BAB 1: PENGETAHUAN TENTANG TUHAN
(Imam Al Ghazali dalam "Kimia Kebahagiaan")

Sebuah hadits Nabi (SAW) yang terkenal berbunyi "Dia
yang mengenal dirinya, mengenal Allah." Artinya,
dengan merenungkan wujud dan sifat-sifatnya, manusia
sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi
karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak
juga menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada
cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut.
Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada
pengetahuan ini. Salah satu di antaranya sedemikian
musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan kecerdasan
biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.

Metode yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang
manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa
sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam
al-Qur'an: "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia
bukan apa-apa?" Selanjutnya ia ketahui bahwa ia
terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung
intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan
sebagainya. Dari sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun
tingkat kesempurnaannya, ia tidak menciptakan dirinya
dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut
sekalipun.

Jika seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana
beragam keinginannya akan makanan, penginapan dan lain
sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan dari
gudang penciptaan, ia pun menjadi sadar bahwa rahmat
Allah adalah sebesar kekuasaan dan kebijakan-Nya,
sebagaimaan Ia sendiri berkata: "Rahmat-Ku lebih luas
dari kutukan-Ku."  Dan lewat karunia yang berlimpah
untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia mengetahui
kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang
diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.

Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu
pantulan sifat-sifat Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan
jiwa manusia pun menghasilkan suatu wawasan tentang
bentuk kemaujudan Allah. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak
terbatasi oleh ruang dan waktu, serta berada di luar
pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas.
Demikian pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna
atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan dengan
keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk membentuk
suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa
kualitas, jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan
yang sama terkaitkan pula dengan konsepsi tentang
perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit,
senang atau cinta. Semuanya itu adalah konsep-konsep
pikiran dan tidak bisa dimengerti oleh indera,
sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya adalah
konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa
mengenali warna, tidak pula mata bisa mengenali suara;
dalam ketidakmampuan kita membayangkan hakikat-hakikat
puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati diri kita
berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep
indera tidak bisa ambil bagian. Meskipun demikian,
sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur
jagat dan Ia - yang berada di luar ruang dan waktu,
kuantitas dan kualitas - mengatur apa-apa yang
sedemikian terkondisikan. Begitu pulalah ruh mengatur
jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri
tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak
tertempatkan di suatu bagian khusus mana pun. Karena,
bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi
tertempatkan di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi.
Dari semuanya ini bisa kita lihat betapa benarnya
hadits Nabi (SAW): "Allah menciptakan manusia di dalam
kemiripan dengan diri-Nya sendiri."

Dan setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan
tentang esensi dari sifat-sifat Allah lewat perenungan
akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan bisa kita
pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian
kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan
dan sebagainya, yaitu dengan jalan mengamati bagaimana
masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya
sendiri. Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang
manusia ingin menulis nama Allah. Pertama sekali
keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian
dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata "Allah"
tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian
berjalan sepanjang saluran syaraf dan menggerakkan
jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena.
Dengan demikian nama "Allah" terguratkan di atas
kertas tepat sebagaimana dibayangkan di dalam otak
penulisnya. Demikian pula, jika Allah menghendaki
sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran
ruhaniah yang di dalam al-Qur'an disebut sebagai
"Singgasana" (al-'arsy). Dari singgasana itu ia
berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu
dataran yang lebih rendah yang disebut kursi
(al-kursiy), kemudian bentuknya tampil dalam al-lauh
'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan kekuatan-kekuatan
yang disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan
tampil di atas bumi dalam bentuk tetanaman, pepohonan
dan hewan-hewan, sebagai pencerminan keinginan dan
pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis
mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan
bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.

Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali
seorang raja. Karena itu Tuhan telah menjadikan
masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang raja
dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan
tiruan dari kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara
tidak terbatas. Di dalam kerajaan manusia, singgasana
Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril) oleh
hati, kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh
ruang-gudang pikiran. Jiwa - yang ia sendiri tak
tertempatkan dan tak terbagi-bagi - mengatur jasad
sebagaimana Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada
kita diamanatkan suatu kerajaan kecil, dan kita
diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.

Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah
memelihara, ada banyak tingkatan pengetahuan. Ahli
fisika biasa, seperti seekor semut yang merangkak di
atas selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam
yang tersebar di atasnya, akan menunjukkan "sebab"
hanya kepada pena saja. Seorang astronom, seperti
seekor semut dengan pandangan agak lebih luas, bisa
melihat jari-jari yang menggerakkan pena. Maksudnya,
ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di bawah
kekuasaan malaikat-malaikat. Jadi, sehubungan dengan
berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan mesti
timbul dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang
yang matanya tidak pernah melihat ke balik
dunia-gejala, adalah seperti orang-orang yang salah
menempatkan hamba-hamba dari tingkatan yang paling
rendah ke tingkatan raja. Hukum-hukum tentang gejala
mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada sains dan
sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba
sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.

Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para
pengamat ini masih ada, perdebatan memang mesti perlu
berlanjut. Bagaikan beberapa orang buta yang mendengar
bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas
pergi menyelidikinya. Pengetahuan yang bisa mereka
peroleh hanyalah lewat indera perasaan, sehingga
ketika seorang memegang kaki sang binatang, yang satu
lagi memegang gadingnya dan yang lain telinganya, dan,
sesuai dengan persepsi mereka masing-masing, mereka
menyatakannya sebagai suatu batangan, suatu tabung
yang tebal dan suatu lapisan kapas, masing-masing
mengambil sebagian untuk menyatakan keseluruhannya.
Jadi, sang ahli fisika dan astronomi mengacaukan
hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang Penetap
hukum-hukum. Kesalahan yang sama dilemparkan kepada
Ibrahim di dalam al-Qur'an yang meriwayatkan bahwa ia
berturut-turut berpaling kepada bintang-bintahg, bulan
dan matahari sebagai obyek-obyek penyembahan, sampai
kemudian menjadi sadar tentang Dia yang membuat segala
sesuatu, Ibrahim pun berseru: "Saya tidak menyukai
segala sesuatu yang terbenam." (QS 6:76).

Kita memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang
pengacuan kepada sebab-sebab kedua apa-apa yang
seharusnya diacu kepada Sebab Pertama, yaitu dalam
persoalan apa yang disebut sebagai penyakit. Misalnya
jika seseorang kehilangan rasa tertariknya pada urusan
duniawi, memiliki rasa benci terhadap
kesenangan-kesenangan umum, dan tampak tenggelam dalam
depresi, dokter akan berkata: "Ini adalah kasus
melankoli yang membutuhkan resep ini dan itu." Seorang
ahli fisika akan berkata: "Ini adalah persoalan
kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan
tidak bisa disembuhkan sampai udara menjadi lembab
kembali." Sang ahli astrologi akan mengaitkan hal ini
dengan konjungsi atau oposisi tertentu planet-planet.
"Sejauh jangkauan kebijakan mereka," kata al-Qur'an.
Tidak terbayangkan oleh mereka bahwa yang sesungguhnya
terjadi adalah seperti demikian: bahwa Yang Maha Kuasa
berkehendak mengurus kesejahteraan orang itu, dan oleh
karenanya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya, yakni
planet-planet atau unsur-unsur, agar menciptakan
keadaan seperti itu di dalam diri orang tersebut,
sehingga ia bisa berpaling dari dunia ke arah
Penciptanya. Pengetahuan tentang kenyataan ini
merupakan suatu mutiara yang berkilauan dari lautan
pengetahuan keilhaman, yang dibandingkan dengannya,
semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan
pulau-pulau di tengah laut.
...
Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak
sempurna seperti itu - sebagaimana yang bisa kita
peroleh - bukanlah sekadar suatu pengetahuan
spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan
penyerahan dan ibadah. Jika seseorang meninggal dunia,
dia berurusan hanya dengan Allah saja. Dan jika kita
harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita sama
sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita
rasakan kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan
cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh
ibadah. Ibadan dan zikir yang terus-menerus seperti
itu mengisyaratkan suatu tingkat tertentu dari
keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah. Hal
ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk
sama sekali memusnahkan nafsu-nafsu badaniah itu,
karena jika demikian halnya, maka ras manusia akan
musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti
dikenakan pada usaha pemuasannya. Dan karena manusia
bukan hakim yang terbaik dalam kasusnya sendiri, maka
untuk menetapkan batasan-batasan apa yang harus
dikenakan itu sebaiknya ia konsultasikan masalah
tersebut kepada pembimbing-pembimbing ruhaniah.
Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti itu adalah para
nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar
wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti
ditaati dalam persoalan-persoalan ini. Orang yang
melanggar batas-batas ini berarti "telah menganiaya
dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di dalam
al-Qur'an. Meskipun pernyataan al-Qur'an ini telah
jelas, masih ada juga orang-orang yang, karena
kejahilannya tentang Allah, melanggar batas-batas
tersebut. Kejahilan ini bisa disebabkan karena
berbagai sebab.

Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat
pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak
ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini
menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian.
Mereka bagaikan seseorang yang melihat suatu huruf
yang tertulis dengan indah kemudian menduga bahwa
tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada
penulisnya, atau memang sudah selalu ada. Orang-orang
dengan cara berpikir seamcam ini sudah terlalu jauh
tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan sedikit
sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu mirip
seorang ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di
atas.

Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang
sifat jiwa yang sebenarnya, menolak doktrin kehidupan
akhrat, tempat manusia akan diminta
pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau
dihukum. Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai
tidak lebih baik daripada hewan-hewan atau
sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.

Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada
Allah dan kehidupan akhirat, tapi hanya dengan iman
yang lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri.
"Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita;
kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama
sekali tidak penting bagi Dia." Mereka berpikir
seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi
peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata: "Yah,
saya ikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter
itu." Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa
terhadap dokter tersebut, tetapi pasien itu bisa
merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya.
Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati
berakhir dengan kematian jasad, begitu pula penyakit
jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir dengan
kepedihan di masa datang. Sesuai dengan kata-kata
al-Qur'an: "Orang-orang yang akan diselamatkan
hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang
bersih."

Keempat, adalah orang-orang kafir yang berkata:
"Syariah mengajarkan kepada kita untuk menahan amarah,
nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak mungkin
dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan
kualitas-kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya.
Sama saja dengan kamu meminta agar kami jelmakan yang
hitam menjadi putih." Orang-orang jahil itu sama
sekali buta akan kenyataan bawha syariah tidak
mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini,
melainkan untuk meletakkan mereka di dalam
batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar dari
dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas
dosa-dosa kita yang lebih kecil. Bahkan, Nabi saw.
berkata: "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan
marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam al-Qur'an
tertulis: "Allah mencintai orang-orang yang menahan
amarahnya," bukan orang-orang yang tidak punya marah
sama sekali.

Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan
kemurahan Allah seraya mengabaikan keadilan-Nya,
kemudian berkata kepada dirinya sendiri: "Ya, apa pun
yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf." Mereka tidak
berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf,
beribu-ribu manusia hancur secara menyedihkan karena
kelaparan dan penyakit. Mereka mengetahui bahwa siapa
saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran
atau kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan
Maha Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri dengan
keras. Meskipun al-Qur'an berkata: "Semua makhluk
hidup rizkinya datang dari Allah," di sana tertulis
pula: "Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali
dengan berusaha." Kenyataannya adalah: ajaran semacam
itu berasal dari setan, dan orang-orang seperti itu
hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.

Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah
mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga dosa
tidak dapat lagi mempengaruhi mereka. Meski demikian,
jika anda perlakukan salah seorang di antara mereka
dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap
anda selama bertahun-tahun. Dan jika salah seorang di
antara mereka tidak mendapatkan sebutir makanan yang
dia pikir merupakan haknya, seluruh dunia akan tampak
gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara
mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya,
mereka tidak punya hak untuk membuat klaim semacam
itu, mengingat para nabi - jenis manusia yang
tertinggi - terus-menerus mengakui dan meratapi
dosa-dosa mereka. Beberapa di antara mereka mempunyai
dosa yang sedemikian besar, sehingga mereka bahkan
menjauhkan diri dari hal-hal yang halal. Pernah
diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari ketika
sebutir koma dibawa kepadanya, beliau tidak mau
memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa korma
tersebut diperoleh secara halal. Sementara orang-orang
yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter
anggur dan mengklaim (saya menggigil pada saat menulis
ini) sebagai lebih unggul dari Nabi yang kesuciannya
diancam oleh sebutir kurma, sementara mereka tidak
terpengaruh oleh anggur sebanyak itu. Patutlah jika
setan membenamkan mereka ke dalam kehancuran total.
Orang-orang suci sejati mengetahui bahwa orang yang
tidak bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak pantas
disebut sebagai seorang manusia. Dan bahwa seorang
muslim sejati adalah orang yang dengan senang hati mau
mengakui batas-batas yang ditetapkan oleh syariah.
Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk
mengabaikan kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada
dalam pengaruh setan dan harus diajak berbicara tidak
dengan sebatang pena, tapi dengan sebilah pedang. Para
penganut mistik palsu semacam ini kadang-kadang
berpura-pura telah tenggelam di dalam lautan
ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya kepada mereka
tentang apa yang mereka takjubkan, mereka tidak tahu.
Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi
pada saat yang sama agar mengingat bahwa Yang Maha
Kuasa adalah penciptanya, dan bahwa mereka adalah
abdi-abdi-Nya.

wassalam,



        
                
__________________________________ 
Yahoo! Mail - PC Magazine Editors' Choice 2005 
http://mail.yahoo.com


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Click here to rescue a little child from a life of poverty.
http://us.click.yahoo.com/rAWabB/gYnLAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke