http://www.uinjkt.ac.id/index.php/category-table/692-pernikahan-beda-agama.html

Pernikahan Beda Agama
                        
Ditulis oleh Komaruddin Hidayat 
Jumat, 01 Mei 2009 14:46

TULISAN ini tidak hendak memasuki perdebatan teologis, apakah
pernikahan beda agama diperbolehkan ataukah tidak, melainkan sekadar
menyajikan catatan psikologis problem yang muncul dari pasangan
suami-istri yang berbeda agama.

Berulang kali saya kedatangan tamu yang sekadar berkonsultasi mengenai
kehidupan rumah tangga mereka yang menghadapi problem akibat perbedaan
keyakinan agama,yang kemudian berimbas kepada anakanak mereka.Ada juga
yang datang dengan status masih berpacaran dan bersiap memasuki
jenjang pernikahan.

Di antara kasus itu adalah memudarnya rumah tangga yang telah dibina
belasan tahun, namun semakin hari serasa semakin kering, akibat
perbedaan agama. Pada mulanya, terutama sewaktu masih pacaran,
perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi
lama-kelamaan ternyata jarak itu tetap saja menganga.

Bayangkan saja, ketika seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah
atau haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anakanaknya bisa
ikut bersamanya. Tetapi alangkah sedihnya ketika istri dan
anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja. Salah satu kebahagiaan
seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak
istri.

Begitu pun ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa menjadi perekat
batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika
pasangannya berbeda agama. Di sisi istrinya, yang kebetulan beragama
Kristen misalnya, pasti akan merasakan hal yang sama,betapa indahnya
melakukan kebaktikan di gereja bersanding dengan suami.Namun itu hanya
keinginan belaka.

Ada seorang ibu yang merasa beruntung karena anak-anaknya ikut agama
ibunya.Kondisi ini membuat ayahnya merasa kesepian ketika ingin
berbagi pengetahuan dan pengalaman beragama. Di zaman yang semakin
plural ini pernikahan beda agama kelihatannya semakin bertambah.
Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu diingat
bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu
kecocokan dan saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh.

Bahwa karakter suami dan istri masing-masing berbeda, itu suatu
keniscayaan.Misalnya saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial,
perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya
saling menerima dan saling melengkapi.

Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi
krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan
suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Jadi perlu dipikirkan
matangmatang ketika perbedaan itu mengenai keyakinan agama.Problem itu
semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah
memiliki anak.

Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang
diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim.
Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen.Anak yang
mestinya menjadi perekat orang tua sebagai suami-isteri, kadang kala
menjadi sumber perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan
pengaruh masing-masing. Mengapa agama menjadi persoalan?

Karena agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup.
Spirit,keyakinan,dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap
individu yang beragama,termasuk dalam kehidupan rumah tangga.Di sana
terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan
secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan
salat berjamaah dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa.Semua ini
akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh
seluruh keluarga.

Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu
menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk
memaknai hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit
diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama.Kenikmatan
berkeluarga ada yang hilang. Jadi, sepanjang pengamatan saya, secara
psikologis pernikahan beda agama menyimpan masalah yang bisa
menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti pernikahan satu agama akan
terbebas dari masalah.

Namun perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu
dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk
memengaruhi anak-anak sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang
malah menjadi lebih dewasa dan kritis.

Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin
suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Seorang teman bercerita,
ada seorang suami yang rajin salat, puasa, dan senantiasa berdoa agar
istrinya yang beragama Katolik mendapat hidayah sehingga menjadi
muslim.

Dengan segala kesabarannya sampai dikaruniai dua anak, istrinya masih
tetap kokoh dengan keyakinan agamanya.Tapi harapannya belum juga
terwujud dan bahkan perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya
suami dan istri tadi masing-masing merasa kesepian di tengah keluarga.
Ada suatu kehangatan dan keintiman yang kian redup dan perlahan
menghilang.

Ketika semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari tidak
lagi materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya
dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi
keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Cerita di
atas tentu saja merupakan kasus, tidak bijak dibuat generalisasi.
Namun pantas menjadi pelajaran.

Ketika masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak,cinta
mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya
anak berbagai masalah baru akan bermunculan. Memang ada satu dua
pernikahan pasangan berbeda agama yang kelihatannya baik-baik saja.
Cuma kebetulan yang datang pada saya yang bermasalah.

Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada
yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Dan mereka yakin doa
yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak
psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan
oleh anakanaknya.

Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase
anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan
kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama
malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.(*)

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Seputar Indonesia, Jumat 1 Mei 2009

Kirim email ke