Sebaiknya Meregulasi daripada Melarang Oleh Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih -------------------------------------------------------- Pro dan kontra seputar Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi atau RUU APP terus berlangsung. Ada yang menolak sama sekali, menuntut RUU APP segera disahkan seperti apa adanya, tetapi ada juga yang ingin RUU itu dibuat dengan beberapa perubahan untuk menampung aspirasi masyarakat yang berkembang. Saat ini Panitia Khusus (Pansus) RUU APP Dewan Perwakilan Rakyat terus membahas RUU yang sebenarnya merupakan peninggalan DPR periode 1999-2004. April nanti selama sebulan DPR akan reses dan setelah itu akan kembali membahas RUU ini. Melihat banyaknya tahapan pembahasan yang masih harus dilalui sebelum RUU ini disetujui, termasuk membahasnya bersama pemerintah, anggota Pansus seperti Badriyah Fayumi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Eva Sundari dari Fraksi PDI-P mengatakan tidak mungkin RUU ini akan disahkan pada Juni 2006. Pendapat kedua anggota DPR tersebut yang disampaikan dalam lokakarya "Merumuskan Aturan Pornografi yang Melindungi Perempuan dan Anak" yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Jakarta di Jakarta, Rabu (22/3), itu beralasan. Penggagas awal RUU itu, misalnya, memasukkan juga pasal mengenai pornoaksi, sesuatu yang menurut mereka yang kritis terhadap RUU ini tidak ada rumusannya di mana-mana. Demikian juga dalam mendefinisikan pornografi sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika". Pasal 25 Ayat 1 RUU ini melarang "orang dewasa mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual", sementara bagian tubuh tertentu yang sensual didefinisikan sebagai: "antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya. Bagian inilah yang menimbulkan reaksi keras terhadap RUU ini sebab dianggap mengabaikan keberagaman adat budaya masyarakat Indonesia serta masuk terlalu jauh ke wilayah privat. Pertanyaannya sederhana seperti, apakah perempuan yang mandi di kali karena itu merupakan kebiasaan dan mungkin karena kemiskinan sehingga tidak dapat memiliki kamar mandi tertutup, lalu menjadi kriminal? Bagaimana dengan laki- laki yang berenang di kolam renang atau berolahraga dengan bercelana pendek di kampung-kampung? Bagaimana dengan kebiasaan ibu-ibu yang hanya berkutang di luar rumah karena cara berpakaian seperti itu tidak dianggap melanggar norma komunitasnya? Bagaimana dengan pakaian adat, baik untuk laki-laki maupun perempuan, yang memperlihatkan sebagian atau seluruh dada, paha, atau pusar? Kritik terhadap RUU ini bahkan lebih substansial lagi, menyangkut landasan hukum dan gagasan lahirnya. Pasal-pasal dalam bagian Menimbang, misalnya, bagian (a) menyebutkan, "negara Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila yang lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi." Belum lagi di dalam bagian Mengingat yang tidak mempertimbangkan berbagai peraturan perundangan seperti ratifikasi terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Asasi Manusia, dan sebagainya. Meregulasi, bukan melarang Meskipun Badriyah dan Eva Sundari mengatakan bahwa masing-masing fraksi masih terus menyusun daftar isian masalah (DIM) yang berisi pandangan masing-masing fraksi mengenai isi tiap pasal, tetapi secara umum sikap umum keduanya telah terlihat. Keduanyadan menurut Badriyah sementara ini merupakan sikap umum fraksi-fraksimenghapus kata anti dalam nama undang-undang sehingga namanya menjadi RUU Pornografi atau RUU Pornografi dan Pornoaksi. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, misalnya, di dalam DIM menghapuskan secara tegas pornoaksi dengan alasan masalah pornoaksi telah diatur di dalam KUHP dan masalah ini sebenarnya merupakan wilayah publik (sosial), bukan negara. Fraksi PDI-P juga membuang pasal pornoaksi dan menggantinya dengan pasal pengaturan penyebarluasan dan perdagangan materi media cetak/media massa, media elektronik, dan media komunikasi lain yang mengandung materi pornografi. Dicakupnya pasal mengenai distribusi di dalam DIM ini sebenarnya mengakomodasi keinginan masyarakat yang menuntut agar ada undang- undang yang mengatur pornografi sebab materi tersebut di lapangan sangat mudah didapat, bahkan oleh anak-anak dan remaja. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Ade Armando di dalam lokakarya itu menawarkan sebuah "jalan tengah" untuk mengakomodasi keinginan berbagai pihak. Dia mendasarkan pemikirannya pada definisi pornografi sebagai "materi di media yang bertujuan atau berpotensi membangkitkan hasrat seksual". Berdasarkan definisi tersebut, maka pornografi adalah materi yang diatur dan bukan dilarang sama sekali peredarannya. Alasan Ade, definisi tersebut akan menyangkut media pornografi seperti televisi dengan segala bentuk penyiaran, radio, film, rekaman musik, komik, novel, buku, poster, billboard, video, SMS, internet, dan seterusnya. Definisi tersebut memang tidak mencakup pertunjukan "langsung" seperti penari di tempat-tempat hiburan, cara berpakaian dan perilaku masyarakat sehari-hari, dan seterusnya. Menurut Ade yang membangkitkan "hasrat seksual" antara lain adalah goyang Britney, goyang Ricky Martin dan sebagainya, majalah seperti Playboy, VCD Bandung Lautan Asmara, komik City Hunter, adegan seks dalam beberapa halaman novel Saman, dan buku petunjuk praktis seperti 101 Tips Meningkatkan Gairah Seks. Dengan contoh-contoh tersebut, Ade memaksudkan bahwa pornografi tidak tunggal karena ada media umum yang mengandung muatan pornografis seperti acara yang memuat goyang Britney atau novel Saman, tetapi juga ada media pornografi seperti VCD Bandung Lautan Api yang berisi adegan seks. Dengan argumentasi-argumentasi tersebut, Ade berpendapat sebaiknya pornografi tidak dilarang, tetapi diatur/diregulasi. Pertimbangannya, tidak semua pornografi dianggap berbahaya, terdapat perbedaan budaya antardaerah/komunitas, tidak semua pihak menganggap "pornografi" haram, berubahnya cara pandang tentang kesakralan seks, dan "seks di media" memiliki nilai ekonomi dalam arti ada yang dengan suka rela mau berpose dan ada yang memang ingin membeli materi tersebut. Karena itu, menurut Ade, ada pornografi yang dilarang sama sekali dan ada pornografi yang harus diregulasi, diatur distribusinya sehingga tidak bisa diperoleh anak-anak dan remaja, tidak mengganggu publik yang "mengharamkannya". Pornografi yang dilarang misalnya telanjang, yang memperlihatkan alat kelamin, pantat, payudara dan atau puting; seks dengan kekerasan; seks menyimpang misalnya inses dan seks dengan anak; adegan persenggamaan; seks yang merendahkan martabat manusia; dan masturbasi. Di Amerika Serikat, pornografi juga dilarang ketika memasuki wilayah cabul (obscene), yaitu antara lain yang mendegradasi perempuan, tidak mengandung nilai artistik, hubungan seks yang dianggap menjijikkan oleh masyarakat/komunitas. Di luar yang dilarang, maka muatan pornografis diatur distribusinya. Misalnya, hanya melalui televisi kabel; disajikan di televisi umum dalam jam tayang tertentu; hanya tampil di media cetak khusus dewasa, toko buku khusus, pojok khusus, dan hanya boleh diakses orang dewasa; dan seterusnya. Regulasi bisa dilakukan misalnya dengan kewajiban mengeblok situs pornografi di internet, menerapkan usia penonton bioskop, dan penyelenggara pameran seni rupa mensyaratkan batas usia pengunjung dan melarang perekaman gambar dalam ruang pameran. " Dalam masyarakat yang demokratis, mari kita lalu bertanya kepada rakyat apakah akan kita terima gagasan itu atau tidak," kata Ade. Yang harus dicantumkan Menurut pemerhati masalah sosial Sjarifah, isu pornografi bukan semata-mata isu moral, tetapi juga isu jender. Untuk para feminis, yang menjadi masalah bukan adegan hubungan seksualnya, tetapi pesan- pesan ideologis di dalam adegan-adegan itu yang mendominasi dan menyubordinasi perempuan. Hal ini juga disampaikan kepala Pusat Kajian Wanita dan Gender dan dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr Sulistyowati Irianto. Dia mencontohkan, gerakan menentang diundangkannya RUU APP dituding sebagai setuju terhadap pornografi dan anti-agama. Tudingan ini merupakan sarana ampuh untuk melumpuhkan gerakan sebab masyarakat Indonesia yang umumnya terbatas akses dan pengetahuannya mengenai hukum akan mudah termakan tudingan tersebut. Karena itu, di dalam konsideran RUU seharusnya dengan tegas pernyataan menolak pornografi karena pornografi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan anak-anak dan perempuan. Rumusan penting yang juga harus ada dalam konsideran adalah mempertahankan kebangsaan Indonesia yang dibangun atas dasar keberagaman karena bersatu dalam keberagaman adalah alasan mengapa kita bersatu sebagai bangsa. Sulistyowati mengutip pendapat almarhum sosiolog Prof Harsya Bachtiar yang pernah mengingatkan, selain terdapat nasion besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga terdapat nasion-nasion kecil yang tua, berdasarkan kesukubangsaan, yang selama ini terabaikan.
Kompas - 25 Maret 2006 Link: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0603/25/swara/2537775.htm --------------------------------- New Yahoo! Messenger with Voice. Call regular phones from your PC and save big. [Non-text portions of this message have been removed] Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/