Refleksi : Dikatakan bahwa politik dan ekonomi negara saling terkait, kalau terpisah, teristimewa pada negeri-negeri berekonomi lemah maka kemungkinan besar negara tsb tak bertambah subur sebab keuntungan perusahaan asing akan akan ditransfer ke luarnegeri ke negeri induk perusahaan, jadi tidak ada reinvestasi keuntungan ke sektor atau bidang lain yang sangat dibutuhkan untuk mempertinggi kehidupan rakyat berjalan pincang. Benarkah demikian?
Ayo jago-jago ekonomi silahkan jelaskan pada rakyat supaya mengerti dan tidak keseleo kedalam jurang kesusahan hidup yang berkepanjangan. Mengundang tamu harus bisa juga menuaskan kebutuhan tamu sebaik-baiknya. Jawa Pos [ Sabtu, 14 November 2009 ] Mengundang Investor Datang PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memanfaatkan betul waktu enam hari lawatan ke luar negeri untuk menarik investor asing. Kunjungan dengan agenda pokok menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Kerja Sama Ekonomi Negara-Negara Asia Pasifik (APEC) di Singapura itu diawali dengan kunjungan kerja dua hari di Malaysia, 11-12 November. Baru pada Kamis seore (12/11), SBY terbang ke Singapura untuk kunjungan kerja selama empat hari, 12-16 November. Pada kunjungan di dua negara tetangga dan di sela-sela agenda KTT APEC, presiden aktif mengadakan pertemuan bilateral dengan kepala negara tuan rumah serta sejumlah kepala negara-pemerintahan anggota APEC yang lain, termasuk Presiden AS Barack Obama. Dengan bekal segepok data statistik tentang kondisi perekonomian termutakhir, di Kuala Lumpur, Presiden SBY percaya diri menawarkan sejumlah proyek kerja sama, antara lain, di bidang agrikultur, pabrik pupuk dan gula, serta industri manufaktur. Sedangkan di Singapura, presiden ''membujuk'' pengusaha Negeri Singa itu untuk menanamkan investasinya pada proyek infrastruktur, khususnya listrik. Pada setiap forum dengan investor, tim presiden selalu memaparkan hebatnya Indonesia karena termasuk segelintir negara yang tetap mencatat pertumbuhan positif di tengah kontraksi ekonomi dunia tahun lalu. Tahun ini pun perekonomian Indonesia diperkirakan masih tumbuh 4-4,5 persen. Citra Indonesia sebagai tujuan aman investasi juga terpulihkan dengan keberhasilan Polri memberangus kelompok teroris, bahkan membunuh gembong yang paling dicari, Noordin M.Top. Sayang, apa yang ditunjukkan kepala negara itu bertolak belakang dengan apa yang didengar dan dilihat para investor tersebut dari kabar yang datang dari Indonesia. Dua kasus yang sangat berkaitan dengan kepentingan investor justru sedang meledak. Pertama, soal perseturuan antara Polri dan KPK yang terus membuka satu per satu busuknya mental aparat hukum dan yang kedua pemadaman bergilir listrik yang melanda ibu kota dan meluas ke daerah-daerah di Jawa. Pebisnis memiliki logika sendiri. Mereka lebih mengutamakan negara yang menjamin dana yang mereka tanam terus bertambah. Mereka tidak menemukan hubungan data cemerlangnya perekonomian Indonesia pada saat krisis seperti yang dipaparkan Presiden SBY dengan pengelolaan pemerintahan yang baik serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kasus ''Cicak melawan Buaya" malah menunjukkan dengan gamblang bahwa wibawa hukum masih merupakan barang yang sangat mahal. Pasokan listrik yang masih byar pet di wilayah terpenting, ibu kota, menguatkan anggapan bahwa manajemen suplai energi di daerah pasti lebih buruk. Karena itu, tak heran bila setiap pulang dari lawatan ke luar negeri para pemimpin berkoar berhasil meraih komitmen penanaman modal asing. Namun, realisasinya masih sebatas mimpi. Sebab, mimpi itu tidak diiringi perbaikan iklim investasi dalam negeri. Jangankan menarik investasi baru, membuat investor betah saja tidak mampu. Kita memang membutuhkan kepandaian selain presentasi dan mengumbar janji. [Non-text portions of this message have been removed]