Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu terbilang berusia muda. Ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental itu diklaim
Barat baru muncul pada tahun 1879 M -- ketika Wilhelm Wundt mendirikan
laboratorium pertamanya di Leipzig. Padahal, jauh sebelum itu peradaban
manusia dari zaman ke zaman telah menaruh perhatian pada masalah-masalah
psikologi.

Peradaban manusia kuno di Mesir, Yunani, Cina, dan India telah memikirkan
tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan.
Kebudayaan kuno itu juga telah memikirkan tentang sifat pikiran, jiwa, ruh,
dan sebagainya. Masyarakat Mesir Kuno dalam catatan yang tertulis pada
papirus bertarik 1550 SM telah mencoba mendeskripsikan tentang otak dan
beberapa spekulasi mengenai fungsinya.

Selain itu, filsuf Yunani Kuno, Thales, juga telah mengelaborasi apa yang
disebut sebagai psuch atau jiwa. Pemikir lainnya dari peradaban Yunani Kuno
seperti Plato, Pythagoras, dan Aristoteles juga turut mendedikasikan diri
mereka untuk mempelajari dan mengembangkan dasar-dasar psikologi. Sejak abad
ke-6 M, peradaban Cina telah mengembangkan tes kemampuan sebagai bagian dari
sistem pendidikan.

Lalu bagaimana peradaban Islam berperan dalam mengembangkan psikologi?
Sebenarnya. jauh sebelum Barat mendeklarasikan berdirinya disiplin ilmu
psikologi di abad ke-19 M, di era keemasannya para psikolog dan dokter
Muslim telah turut mengembangkan psikologi dengan membangun klinik yang kini
dikenal sebagai rumah sakit psikiatris.

Di era kekhalifahan, psikologi berkembang beriringan dengan pesatnya
pencapaian dalam ilmu kedokteran. Pada masa kejayaannya, para psikolog
Muslim telah mengembangkan Psikologi Islam atau Ilm-Al Nafsiat. Psikologi
yang berhubungan dengan studi nafs atau jiwa itu mengkaji dan mempelajari
manusia melalui qalb (jantung), ruh, aql (intelektual), dan iradah
(kehendak).

Kontribusi para psikolog Muslim dalam mengembangkan dan mengkaji psikologi
begitu sangat bernilai. Sejarah mencatat, sarjana Muslim terkemuka,
Al-Kindi, merupakan psikolog Muslim pertama yang mencoba menerapkan terapi
musik. Psikolog Muslim lainnya, Ali ibn Sahl Rabban Al-Tabari, juga diakui
dunia sebagai orang pertama yang menerapkan psikoterapi atau 'al-`ilaj
al-nafs'.

Psikolog Muslim di era kejayaan, Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi, merupakan
sarjana pertama yang memperkenalkan konsep kesehatan spiritual atau al-tibb
al-ruhani dan ilmu kesehatan mental. Al-Balkhi diyakini sebagai psikolog
medis dan kognitif pertama yang secara jelas membedakan antara neuroses dan
psychoses untuk mengklasifikasi gangguan penyakit syaraf.

Melalui kajian yang dilakukannya, Al-Balkhi, juga mencoba untuk menunjukkan
secara detail bagaimana terapi rasional dan spiritual kognitif dapat
digunakan untuk memperlakukan setiap kategori penyakit. Pencapaian yang
berhasil ditorehkan Al-Balkhi pada abad pertengahan itu terbilang begitu
gemilang.

Sumbangan yang tak kalah pentingnya terhadap studi psikologi juga diberikan
oleh Al-Razi. Rhazes - begitu orang Barat menyebut Al-Razi - telah
menorehkan kemajuan yang begitu signifikan dalam psikiatri. Melalui kitab
yang ditulisnya yakni El-Mansuri dan Al-Hawi, Al-Razi mengungkapkan definisi
symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan
masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Al-Razi juga tercatat sebagai psikolog pertama yang membuka ruang psikiatri
di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad. Pada saat yang sama, Barat belum
mengenal dan menerapkan hal serupa, sebab waktu itu Eropa berada dalam era
kegelapan. Apa yang telah dilakukan Al-Razi di masa kekhalifahan Abbasiyah
itu kini diterapkan di setiap rumah sakit.

Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut menyumbangkan
pemikirannya untuk mengembangkan psikologi adalah Al-Farabi. Ilmuwan
termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan
berhubungan dengan studi kesadaran. Dari Andalusia, dokter bedah terkemuka,
Al-Zahrawi, alias Abulcasis mempelopori bedah syaraf.

Selain itu, Ibnu Zuhr, alias Avenzoar tercatat sebagai psikolog Muslim
pertama yang mencetuskan deskripsi tentang penyakit syaraf secara akurat.
Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology
modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes -- ilmuwan
Muslim termasyhur - telah mencetuskan adanya penyakit Parkinson's.

Ali ibnu Abbas Al-Majusi, psikolog Muslim lainnya di masa kejayaan turut
menyumbangkan pemikirannya bagi studi psikologi. Ia merupakan psikolog yang
menghubungkan antara peristiwa-peristiwa psikologis tertentu dengan
perubahan psikologis dalam tubuh. Ilmuwan besar Muslim lainnya, Ibnu Sina,
alias Avicenna dalam kitabnya yang fenomenal Canon of Medicine juga mengupas
masalah neuropsikiatri. Ibnu Sina menjelaskan pendapatnya tentang kesadaran
diri atau self-awareness.

Sementara itu, Ibnu Al-Haitham alias Alhazen lewat kitabnya yang terkenal
Book of Optics dianggap telah menerapkan psikologi eksperimental, yakni
psikologi persepsi visual. Dialah ilmuwan pertama yang mengajukan argumen
bahwa penglihatan terjadi di otak, dibandingkan di mata. Al-Haitham
mengesakan bahwa pengalaman seseorang memiliki efek pada apa yang dilihat
dan bagaimana seseorang melihat.

Menurut Al-Haitham, penglihatan dan persepsi adalah subjektif. Al-Haitham
juga adalah ilmuwan pertama yang menggabungkan fisika dengan psikologi
sehingga terbentuklah psychophysics. Melalui percobaan yang dilakukannya
dalam studi psikologi, Al-Haitham banyak mengupas tentang persepsi visual
termasuk sensasi, variasi, dalam sensitivitas, sensasi rabaan, persepsi
warna, serta persepsi kegelapan.

Sejarawan psikologi, Francis Bacon menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang
meletakkan dasar-dasar psychophysics dan psikologi eksperimental.
Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukannya, Bacon merasa yakin bahwa
Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil menggabungkan fisika dengan
psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis Elements of Psychophysics
pada tahun 1860 M.

Bacon juga mengakui Al-Haitham sebagai pendiri psikologi eksperimental. Dia
mencetuskan teori besar itu pada awal abad ke-11 M. Selain itu, dunia juga
mengakui Al-Biruni sebagai salah seorang perintis psikologi eksperimental
lewat konsep reaksi waktu yang dicetuskannya. Sayangnya, sumbangan yang
besar dari para ilmuwan Muslim terhadap studi psikologi itu seakan tak
pernah tenggelam ditelan zaman.

Post from: http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=432


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke