http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009021123210527

      Kamis, 12 Februari 2009
     
     
Meredam Identitas Simbolis  Ridwan Rachid, Direktur Eksekutif Morpel Institute

      Menyusul kritik Megawati yang menyebut pemerintahan SBY menjadikan rakyat 
seperti permainan yoyo, Partai Demokrat sebagai penyokong utama SBY segera 
melansir iklan politik berisi capaian pemerintah selama ini di beberapa media. 
Seakan menyerang balik kritikan Mega, iklan politik Partai Demokrat menjelaskan 
turun-naiknya berbagai capaian pemerintah di bawah kendali SBY.

      Dalam rivalitas kampanye, apa yang diusung Partai Demokrat melalui jargon 
keberhasilan pemerintah SBY memang cukup "pelik". Penyebabnya, beberapa kubu 
politik punya versi masing-masing dalam mengalkulasi capaian "keberhasilan". 
Berlawanan dengan itu, capaian kinerja pemerintah--mau tidak mau--adalah sebuah 
garansi politik bagi kandidat incumbent.

      Perihal siapa yang sebenarnya berwenang menjustifikasi keberhasilan 
pemerintah tampaknya tidak akan menemui titik kompromi. Skenario kampaye 
mengharuskan untuk tidak lunak terhadap rival politik. Segala potensi yang 
menguntungkan bagi kubu pesaing adalah sebuah hambatan bagi kubu yang 
tersaingi. Karena di situ akan memengaruhi pertaruhan elektabilitas 
masing-masing kandidat.

      Berlarutnya situasi semacam itu hanya menandai suatu iktikad politik yang 
utopis daripada realistis. Drama pencitraan politik lebih mengemuka daripada 
rasionalisasi program yang ditawarkan untuk rakyat. Sering yang dipertontonkan 
di ruang publik hanya kecam-mengecam soal data kemiskinan dan prestasi 
kebijakan. Bukannya fokus sepenuhnya pada realisasi pengentasan kemiskinan dan 
membiarkan rakyat untuk menilainya sendiri. Apakah mereka telah hidup 
berkecukupan ataukah masih menggerutu dalam kelaparan?

      Konsumen Kampanye

      Sejauh ini panggung kampanye belum merepresentasikan program aksi secara 
konkret. Dengan kata lain, janji politik para kandidat masih cenderung bersifat 
makro. Tengoklah kemunculan jargon-jargon semisal melaksanakan pembangunan 
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan, menegakkan supremasi hukum, 
mengentaskan kemiskinan, bersedia berjuang untuk rakyat, dan lain-lain.

      Semua itu adalah program makro yang tidak terukur sehingga memberi 
keleluasaan untuk suatu klaim politik. Hanya dengan membantu kredit usaha 
kecil, misalnya, pemerintah sudah mengklaim bahwa mereka sudah melaksanakan 
program peningkatan kesejahteraan rakyat.

      Apabila pola pikir semacam ini yang dipakai, maka muluknya program yang 
diusung para kandidat tidak lebih daripada busa-busa politik. Platform makro 
yang mereka lontarkan, karena tidak ada ukuran efektivitasnya dan tingkat 
keberhasilannya, otomatis membuka peluang siapa pun yang berkuasa untuk 
mereduksi pertanggungjawaban politik.

      Prosedural demokrasi melalui rangkaian pemilu akan dengan mudah 
meloloskan elite politik yang belum dapat dijamin komitmennya atas aspirasi 
masyarakat. Alih-alih berempati kepada penderitaan rakyat, yang terjadi justru 
kesibukan berhitung rasional-kalkulatif terhadap anggaran belanja kampanye atas 
keuntungan kursi politik.

      Jika demikian, pemilu mendatang tidak ubahnya sebuah komoditas pasar. Tim 
sukses yang telah bergerilya dari kota hingga pelosok desa mengambil peran 
salesman. Kelompok masyarakat pemilih yang relatif awam menjadi lahan subur 
untuk mendatangkan laba politik. Buntutnya, pemilih diperlakukan sebagai 
konsumen yang dipaksa untuk mengikuti aturan "barang yang sudah dibeli tidak 
dapat dikembalikan".

      Kompetisi Proporsional

      Republik ini masih berada dalam kondisi demokrasi yang belum stabil 
(intermittent democracies). Tidak mengherankan apabila segala bentuk komitmen 
politik selalu berpeluang dimanipulasi dan dikesampingkan. Ini memberikan 
konsekuensi logis bagi merebaknya apatisme publik. Sebagaimana diketahui, 
manisnya janji-janji politik hanyalah sekadar manuver penguatan identitas 
simbolis belaka.

      Untuk menekan stigma itu, para kandidat harus berkompetisi secara 
proporsional. Masa jabatan lima tahun adalah waktu yang mustahil untuk 
menyelesaikan seluruh persoalan bangsa ini. Strategi menentukan prioritas 
masalah tentu lebih realistis daripada janji besar untuk menuntaskan seluruh 
masalah bangsa. Jargon-jargon dan bahasa politik utopis perlu disingkirkan. 
Platform yang diusung harus terukur dan aplikatif, yaitu berupa program aksi 
yang akan dilaksanakan apabila terpilih untuk memimpin republik ini.

      Sesuai kelaziman, program aksi tersusun dalam tiga kontinum waktu, yakni 
jangka pendek (seratus hari pemerintahan), jangka menengah (dua tahun), dan 
jangka panjang (lima tahun). Karena sifatnya aplikatif agar mudah dikontrol 
oleh rakyat, kejelasan target program menjadi sangat penting. Misalnya, untuk 
program aksi jangka pendek, seorang kandidat dapat mengajukan rumusan sebagai 
berikut (a) mengadili sepuluh koruptor kelas kakap; (b) menurunkan harga beras 
dari Rp5.000 per kilo menjadi Rp2.500; (c) SPP dari SD sampai SMA gratis 100 
persen.

      Rumusan yang sama juga berlaku untuk program aksi jangka waktu menengah 
dan panjang. Intinya, tiap persoalan yang menyangkut hajat hidup rakyat 
disajikan secara terperinci. Sehingga para kandidat bisa mengusung maskot 
kampanye yang mencerminkan sejauh mana mereka menguasai sekian persoalan, 
berikut memahami solusi yang paling dibutuhkan.

      Masa kampanye yang panjang akan memberikan cukup waktu bagi masyarakat 
untuk memperdebatkan rumusan program yang ditawarkan. Hal ini merupakan 
stimulasi positif terhadap upaya pendidikan politik. Kejujuran dan keberanian 
untuk merumuskan program aksi dapat membantu rakyat menentukan secara jernih 
antara mana yang paling mewakili aspirasi mereka.

      Dengan begitu, proses check and balance dalam demokrasi dapat berjalan 
secara baik, sekaligus dapat mempermudah berbagai pihak untuk kelak mengukur 
dan melakukan penilaian atas kinerja pemerintah.
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke