Suara Kaya
Sabtu, 6 Desember 2008

Ketua MUI KH Amidhan Shaberah:
Penyelenggaraan Haji 2008 Hadapi Tantangan Berat 



Penyelenggaraan haji tahun 2008 menghadapi tantangan berat sebagai dampak 
perluasan Masjidil Haram. Perhatian Kerajaan Arab Saudi terhadap pengembangan 
masjid super megah tersebut sangat besar. 

Selain perluasan yang mencapai 300 ribu meter persegi, juga pelebaran mas'a 
(tempat ibadah sa'i) dan pembangunan jamarat (tempat jumrah). Menurut data, ada 
sekitar seribu bangunan yang tergusur demi proyek akbar ini. Perluasan Masjidil 
Haram yang digarap kontraktor mashur Bin Ladin ini termasuk yang terbesar 
sepanjang sejarah Kota Mekkah. 

Merespons hal tersebut, sejak lama Departemen Agama (Depag) sudah mewanti-wanti 
bahwa pembangunan Masjidil Haram akan menimbulkan sejumlah konsekuensi bagi 
jemaah calon haji Indonesia. Selain suasana ibadah akan diuji oleh fasilitas 
yang sedang dalam perbaikan, para jemaah juga memperoleh pondokan yang jauh 
dari masjid tempat bernaung Ka'bah tersebut. 

Penyediaan 600 unit bus disertai petugas yang direkrut dari kalangan mahasiswa 
pun tak banyak menyelesaikan masalah. Bahkan, operasional angkutan umum ini 
dihentikan sejak 2 Desember lalu karena ditarik pihak naqabah (pengelola) dalam 
rangka mempersiapkan konsentrasi jemaah menuju puncak ibadan haji di Arafah dan 
Mina. 

Berikut wawancara wartawan Suara Karya Yudhiarma MK dan fotografer Muhammad 
Guntur Setiawan dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Drs KH Amidhan 
Shaberah yang juga mantan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama 
(1991-1996), di Jakarta, Kamis (4/12), terkait penyelenggaraan haji 2008. 

Bagaimana tanggapan Anda mengenai penyelenggaraan haji 2008? 

Tantangan yang dihadapi lebih berat, terutama sebagai dampak perluasan Masjidil 
Haram. Banyak jemaah mendapat pondokan yang jauh atau sekitar 7-10 kilometer 
dari Masjidil Haram. Ini tentu melelahkan bagi mereka yang ingin beribadah 
seperti shalat di Masjidil Haram. Pemerintah memang telah menyediakan bus, tapi 
terkendala macet, kemudian jemaah kita juga suka berebut. Jemaah juga 
diturunkan jauh dari masjid, sekitar satu kilometer. Kondisi ini menambah 
ke-ruwetan. 

Siapa yang harus bertanggung jawab dan apa solusi mengatasi pondokan yang jauh 
dari Masjidil Haram itu? 

Saya kira itu urusan pemerintah. Sekarang, kita tidak bisa menyalahkan 
siapa-siapa, karena kondisinya memang darurat. Pemerintah Arab Saudi merombak 
kawasan Masjidil Haram juga demi kenyamanan berhaji di masa mendatang. Mereka 
berencana membangun gedung-gedung yang mampu menampung jemaah dalam jumlah yang 
besar. Sekarang pondokan masih terpencar-pencar dan tidak teratur. 

Komisi VIII DPR mengusulkan pemerintah melobi OKI agar mendesak Arab Saudi 
membenahi masalah tersebut, misalnya membuat klasifikasi. 

Saya setuju dengan usulan itu. Yang bisa dilakukan mungkin hanya untuk 
klasifikasi. Karena, Pemerintah Arab Saudi tidak bisa mengintervensi masalah 
perumahan warga. Sebab, para syekh (pemilik pondokan-Red) itu adalah pemilik 
sah permukiman yang sudah diwariskan secara turun-temurun sejak zaman 
Rasulullah SAW. 

Sesuai UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Haji, diwajibkan pembentukan 
komisi pengawas haji Indonesia yang harus didirikan paling lambat tahun depan. 
Apakah MUI turut mendesak pemerintah agar lembaga itu segera dibentuk? 

Ya, meski sudah banyak lembaga yang memonitor seperti Komisi VIII DPR dan DPD 
serta LSM pemerhati haji, lembaga itu diperlukan untuk mengoptimalkan 
pengawasan. Karena, sifat institusi tersebut menurut undang-undang bersifat 
independen. 

Banyak yang menilai komisi itu tidak akan "bergigi". Sebab, para anggotanya 
diusulkan oleh Menteri Agama kendati pengangkatannya oleh Presiden. Benarkah? 

Jangan berburuk sangka dulu. Pembentukan lembaga ini, saya yakin, transparan 
dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk mencapai penyelenggaraan 
haji yang baik, memang harus didukung oleh semua pihak, bukan hanya komisi 
pengawas. Dan, yang lebih penting, kalau untuk perbaikan pelayanan haji juga 
amat bergantung pada keberhasilan Depag sendiri membenahi diri. Sebagai 
pengawas, komisi tersebut kelak harus mampu mengontrol semua pihak yang 
terlibat dalam penyelenggaraan haji. 

Apakah masalah pengelolaan biaya haji juga perlu diatur dengan undang-undang 
khusus? Mengingat, akibat sistem kuota, banyak calon jemaah harus masuk dalam 
daftar tunggu selama bertahun-tahun. Sementara, sebagai "tanda jadi", mereka 
diwajibkan membayar uang muka Rp 20 juta? 

Perlu saja, apalagi kalau dana haji yang dibayarkan para calon haji nilainya 
fantastis. Kalau tidak salah, diperkirakan sudah mencapai Rp 20 triliun. Ini 
kan luar biasa. Kalau kita mencontoh Malaysia, di sana ada tabungan haji yang 
bisa dimanfaatkan untuk investasi atau kegiatan ekonomi. 

Tetapi, dengan syarat, harus ada jaminan pemerintah melalui pembentukan lembaga 
penjaminan dan sebagainya sehingga dana haji itu tidak hilang. Ini kan bisa 
menjadi salah satu solusi krisis bagi umat. Hanya saja, kami belum punya payung 
hukum. Tapi, saya dengar, sudah ada rencana pemerintah untuk membuat legislasi 
yang mengatur pengelolaan dana haji. Kita sih mendukung saja. Ini kan positif 
bagi pembangunan ekonomi umat. 

Selain itu, pemerintah sedang menggodok kebijakan transaksi wajib rupiah. 
Menurut Anda? 

Kalau ini tentu saja sulit diterapkan. Justru kalau memakai rupiah, akan 
membebani calon jemaah. Artinya, jika menggunakan rupiah manakala dolar naik, 
biaya komponen penyelenggaraan otomatis akan ikut naik. Karena, rupiah 
fluktuatif. Kecuali kalau komponen penyelenggaraan haji seperti penerbangan dan 
sebagainya sudah memakai mata uang riyal atau rupiah, kita harus 
menggunakannya. 

Komisi VIII DPR meminta Depag tidak menyerahkan kewenangan penuh masalah teknis 
urusan haji kepada pejabat eselon III. Tanggapan Anda? 

Itu masalah teknis saja. Menurut saya, yang perlu ditambah adalah jumlah aparat 
pemerintah di Tanah Suci. Sejauh ini masih kurang dibanding jumlah jemaah. 

Animo masyarakat untuk berhaji makin tinggi, tetapi kuota terbatas. Sejauh mana 
imbauan pembatasan berhaji sekali dalam 5 tahun, 10 tahun, atau bahkan sekali 
seumur hidup? 

Ini memang perlu dioptimalkan lagi. Karena, pemerintah tidak mungkin melarang 
orang untuk beribadah. Hanya saja, kalau memprioritaskan mereka yang belum 
pernah berhaji dan menganjurkan yang sudah pernah berhaji untuk antre, ya 
sah-sah saja.*

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke