Muslimat NU: Tidak Perlu Khawatir Istilah RUU Pornografi Senin, 16 April 2007 Pimpinan Pusat (PP) Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) menilai, ketakutan istilah RUU Pornografi. Menurut Khofifah di Negara manapun ada larangan
Hidayatullah.com--Perubahan RUU APP menjadi RUU Pornografi selayaknya tidak perlu dirisaukan. Persoalan itu tidak signifikan. Yang penting pada sanksinya, menjerakan apa (atau) tidak, demikian dijelaskan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Khofifah Indar Parawansa, di Kantornya di Jakarta kepada www.hidayatullah.com. Pernyataan Khofifah ini menjawab persepsi sebagian masyarakat yang mengatakan, perubahan menjadi UU Pornografi saja, akan menjadi acuan untuk legalisasi pornografi. Dia mengatakan, kebanyakan kita cuma terjebak pada terminologi saja. Padahal semua UU pasti ada sanksinya. Mana ada undang-undang tidak melarang. Coba cari jutaan undang-undang, ada tidak yang tidak ada sanksinya? Pasti ada larangan, tandas mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan ini. UU yang di Amerika, di Singapuran judulnya juga pornografi. Betul dia bersifat regling, pengaturan, regulasi. Tapi kalau ini diatur lalu dilanggar mesti ada pasal sanksinya. Karena itulah dia mengatakan, pentingnya mendesak pemerintah untuk menunjuk leading sector yang akan mewakili pemerintah guna membahas RUU APP bersama DPR RI. Tanpa hal itu, Pansus RUU APP tidak akan jalan, katanya. Terhadap pihak yang beranggapan, dengan RUU ini, Indonesia akan diarahkan kepada negara fundamentalis dan bernuansa syariat Islam dia menjawab, Mereka keliru, tanpa menggunakan terminologi agama, itu (RUU APP) sudah sangat reasonable kok. Parameter saya menolak pornografi adalah parameter UNDP. Parameter ini digunakan di seluruh dunia. Baik yang beragama maupun yang tidak beragama. Yang mayoritas Muslim maupun bukan Muslim, katanya. Enggak usah pakai syariat kepada mereka. Cukup kita bilang bahwa, di Austria ketika ada peraturan tentang pakaian yang sopan, (dapat) mengurangi angka perkosaan. Di Amerika tahun 2005, sekitar 1500 kasus perkosaan di pengadilan, semuanya kerena melihat adegan porno. Alasan penolakan RUU APP karena alasan budaya, menurut Khofifah juga tidak bisa diterima. Selalu yang dicontohkan (penolak RUU APP) adalah Papua. Saya sudah pernah keliling, sekitar 13 kabupaten yang saya datangi di Papua, saya tidak melihat orang pakai koteka. Koteka hanya tarian sambutan untuk Presiden dan Wakil Presiden. Di Komoro, orang mau pakai koteka kalau kita mau ambil fotonya, dan kita bayar mereka. Kekhawatiran terhadap perubahan RUU APP menjadi RUU Pornografi diantaranya juga dikemukakan Arofah Windiani, SH.M.Hum. Anggota Tim Responsi dan Hearing dengan DPR RI terhadap RUU APP ini mengatakan, bila RUU APP diganti jadi RUU Pornografi lebih baik ditolak saja Menurut wanita yang juga Lektor Kepala di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah ini, istilah UU Pornografi itu malah akan menjadi semacam aturan untuk legalisasi pornografi. Katanya, kalau ingin menerbitkan pornografi, maka syaratnya begini atau begitu. Istilah itu tidak tegas menurut Arofah. Bunyinya seharusnya UU Tindak Pidana Pornografi, jelasnya. [surya/cha] http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=4553&Itemid=1 [Non-text portions of this message have been removed]