http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/16/111426-noda-yang-menghancurkan-ibadah


Noda yang Menghancurkan Ibadah
Jumat, 16 April 2010, 07:53 WIB

     


ilustrasi
Oleh: Abdullah Hakam Shah MA

Banyak orang beranggapan bahwa kualitas ibadah hanya ditentukan oleh syarat, 
rukun, dan kekhusyukan dalam pelaksanaannya. Misalnya, shalat yang berkualitas 
adalah yang didahului oleh wudlu yang benar, suci pakaian dan tempatnya, serta 
khusyuk dalam melakukan setiap rukunnya. Demikian pula dengan ibadah-ibadah 
yang lain.

Saad bin Abi Waqqash RA bertanya kepada Rasulullah SAW tentang rahasia agar 
ibadah dan doa-doanya cepat dikabulkan. Rasul SAW tidak mengajari Sa'ad tentang 
syarat, rukun, ataupun kekhusyukan. Rasul mengatakan, "Perbaikilah apa yang 
kamu makan, hai Sa'ad." (HR Thabrani).

Ada sindiran yang hendak disampaikan Rasulullah SAW lewat hadis di atas. Yaitu, 
bahwa kebanyakan manusia cenderung memperhatikan 'kulit luar', tapi lupa akan 
hal-hal yang lebih urgen dan fundamental.

Setiap Muslim pasti mengetahui bahwa shalat atau haji mesti dilakukan dengan 
pakaian yang suci. Pakaian yang kotor akan menyebabkan ibadah tersebut tidak 
sah alias ditolak. Namun, betapa banyak di antara kaum Muslim yang lupa dan 
lalai bahwa makanan yang diperoleh dari cara-cara yang kotor juga akan berujung 
pada ditolaknya ibadah dan munajat kita.

Rasul SAW telah mengingatkan, "Demi Zat Yang menguasai diriku, jika seseorang 
mengonsumsi harta yang haram, maka tidak akan diterima amal ibadahnya selama 40 
hari." (HR Thabrani).

Dalam hadis lain yang dinukil Ibnu Rajab al-Hanbali, Rasul SAW bersabda, 
"Barangsiapa yang di dalam tubuhnya terdapat bagian yang tumbuh dari harta yang 
tidak halal, maka nerakalah tempat yang layak baginya."

Di sinilah terlihat dengan jelas, korelasi antara kualitas ibadah dan sumber 
penghasilan. Bahkan, karena ingin memastikan bahwa semua yang dikonsumsi 
berasal dari sumber yang halal, para Nabi dan Rasul menekuni suatu pekerjaan 
secara langsung untuk menghidupi diri dan keluarga mereka.

Nabi Dawud adalah seorang pandai besi dan penjahit, Nabi Zakaria seorang tukang 
kayu, Rasulullah SAW adalah seorang pedagang, dan seterusnya. Demikian pula 
dengan para sahabat yang mulia; mayoritas kaum Muhajirin berprofesi sebagai 
pedagang, sementara kaum Anshar mengandalkan hidupnya dari pertanian.

Lebih dari itu, ketika seseorang bergelimang harta haram, dan ia menafkahi 
keluarganya dengan harta tersebut, sebenarnya ia tidak hanya menodai ibadahnya 
sendiri. Tapi, juga menodai ibadah dan masa depan anak-istrinya.

Seperti komentar Syekh 'Athiyah dalam Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, "Orang tua 
seperti itu secara sengaja membuat ibadah dan doa anak-anaknya tertolak. Sebab, 
ia menjadikan tubuh mereka tumbuh dari harta yang haram." Wa Allahu a'lam


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke