manakala kita 
dikaruniai kekayaan. Di sinilah kepedulian kita harus dibangkitkan.

Seiring bulan Ramadan, setiap muslim pasti tahu, esensi puasa adalah latihan 
pengendalian diri dari urusan nafsu, materi, dan konsumsi. Sukses berpuasa 
sebenarnya bukan tercapainya kesucian diri sendiri berkat keberhasilan 
mengendalikan diri. Namun, bagaimana kesucian diri sendiri itu punya dampak 
bagi sesama. Bukankah Islam itu rahmatan lil alamin? 

Karena itu, konsekuensinya, ketentuan zakat jangan hanya dihayati sebagai 
kewajiban menjelang Lebaran. Hidup setiap muslim, khususnya yang dianugerahi 
kekayaan, harus menjadi berkah setiap saat bagi sesama, khususnya kaum miskin. 
Kepedulian tiada henti harus terus ditunjukkan sampai kaum miskin bisa 
terentas. Jelas ini butuh lebih dari sekadar uang receh dua puluh atau tiga 
puluh ribu rupiah.
http://www.jawapos.com/index.php?act=cetak&id=28
Mustofa Liem PhD , WNI Muslim asal Jatim -Bekerja di Singapura, Dewan Penasihat 
Tionghoa untuk Kesetaraan 



salam
budi   085229407712
http://groups.yahoo.com/group/dunia_santri


      New Email addresses available on Yahoo!
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke