http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=25944

[ Rabu, 24 September 2008 ]
jawa pos
Puasa dan Kesehatan Reproduksi Perempuan


Oleh Siti Musdah Mulia *

ALQURAN menginformasikan bahwa selain puasa Ramadan, ada bentuk puasa
lain, yaitu puasa bicara. Uniknya, puasa bicara ini hanya ditujukan
kepada seorang perempuan bernama Maryam. Dia bukan perempuan biasa,
melainkan perempuan tegar dan perkasa. Ibu seorang nabi agung, Isa
alaihissalam.

Bukan hanya itu, Alquran mengabadikan namanya dalam satu surat bernama
Surat Maryam, dan dalam surat itu dia juga dilukiskan sebagai manusia
suci. Tatkala dia difitnah karena melahirkan anak tanpa ayah, Allah
menyuruh dia puasa (QS Maryam, 19:26). Orang yang pernah mencoba
ibadah unik ini mengatakan bahwa puasa bicara jauh lebih sulit
ketimbang puasa biasa. Menahan diri dari berbicara ternyata jauh lebih
berat daripada menahan makan dan minum.

Puasa Maryam dalam bentuk menahan diri tidak berbicara sepatah kata
pun. Maryam dilarang menjelaskan apa pun, dan Allah swt kemudian
memberikan mukjizat kepada Isa as yang masih bayi untuk menjelaskan
sendiri identitasnya.

Dia mengatakan, "Sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan, nabi pembawa
kabar gaembira". Kelahirannya berbeda dengan manusia biasa, yakni
tidak membutuhkan kehadiran laki-laki (QS Maryam, 19:23-36).

Ayat-ayat tentang Maryam seharusnya memberi inspirasi bagi pengakuan
terhadap keunggulan kemanusiaan perempuan, sekaligus kemuliaan seorang
ibu. Perempuan ternyata dapat menjadi ibu tanpa bantuan laki-laki.

Sebaliknya, dalam sejarah kemanusiaan belum dijumpai satu pun
laki-laki dapat menjadi ayah atau punya anak tanpa bantuan perempuan
(mungkin nanti dengan teknik kloning?). Bahkan, kenyataan ini
seharusnya menyadarkan manusia tentang pentingnya organ reproduksi
perempuan, terutama organ rahim.

Bukankah istilah silaturrahim, salah satu ajaran inti dalam Islam,
berasal dari akar kata rahim? Itu berarti betapa penting hubungan
kasih sayang di antara manusia, kasih sayang yang dipertautkan oleh
rahim ibu.

Namun, realitas sosiologis di masyarakat menunjukkan bahwa hak-hak
perempuan berkaitan dengan fungsi rahim atau populer dengan istilah
hak dan kesehatan reproduksi masih kurang mendapatkan apresiasi yang
layak.

Buktinya? Lihat data nasional tentang angka kematian ibu melahirkan
(AKI) yang sungguh memprihatinkan. Ironisnya, itu terdapat di negeri
yang penduduknya diklaim sangat religius. Indonesia menduduki
peringkat terburuk di ASEAN untuk kematian ibu melahirkan. Secara
nasional tercatat 324 per 100.000 kelahiran hidup. Artinya, setiap 30
menit, ibu meninggal. Setahun tercatat rata-rata 15.000 ibu meninggal
karena melahirkan.

Jika dibandingkan dengan bencana tsunami di Aceh, sesunggguhnya
kondisi ini merupakan bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat. Hanya
karena para ibu yang meninggal itu tidak bersamaan waktu dan
lokasinya, jenazah mereka tidak terkapar berjejeran seperti korban
Aceh, tidak menyentak media pers, dan kita semua pun abai terhadap
bencana tersebut.

Pertanyaan yang muncul, mengapa angka kematian ibu begitu tinggi di
negeri yang mayoritas penduduknya mengaku Islam? Bukankah Islam adalah
agama yang paling vokal bicara tentang pentingnya pemuliaan terhadap
kaum ibu? Sorga terletak di telapak kaki ibu, demikian ajaran yang
selalu didengungkan.

Sejumlah penelitian mengungkapkan faktor penyebab AKI adalah
ketidakpedulian pemerintah terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi
perempuan; hukum dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok
rentan, kemiskinan; kebodohan; kekerasan dalam rumah tangga akibat
relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan keluarga; serta masih kuatnya interpretasi agama yang bias
gender dan tidak ramah perempuan.

Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan

Hak reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus
dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Al-Ghazali, ulama
besar abad ke-12, menulis dalam bukunya Ihya' 'Ulumuddin: di antara
kewajiban negara memberikan jaminan bagi terpenuhinya lima hak dasar
manusia, yaitu: hak hidup, hak kebebasan berkeyakinan, hak kebebasan
beropini, hak properti, dan hak reproduksi.

Menarik dicatat bahwa perbincangan tentang hak-hak reproduksi di
tingkat internasional pertama digelar di Kairo pada 1994. Salah satu
alasan mengapa konferensi diadakan di Kairo adalah meluasnya
kecenderungan di negara-negara Islam terhadap pengingkaran hak-hak
reproduksi perempuan.

Dokumen Kairo menyatakan: ''Hak dan kesehatan reproduksi merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara.
Hak-hak reproduksi berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi tiap
pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab
menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anak; hak memperoleh
informasi tentang kesehatan reproduksi; serta hak menikmati kesehatan
reproduksi yang optimal.

Suami-istri secara setara berhak mengambil keputusan tentang
reproduksinya yang bebas dari segala bentuk diskriminasi, pemaksaan,
atau kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan demi meningkatkan
sikap saling menghormati secara setara dalam relasi laki dan
perempuan, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan
untuk remaja sehingga mereka mampu mengatasi masalah seksual secara
positif dan bertanggung jawab."

Setiap perempuan mempunyai hak terbebas dari risiko kematian karena
kehamilan dan melahirkan. Termasuk juga hak memilih bentuk keluarga
dan hak merencanakan keluarga. Mencakup pula hak mendapatkan pelayanan
dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi,
keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri,
kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan kesehatan, serta hak atas
kesetaraan, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan
keluarga.

Puasa sebagai bentuk mekanisme pengendalian diri, termasuk
pengendalian terhadap organ-organ reproduksi, seharusnya mampu membuat
pelakunya peduli dan berempati terhadap bencana kemanusiaan berkaitan
dengan AKI yang sangat tinggi. Puasa hendaknya membuat umat Islam
semakin sensitif kepada problem-problem kemanusiaan yang nyata dalam
masyarakat.

Puasa juga hendaknya menjadi mekanisme pengendalian diri yang efektif
bagi kedua pasangan, suami-istri, untuk memastikan tidak ada lagi
diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam kehidupan keluarga.
Melalui ibadah puasa, kita berharap para pengambil kebijakan segera
mengeluarkan aturan-aturan yang memihak kepada pemenuhan hak kesehatan
reproduksi perempuan.

Puasa hendaknya sungguh-sungguh membuat kita semua menjadi hamba yang
bertakwa (QS al-Baqarah, 2:183). Hamba yang bertakwa adalah manusia
yang peduli dan berempati kepada penderitaan sesama, khususnya derita
para ibu; dan ikut aktif mencari solusi terhadap problem kemanusiaan
di sekitarnya. Selamat berpuasa!

*. Siti Musdah Mulia , dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta

Kirim email ke