Refleksi :  Kalau kualitas demokrasi menang  bisa dipertanyakan, tetapi kalau 
"demon crazy"  memang  sangat cocok di tanah antah-berantak. 

http://www.suarapembaruan.com:80/index.php?detail=News&id=7033

2009-04-15 
"Quo Vadis" Kualitas Demokrasi?


Oleh: Toto Sugiarto



Pemilu 2009 memperlihatkan adanya pergeseran demokrasi kita. Republik ini 
terseret pada praksis demokrasi prosedural. Indikatornya amat kuat, banyak 
warga negara yang kehilangan hak pilihnya hanya karena namanya tidak tertera 
dalam daftar pemilih tetap (DPT). 

Dalam demokrasi prosedural ini, prosedur ditempatkan pada posisi yang lebih 
tinggi dibanding hal yang paling asasi sekalipun, yaitu terjaminnya hak warga 
negara. Dengan kata lain, esensi demokrasi dalam arti terjaminnya hak pilih 
warga negara tidak terwujud. DPT tampak lebih berdaulat dibanding rakyat itu 
sendiri. Apakah demokrasi seperti itu yang ingin dicapai bangsa ini? Kualitas 
demokrasi seperti apa yang ingin kita bangun? 

Demokrasi tidak pernah berhenti pada satu kondisi, melainkan selalu berproses. 
Ia bisa bergerak ke arah demokrasi yang terkonsolidasi, namun bisa juga 
bergerak ke arah kemunduran demokrasi. Bandul demokrasi terus mengayun 
mengikuti dinamika pertentangan dan konsensus berbagai faktor penentu.

Salah satu faktor terpenting dan menentukan bagi kualitas demokrasi adalah 
partai politik. Setiap mekanisme yang berlangsung di internal parpol 
berpengaruh langsung terhadap demokrasi. Jika dalam pencalegan didominasi 
politik uang dan feodalisme, misalnya kualitas demokrasi yang terbangun akan 
rendah. DPR akan dihuni oleh sosok-sosok yang secara politik dan moral 
berkualitas buruk.

Kualitas demokrasi juga ditentukan oleh jujur dan adilnya pelaksanaan pemilu. 
Jika pemilunya cacat dalam arti tidak berlangsung secara jujur dan adil, 
kualitas demokrasi akan rendah.

Pemilu 2009 yang diwarnai hilangnya hak warga negara hanya karena administrasi 
negara yang buruk merupakan pemilu dengan kualitas demokrasi yang rendah. 
Terdapat ketidakadilan dalam pemilu yang cacat tersebut. 

Di satu pihak, terdapat masyarakat yang dapat menyalurkan hak pilihnya, di 
pihak lain terdapat yang tidak dapat memilih. Dari ketidakadilan tersebut, amat 
wajar jika kemudian muncul berbagai dugaan kecurangan. Bagi sebagian kalangan 
ketidakadilan tersebut merupakan buah kesengajaan untuk menguntungkan parpol 
tertentu. Faktor penting lain bagi terciptanya kesuksesan pemilu adalah 
kompetensi penyelenggara, yaitu KPU. Jika anggota KPU incompetent, pemilu tidak 
akan sempurna. KPU yang tidak kompeten tidak akan mampu menjamin tersalurkannya 
hak seluruh pemilih, tetap sportif dan jujurnya perilaku politikus, alokasi 
dana yang baik, pengadaan alat-alat pemilu yang baik seperti tinta yang dapat 
bertahan lama atau kualitas kertas suara yang baik. 


Merosot

Jika dicermati secara lebih menyeluruh, terlihat bahwa kualitas demokrasi kita 
semakin merosot dari waktu ke waktu. Fenomena ini tercermin baik dari 
tanda-tanda fisik ataupun nonfisik. Secara fisik, gedung DPR sekarang ini 
dikelilingi pagar tinggi. Hal ini dapat dibaca sebagai penanda bahwa wakil 
rakyat sekarang memagari diri dari jangkauan rakyatnya. 

Dari sisi fungsinya sebagai saluran aspirasi rakyat, DPR semakin tidak 
aspiratif. DPR semakin dominan diwarnai bisnis pribadi, bisnis kewenangan, dan 
kekuasaan yang bermodal besar. Karena telah mengeluarkan modal besar, para 
pebisnis politik ini semakin fokus mengembalikan modal dan kemudian memperbesar 
keuntungan. 

Pada akhirnya, mekanisme representatif menjadi hanya sebatas aksi seolah-olah. 
Seolah-olah menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, padahal hanya mengejar 
kepentingan pribadi. 

Proses terbuatnya berbagai undang-undang pemekaran daerah, misalnya, merupakan 
contoh nyata aksi seolah-olah tersebut. Motif pemekaran tersebut seolah-olah 
merupakan aspirasi dari bawah. Padahal, banyak di antaranya merupakan keinginan 
segelintir elite yang menginginkan kekuasaan baru. Transaksi bisnis pun 
kemudian diduga terjadi di Senayan.

Pemilu 2009 yang di dalamnya terdapat reduksi makna pemilu dari momen 
kedaulatan rakyat menjadi hanya masalah teknis prosedural memperjelas demokrasi 
di Indonesia yang semakin merosot. Berbagai aktor bertanggung jawab atas 
merosotnya demokrasi, yaitu pemerintah, parpol, dan KPU. Karena buruknya 
kinerja aktor-aktor tersebut, demokrasi kita menjadi demokrasi yang seolah- 
olah berkualitas. Apakah kualitas demokrasi seperti itu yang ingin kita bangun?

Demokrasi seolah-olah akan menyeret bangsa ini pada kepalsuan. Platform parpol 
yang hanya sebatas bahan kampanye verbal dan tertulis, proses pemilu yang 
lancar, namun menyimpan cacat fatal, dan pada akhirnya menghasilkan wakil 
rakyat yang perkataannya berbeda dengan perbuatan.

Berbagai langkah dan kebijakan politik tak lebih dari kepura-puraan. Maka tak 
heran jika usai pemilu ada caleg yang meminta kembali berbagai barang yang 
telah mereka sumbangkan. Bagi mereka, politik tak lebih sebagai transaksi. 
Platform, visi-misi, dan moralitas hanyalah topeng penarik simpati publik.

Apakah demokrasi seperti ini yang kita inginkan? Ataukah kita menginginkan 
bandul demokrasi berubah arah, sehingga bergerak menuju demokrasi substansial? 
Diperlukan langkah-langkah besar dan penegakan hukum jika menginginkan 
demokrasi bergerak ke arah demokrasi substansial. 

Akhirnya, hanya demokrasi substansial yang akan mengarahkan Republik ke dalam 
kondisi demokrasi yang terkonsolidasi. Hanya demokrasi substansial pula yang 
akan berbuah kemakmuran rakyat dan kejayaan negara.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke