http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=27731&ses=

12 Mei 2009 11:32:12



Pergi ke Puncak ketika Musim Turis Timur Tengah Tiba (1)





Ajak Calon Mempelai Pria Pilih Gula atau Kopi
Mei hingga Agustus nanti, kawasan Puncak, Cisarua, Bogor, seperti biasa, 
memasuki masa banjir wisatawan asal Timur Tengah. Ada yang sekadar berlibur. 
Tapi, tak sedikit pula yang ingin menikahi wanita lokal meski hanya untuk 
sementara. 

AGUNG PUTU ISKANDAR, Bogor 
-
RABU pagi itu (6/5) Suzuki APV berhenti di dekat Jembatan Cibeureum, kawasan 
Puncak, Cisarua, Bogor. Kedatangan mobil merah marun itu menarik perhatian para 
tukang ojek yang parkir di dekat jalan masuk ke kampung Gandamanah. Kaca tengah 
mobil itu lalu dibuka setengah. Dari jendela, tampak dua orang berambut dan 
berhidung khas Timur Tengah menoleh kiri kanan. 


Tak lama kemudian salah seorang tukang ojek mendatangi mereka. Setelah 
berbincang sebentar, kedua lelaki berusia 40-an tahun berpostur tinggi itu 
turun. Mereka lantas memasuki salah satu vila di pinggir jalan. ''Mereka sedang 
cari cewek (perempuan). Saya suruh mereka menunggu dulu,'' kata tukang ojek 
yang mengaku bernama Asep itu kepada Jawa Pos (Cenderawasih Pos Group).


Asep lantas kembali ke pangkalan ojek tadi. Dia lantas berbincang sebentar 
kepada dua tukang ojek koleganya. Asep dan dua temannya lantas menggeber 
motornya. Masing-masing bagi tugas ke jalan menanjak menuju kampung Tugu 
Selatan, Gandamanah, dan Warung Kaleng.  Transaksi "kawin kontrak" memang biasa 
dilakukan di pangkalan ojek. Banyak di antara pengojek itu yang saat banyak 
turis Timur Tengah tiba nyambi jadi calo. Mereka tersebar di beberapa pintu 
masuk kampung. Selain Gandamanah, mereka ada di kampung Warung Kaleng, Tugu 
Utara, dan Tugu Selatan. Hampir satu jam "berburu", dua tukang ojek itu 
kembali. Salah seorang tukang ojek yang ke Warung Kaleng tiba lebih dulu. 
Wajahnya murung. Dia menggeleng. Wanita yang biasa kawin kontrak di Warung 
Kaleng sudah tidak ada. Tak lama kemudian, Asep yang ke Tugu Selatan pun tiba. 
Raut wajahnya hampir sama dengan tukang ojek sebelumnya. ''Payah, euy. Nggak 
ada barang,'' keluh Asep. 


Biasanya, kata lelaki asli Gandamanah itu, urusan itu bisa dia tangani sendiri. 
Tak perlu mengorder rekan tukang ojek lainnya. Dia sendiri sudah memiliki stok 
siapa saja yang bisa dikontrak. ''Sekarang, stok saya sudah banyak yang 
ditangkap polisi. Banyak yang dibawa ke Pasar Rebo (tempat panti sosial, 
Red.),'' keluhnya.
Akhir-akhir ini, Polres Bogor memang sedang gencar-gencarnya melakukan razia. 
Apalagi menjelang pemilu legislatif dan pilpres. Hampir tiap hari mobil patroli 
memasuki kampung-kampung. Pada Maret lalu, misalnya, petugas berhasil menjaring 
sekitar 20 wanita pelaku kawin kontrak. 


Operasi itu membuat para pelaku kawin kontrak tiarap. Asep mengaku kesal dengan 
banyaknya razia. Sebab, itu membuat "stok" berkurang banyak. ''Sekarang ini 
yang minta banyak, tapi barangnya nggak ada. Padahal ini masih Mei, belum Juni 
dan Juli yang datang semakin banyak,'' keluhnya. 
Mulai Mei hingga Agustus ini, kawasan Puncak memang diserbu para pelancong dari 
Timur Tengah. Masyarakat sekitar menyebut empat bulan masa "peak season" 
putaran uang di Puncak itu sebagai''Musim Arab''. Yakni, musim turis dari 
negara-negara Arab memadati kawasan dataran tinggi berbukit itu. Mereka 
biasanya pulang saat menjelang bulan puasa. 


Namun, para pelancong itu tidak hanya dari Arab Saudi. Mereka juga datang dari 
negara-negara Timur Tengah lain seperti Kuwait, Iran, dan bahkan (di luar Timur 
Tengah) Pakistan. ''Tapi, semua orang di sini menyebutnya ya orang Arab gitu 
aja. Nggak peduli mereka dari mana,'' ujar bapak satu anak itu. 
Para turis Timur Tengah itu tinggal di villa-villa sekitar kawasan Puncak. 
Biasanya, turis domestik menyewa vila selama satu hingga tiga hari. Namun, para 
turis Timur Tengah itu menyewa vila dalam jangka panjang: tiga hingga empat 
bulan. Nah, di sela-sela tinggal di kawasan vila itulah, beberapa dari mereka 
''mengisi'' waktu liburan dengan kawin kontrak. 


Untuk mencari calo kawin kontrak, tidak sulit. Kalau Anda bertampang ras 
kaukasoid atau sedikit berciri fisik Timut Tengah, Anda bahkan tak perlu 
bersusah-susah mencari mereka. Begitu menginjakkan kaki di bumi Puncak, 
beberapa calo akan mendekati Anda.  Bahkan, beberapa calo yang sudah 
profesional kini jemput bola dengan menghadang para tamu sejak di bandara 
Soekarno-Hatta. Mereka cukup menghafal kata dalam bahasa Arab yang maknanya 
adalah Puncak: Jabal. Mendengar itu, turis itu biasanya langsung mengangguk dan 
mengikuti sang calo. 


Karena tak paham bahasa asing, para calo cukup menggunakan bahasa Tarzan untuk 
menawarkan kawin kontrak kepada mereka. Malah, para turis yang sudah tahunan 
mengunjungi Puncak, sudah biasa dengan bahasa Indonesia pasaran. 



''Tapi orang yang seperti itu yang jarang ngasih uang lebih. Yang sering datang 
ke sini malah lebih pelit daripada yang baru pertama datang,'' ujar Asep.
Lantas, bagaimana prosedurnya? Salah seorang calo kawin kontrak, Husin, sebut 
saja begitu, mengakui awalnya memang harus ada kesepakatan harga. Untuk jangka 
waktu tiga hingga empat bulan, calo bisa mematok tarif Rp 5 juta hingga Rp 7 
juta. Semakin lama jangka waktunya tarif semakin mahal. 
Setelah itu, turis akan diajak untuk mendatangi calon mempelai wanita. Wanita 
itu biasanya masuk dalam list calo. ''Mereka harus diajak. Kami kan nggak tahu. 
Kalau dikasih gula, ternyata minta yang kopi. Dikasih kopi, ternyata mintanya 
gula,'' katanya. Gula dan kopi merupakan istilah umum di kamus calo untuk 
merujuk pada warna kulit calon istri. Kopi untuk yang berkulit hitam dan gula 
untuk yang berkulit putih.


Saat melihat calon mempelai, turis Timur Tengah tak hanya melihat warna kulit. 
Mereka juga harus mengecek kualitas fisik yang dimiliki calon mempelai. Tak 
jarang, mereka juga meraba-raba bagian yang menjadi ''favorit'' mereka. 
Kalaupun tidak jadi, calon mempelai yang sudah diraba-raba itu akan diberi uang 
ganti. ''Ya, paling dikasih gocap (sekitar 50 ribu)'' katanya. Kata Husin, 
selera para turis Timur Tengah tak seperti orang Indonesia. Kalau para hidung 
belang Indonesia suka dengan yang masih belia, mereka lebih suka yang matang 
dengan fisik sedikit gemuk.  ''Mereka suka (maaf) pantat dan dada besar. 
Biasanya janda anak satu atau dua gitu mereka masih suka,'' katanya. Usianya 
pun tak seberapa muda. Kisarannya 28-32 tahun. 


Setelah cocok dengan calon mempelai, prosedur selanjutnya adalah melakukan 
pernikahan. Kawin kontrak cukup menghadirkan penghulu dan satu saksi. Yang jadi 
saksi biasanya adalah calo yang menjadi makelar itu sendiri. Sedan penghulunya 
bisa diatur. ''Orang Arab masak tahu itu penghulu beneran atau nggak. Pokoknya 
kawin, beres,'' katanya. 


Setelah ''prosesi'' pernikahan, kedua mempelai teken tanda tangan di sebuah 
surat. Surat tersebut menjadi dokumen pengesahan untuk status mereka. ''Mereka 
kan tidak mau zina. Mereka mau main, tapi nggak mau dosa. Jadi kawin kontrak 
itu seperti membuat hubungan mereka sah, padahal itu juga bohong-bohongan,'' 
ujar Husin lantas terkekeh.


Dari uang "mahar" yang dibayarkan itu, kata Husin, sebagian masuk ke kantong 
calo sebagai uang komisi. Nilainya beragam, bergantung kepintaran calo dan 
"mempelai" wanita. Kalau mempelai perempuan mudah ditipu, setengah nilai 
kontrak diembat calo. Tapi, Husin berkilah dia tidak rakus dalam mengambil 
komisi. ''Kalau bayarnya Rp 7 juta, kita paling dapat Rp 2 juta. Tapi, 
kebanyakan sih cuma Rp 1 juta. Nggak lebih,'' katanya sambil tersenyum kecil.
Seperti suami istri, setelah diikat "kontrak" akad nikah, kedua mempelai 
diantar menuju tempat peraduannya. Yakni vila yang sudah disewa oleh mempelai 
pria. Yang wanita pun harus bersedia melayani sang pria. Layaknya hubungan 
suami-istri. (bersambung)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke