Galamedia
SELASA, 22 APRIL 2008

      Perjalanan Gaib ke Gunung Syaqor (1)  
      Aku Terpaksa Menjadi Istri Kedua  
     
      KISAH ini diceritakan H. Tatang Herbirawa, pakar spiritual dan ahli 
pengobatan alternatif, penduduk Jln. Babakan Irigasi (Terusan Pasirkoja) 
Bandung. Salah seorang pasiennya, Dilah (nama samaran, red) pernah mengadakan 
perjalanan spiritual ke Gunung Syaqor di Jawa Tengah. Mengapa Dilah melakukan 
hal itu? Sebab, ia merasa sakit hati setelah diusir orangtuanya gara-gara 
menjadi istri muda seorang bandar kain. Bagaimanakah kisahnya? Dilah 
menceritakan perjalanan gaibnya kepada H. Tatang Herbirawa dan ditulis Tarlin 
Sukandar.  
     
AKU dilahirkan di sebuah kelurahan di daerah Kecamatan Bandung Kulon, Kota 
Bandung, 16 November 1984. Aku anak pertama dari enam bersaudara. Kata orang 
aku cantik dan tubuhku donto (moleg). Sejak duduk di kelas I sebuah SMA negeri 
di Bandung, aku sudah menjadi incaran banyak laki-laki, baik teman sekelasku 
maupun kakak-kakak kelasku. Tapi dari sekian banyak laki-laki yang berusaha 
mendekatiku, tak ada seorang pun yang berhasil mencuri hatiku.

Tamat SMA, aku terpaksa harus bekerja karena ayahku tak sanggup membiayai 
sekolahku ke perguruan tinggi. Ayahku yang guru SD itu menyuruhku segera 
mencari pekerjaan. Alhamdulillah, berbekal wajahku yang cukup cantik, aku 
diterima sebagai sekretaris sebuah perusahaan garmen di daerah Bandung Selatan.

Penghasilanku cukup besar untuk ukuran keluargaku. Karena, selain mendapat 
gaji, aku juga kadang-kadang diberi tip oleh bosku. Lelaki paruh baya itu 
sangat sayang kepadaku. Ia menganggapku sebagai anaknya sendiri, karena ia 
tidak punya anak. Putra yang didambakannya selama 20 tahun perkawinan tak 
kunjung lahir.

Orangtuaku juga tahu bahwa aku sangat disayang majikanku yang WNI keturunan 
Tionghoa itu. Bahkan, tak jarang bosku memberikan oleh-oleh kepadaku dan kedua 
orangtuaku kalau ia kebetulan pulang dari Singapura atau Kualalumpur setelah 
mengunjungi teman-teman bisnisnya.

Suatu hari bosku kedatangan tamu, seorang bandar kain dari Bogor. Ia memesan 
seragam untuk murid-murid sejumlah sekolah lanjutan di kota itu. Lelaki berusia 
sekitar 35 tahun itu kuterima dengan gembira. Sebelum diterima bosku, ia 
ngobrol panjang lebar denganku. Kami jadi akrab. Entah kenapa aku tertarik oleh 
bandar kain yang berwajah tampan ini.

Setelah jadi langganan bosku, lelaki yang bernama Hendi (nama samaran) itu jadi 
sering datang ke kantorku. Kami makin akrab.

Aku makin tertarik. Aku tahu bahwa ia sudah beristri dan mempunyai dua orang 
anak. Tapi aku tak peduli. Kami sering pergi sampai larut malam kalau Kang 
Hendi mengajakku jalan-jalan.

Aku juga dengan sukarela menyerahkan diriku sepenuhnya kepadanya. Saat itu aku 
dibawa ke sebuah hotel di Bandung Utara. Di sanalah Kang Hendi memintaku dan 
berhasil menghirup maduku. Dan, anehnya tidak ada rasa sesal di hatiku. Yang 
ada, hanya rasa bahagia yang tak terkira.

Sejak itu, di setiap waktu, di setiap tempat kalau kami menginginkan 
berhubungan intim, kami lakukan dengan senang hati. Tak ada rasa berdosa. Ah, 
betapa Tuhan makin jauh dariku. Aku yang lahir dari keluarga yang taat 
beragama, ternyata begitu mudah jatuh ke pangkuan laki-laki yang sudah beranak 
istri.

Tak terasa hubungan gelapku dengan Kang Hendi membuahkan janin di perutku. 
Cinta terlarangku dengan laki-laki itu mengakibatkan aku hamil! Aku bingung. 
Kuceritakan keadaanku kepada Kang Hendi.

Namun, ia tampak tenang-tenang saja. Katanya, ia akan segera menikahiku. Dengan 
syarat, aku harus rela menjadi istri kedua.

Aku hanya mengangguk lemah. Tak terasa ada air bening menitik dari mataku. Aku 
menangis tanpa suara. Dan, memang sebenarnya aku tak perlu menangis. Karena, 
kehamilan ini adalah akibat perbuatanku yang terlalu jauh melangkah, melabrak 
tatanan dan norma susila yang seharusnya kujunjung tinggi.

Saat perutku makin membesar, aku terpaksa berterus terang mengatakan kepada 
orangtuaku bahwa aku sudah berbadan dua akibat berhubungan dengan Kang Hendi. 
Ayahku marah besar. Dalam keadaan murka tangannya yang kekar singgah di 
wajahku. Tak hanya itu, kakinya juga melayang ke perutku. Untung hanya mengenai 
pahaku. Aku menjerit kesakitan. Bertubi-tubi tubuhku menjadi sasaran 
pelampiasan kemarahan ayah. Akhirnya aku jatuh pingsan. Sebelum kesadaranku 
hilang, aku masih sempat mendengar jeritan ibuku.

Namun, untuk menutupi aib yang menimpa keluarganya, akhirnya ayahku terpaksa 
mengawinkan aku dengan Kang Hendi. Meskipun diadakan secara sederhana, tapi 
upacara pernikahan itu membuatku bahagia. Aku bisa bersanding dengan lelaki 
yang kucintai, hanya statusku, istri kedua.

Yang mengherankan, ternyata istri pertama Kang Hendi juga hadir di upacara 
pernikahanku. Ia menuntun kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Wanita cantik 
itu menyalamiku dengan senyum tersungging di bibirnya. Perempuan yang lebih tua 
dua tahun dari Kang Hendi itu memelukku dengan tulus. Aku menjadi serbasalah. 
Aneh memang, biasanya kalau suami menikah lagi, pasti istri tua akan melabrak 
madunya. Tapi, maduku itu malah gembira.

Dalam kesempatan itu, maduku, Teh Teti (juga nama samaran) berpesan kepadaku 
kalau anakku sudah lahir akan ia pelihara dengan penuh kasih sayang. Aku hanya 
melongo mendengarnya. Kang Hendi menggamit tanganku sehingga aku sadar bahwa 
saat itu kami sedang menghadapi banyak tamu. (bersambung)** 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke