Refleksi: Sangat bagus sekali menyertakan 30% atau lebih dari itu untuk wanita 
berpartisipasi dalam kegiatan politik dan sosial masyarakat, tetapi selama ini 
agakanya partai politik memprioritaskan siapa yang banyak menyumbang duit 
kepada partai adalah yang bisa tampil ke depan untuk mendapat kedudukan dan 
juga  partai politik didominasi orang-orang berpandangan konservatif zaman 
bahula yang mendiskriminasikan wanita, selama situasinya demikian maka UU yang 
mengariskan 30% wanita tidak mempunyai nilai selain berupa hiasan diatas  
kertas. 

Adalah praktis dan mujur bagi partai politik yang berinisiatif memajukan wanita 
-wanita kompeten guna berpartisipasi dalam percaturan politik dan sosial, tanpa 
membasiskan katagorinya pada siapa yang banyak menyumbang duit, dialah orangnya 
yang ditampilkan untuk menduduki kursi "wakil rakyat". Partai politik demikian 
mempunyai hari depan dan posisi dominan dalam hati rakyat dalam pembentukan 
hari depan masyarakat yang lebih baik.

Kurang lebih 50% dari penduduk negeri adalah wanita. Apabila wakil dari 50% ini 
dipersenjatai atau  mempersenjatai diri dengan pengetahuan dan politik 
pengabdian kepada masyarakat akan menjadi kekuatan raksasa membuat perubahan 
memperbaiki kehidupan masayarat yang selama ini dimiskinkan dan dibodohkan. 
Dengan begitu bukan lagi ilusi fatamorgana di perspektif pandangan mata , 
tetapi realitas perubahan guna perbaikan demi kemajuan dan kesejahteraan 
masyarakat bisa dilaksanakan dan dicapai.  

http://www.banjarmasinpost.co.id/content/view/18589/309/


      Menyertakan 30 Persen Perempuan  


      Senin, 25-02-2008 | 00:44:15  
      Ada redaksi yang berubah dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai 
Politik. Kalau pada UU Parpol sebelumnya disebutkan 'memperhatikan keterwakilan 
perempuan 30 persen' maka pada UU Partai Politik yang baru redaksinya menjadi 
`menyertakan minimal 30 persen perempuan'. Perubahan redaksi yang sederhana itu 
sesungguhnya merupakan perubahan yang signifikan dan sangat besar mendorong 
keterwakilan perempuan di parlemen.

      'Menyertakan' tentu saja lebih tegas perintahnya daripada 
'memperhatikan', karena 'memperhatikan' memiliki kadar yang sangat relatif. 
Tergantung dari sensitivitas pemberi makna, bahkan bisa saja kemudian cukup 
menjadi 'mempertimbangkan'. Sementara itu, 'menyertakan' adalah menjadikannya 
bagian yang tidak terpisahkan dan keikutsertaannya merupakan syarat mutlak.

      Kenapa mesti ditegaskan menjadi menyertakan minimal 30 persen perempuan? 
Mungkin kalimat kata memperhatikan tidak terlalu kuat menggugah parpol, dalam 
rangka memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk terjun ke dunia 
politik. Dunia politik akhirnya masihlah dunia laki-laki yang tidak mengenal 
kesetaraan dan masih jauh dari sensitivitas gender, karenanya nuansa kebijakan 
yang dilahirkan sangat maskulin.

      Bahkan ketika harga susu naik, minyak tanah dan gas langka serta harga 
berbagai kebutuhan pokok membumbung tinggi, sedikit sekali kepedulian politisi 
untuk bersuara. Karena itu, pandangan kelompok perempuan bahwa nasib perempuan 
harus diperjuangkan oleh perempuan itu sendiri menjadi semakin niscaya.

      Perubahan redaksi menjadi 'menyertakan' adalah sebuah kata pemaksa, agar 
dunia politik mengikutsertakan perempuan secara serius dan memberi peran yang 
signifikan dalam struktur dan posisi politik. Baik dalam struktur parpol maupun 
posisi dalam daftar calon anggota legislatif.

      Sebelumnya kita mengetahui, perempuan tidak memliki posisi strategis 
dalam parpol. Hanya sedikit perempuan yang dapat menjadi pimpinan parpol, atau 
posisi strategis di parpol. Kebanyakan perempuan hanya dijadikan 'hiasan' dalam 
parpol, serta menempati posisi yang tidak strategis. Begitu juga dalam daftar 
calon legislatif. Sekalipun KPU turut menyarankan untuk menyertakan perempuan 
dalam daftar calon yang diajukan, tetapi kebanyakan partai menempatkannya pada 
urutan yang tidak strategis. Akhirnya, Pemilu 2004 membuktikan sedikitnya 
perempuan yang dapat duduk di parlemen.

      Perjuangan yang Konsisten

        Patut diberi acungan jempol kepada pejuang kesetaraan gender, karena 
kegigihan mereka maka konstitusi akhirnya mengakui pentingnya penyertaan 
perempuan dalam politik. Kiranya itulah isu paling konsisten yang 
diperjuangkan, hingga membuahkan hasil yang menegaskan pentingnya 'keterwakilan 
perempuan 30 persen' menjadi 'menyertakan 30 persen perempuan'.

      Langkah berikutnya, bagaimana terus mengawal agar 'menyertakan 30 persen 
perempuan' tidak sekadar formalitas UU.

      Konsistensi perjuangan harus pula disertai kontinuitas, karena tidak 
cukup termaktub dalam UU. Harus ada perjuangan lanjutan, terlebih parpol tidak 
memiliki cukup sumberdaya perempuan. Begitu juga dengan Ormas dan NGO.

      Politik harus tetap dianggap sebagai media, sarana atau strategi 
menyampaikan aspirasi dalam sebuah negara. Dalam demokrasi, ia tidak 
terpisahkan dalam tata kehidupan lainnya. Pengertian yang lebih luas, 
sesungguhnya setiap warga negara dalam kehidupan sehari-hari menjalankan 
kegiatan politiknya. Karena, untuk hidup dia memerlukan strategi, siasat, 
perkawanan, pengaruh, lobi dan lain sebagainya --tentu saja dengan kadar yang 
berbeda-beda. Akhirnya penting untuk meluruskan politik itu sendiri dalam 
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga perempuan tidak takut terlibat 
dalam politik. Juga agar politik tidak semakin membusuk.

      e-mail: [EMAIL PROTECTED] Alamat e-mail ini telah diblok oleh spam bots, 
Anda membutuhkan Javascript untuk melihatnya 

      Oleh:
      Noorhalis Majid
      Ketua KPU Banjarmasin
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke