Menikah
adalah peristiwa paling membahagiakan. Yang dialami Adinda Bakrie
mungkin agak lain. Hari ini, dia akan merasakan kebahagiaan di tengah
hujatan.

Adinda adalah
keponakan Menko Kesra Aburizal Bakrie. Wanita yang sangat cantik ini
melangsungkan pernikahannya dengan Seng-Hoo Ong nanti malam, di Hotel
Mulia, Jakarta. Biaya pernikahannya dikabarkan mencapai Rp30 miliar
miliar rupiah. 


Biaya selangit itu
dibutuhkan untuk jasa florist dan event designer terkenal dunia,
Preston Bailey. Konglomerat dunia, Donald Trump dan Oprah Winfrey
pernah memakai jasa Bailey saat menyelenggarakan sebuah pesta. Konon,
untuk belanja bunganya saja mencapai satu miliar rupiah. Gaun
pengantinnya rancangan Vera Wang senilai dua miliar rupiah. Bahkan
mahkota yang nanti dikenakan Adinda berharga tiga miliar rupiah.
Mahkota berlian itu hadiah khusus dari ayahnya, Indra Bakrie. Pengisi
acara pernikahan ini adalah musisi kelas dunia, Sting dan grup vokal
Il Divo. Selain acara di Jakarta yang mengundang lebih dari 3000
orang, Adinda juga punya rencana lain. Untuk teman-teman akrabnya,
dia mengadakan acara khusus di Bali. 


Indra Bakrie adalah
pemegang saham di PT Lapindo Brantas Inc. Saat ini, sumurnya di
Porong Sidoarjo, terus memuntahkan lumpur. Sudah lebih dua tahun tak
kunjung berhenti. Ribuan korban masih menderita dan telantar. Memang
sudah ada yang diberi ganti rugi. Tapi yang menderita dan hidup di
pengungsian masih banyak.
Di
tengah derita korban yang tak berkesudahan, pernikahan super mewah
ini jadi bahan gosip berkepanjangan. Puluhan milis lokal dan
internasional ramai membicarakan.






Berikut
tulisan dari milis sebelah tentang pernikahan tersebut. Ditulis oleh 
Iwan Piliang

======




Selasa, 28 Juli
2008

Lagu Kelayung-layung dan Pesta Adinda


DUA
dahan menjulurkan lembaran daun jati di kegelapan malam pukul 23.15
di area seperempat lapangan bola kaki di Dusun Pedukuhan Ngawuh,
Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. Sebutir bintang di ufuk awang-awang
bersinar terang. Sabtu malam, 26 Juli 2009 itu, kelompok Band BQ,
yang mengiringi penyanyi Bugiakso - - akrab di sapa Bugie - -
melantunkan Kelayung-layung, tajuk lagu menyejuk hati. 



Ana tangis kelayung-layung/
Tangise wong kang wedi mati/gedhongana kuncenana/yen wis mati mangsa
wurunga/ditumpakke kereta Jawa/rodane roda manungsa/ditutupi
ambyang-ambyang/ disirami banyune kembang/Duh Gusti Allah/kula nyuwun
pangapura/ning sayange wis ora ana guna. 

Kendati berlirik
Jawa, sekali mendengarkan, membuat Anda gampang mendendang. Musiknya
lagu rohani berbahasa Jawa ini beda. Bit lagu Kelayung-layung, pop,
ditingkahi string. Ada pula sentuhan kecil irama rock. 

Barisan
kanak-kanak berjejer di depan panggung. Mereka akrab dengan seluruh
lirik lagu. Panggung berlatar poster besar tindasan large format
printer, bergambar cover album musik ini: Bugie, pria 45 tahun
berkumis lebat, mengangkat bocah lelaki, tangannya menunjuk kaligrafi
Allah. Sosoknya berjubah dengan blangkon macam songkok Jenderal
Sudirman. Dua layar lebar di kiri dan kanan panggung memancarkan
video klip melalui sorotan dua Infocus. 

Di sebuah dusun,
pagelaran malam itu, tak kalah macam pementasan musik di Jakarta dan
kota besar lain. Kendati penonton wong ndeso, konser dikemas
terhormat, modern. 

Lirik lagu bertutur ihwal bila ajal
menjemput. Menyanyikan seutuhnya, maka premis: kendati di rumah
beranjang emas sekalipun, bila Gusti Allah berkehendak mencabut,
nyawa berpisah sah melibas jasad. Seketika! 

Album rohani ini
sudah dirilis menjelang Ramadan 2007 lalu. “Namun rekamannya di
Jogya masih sederhana, “ ujar Bugie. Maka pada awal 2008 oleh Bugie
dan crew Band BQ, direkam secara profesional di Musica Studio,
Jakarta. Garapan musik diolah lebih matang. Lantas hingga Juli 2008,
CD dan kaset album rohani coro jowo itu, ludes terjual 30 ribu kopi -
- 10 ribu di antaranya, mara merambah Republik Suriname, Amerika
Selatan - - perbatasan Guyana dan Brazil, yang dihuni lebih dari 80
ribu orang asal Jawa. 

Di malam yang dingin itu, saf
bertikar-tikar pandan merumput. Warga seakan diwadahi duduk bersila.
Mereka emoh beranjak. Di depannya ada dus putih berisi aqua, snack
kacang, bolu dan lemper. 

Delapan lagu dipentaskan. Nyanyian
pertama berjudul Salam. Di antara liriknya: ora pareng
fitnah-fitnahan/ ora pareng gontok-gontokan/ ora pareng
musuh-musuhan/ umat Islam kudune bisa dadi teladan. 

Lagu
kedua Musrik, berlanjut Puasa, Mampir Ngombe, Rumangsa Dosa. Barulah
Kelayung-layung, keenam yang dipagelarkan. Selanjutnya, Subuh,
ditutup dengan Al-Ihklas, zikir bernada pop. 

Waktu dua puluh
menit menjelang pukul 24.00. Udara dingin malam, mengantar penduduk
beranjak pulang. Beberapa anak muda, tampak berfoto dengan Bugie, dan
crew band; Tri Waluyo, Bonar, Tomo, Doni dan Acong. Pembawa acara di
ujung malam itu mengumumkan: “Jika Bapak-Ibu berminat mengundang
kami tampil di acara-acara desa, silakan hubungi, gratis, band, sound
system, semuanya, dengan senang hati kami hadir sukarela, tanpa biaya
apapun.” 

Bulu di tangan dan leher saya merinding. Bugie
juga membagikan kantongan plastik kresek berisi minyak goreng, gula,
mie instant, kepada penduduk. 

Menghibahkan nyanyian dan
musik, mendermakan makanan, lantas dari mana biaya pementasan ini?


“Ketika lagu Kelayung-layung saya ciptakan secara spontan,
hanya dalam tempo lima menit di saat musibah gempa di Jogya, maka
saya berniat bila albumnya laku, seluruh penjualan kaset dan CD saya
dermakan,” tutur Bugie. Dan nyatanya kaset dan CD musik ini memang
payu (laku). 

TIGA bis yang membawa rombongan Band BQ pulang
dari Dusun Ngawuh di tengah malam masih dipimpin foreder polisi.
Melewati jalan raya Wonosari, dari atas ketinggian, tampak
kerlap-kerlip lampu kota Jogyakarta menghampar bagaikan menyaksikan
Jakarta dari ketinggian pesawat yang hendak landing di malam hari.
Gemerlap. 

Di bis pertama, Bugie di kanan saya. Tatapan saya
terus ke bawah. Melihat kerlap-kerlipa lampu, benak saya terusik akan
berita di koran-koran, termasuk di Kedaulatan Rakyat di Sabtu itu di
Jogya, yang memberitakan pesta mewah Adinda Bakrie, puteri Indra
Usmansyah Bakrie, di Grand Ball Room Hotel Mulia, Jumat malam, 25
Juli 2008, di Jakarta. 

Adinda Bakrie, dipersunting oleh Seng
Hoo Ong, konon anak orang terkaya kedua di Singapura. Ketika pernah
mewawancarai Indra, ayah Adinda, pada 1988 untuk majalah SWA, di
kantornya, saya melihat ruangan dominan hijau. “Hijau itu warna
dolar, jadi biar gigih cari dolar,” katanya kala itu. 

Menurut
berita yang tersebar di milis-milis di internet pesta tersebut
berbiaya lebih dari Rp 30 miliar. Lalu Mara, rekan kuliah saya di
IISIP, Jakarta, yang kini jadi Staf Ahli Menko Kesra, juga juru
bicara Kelompok Usaha Bakrie, membantah belanja pesta sebesar itu.


Saya mencoba menghitung-hitung, pagelaran Kelayung-kelayung
yang menghibur warga desa, plus membagi sembako ke sebagian besar
warga, pastilah tak menghabiskan dana 0,1% dari Rp 30 miliar. 

Pesta
Adinda dan pagelaran Kelayung-layung membawa kebahagiaan. Di pesta
Adinda petinggi dan penggede negeri ini datang tumpah ruah. Di
televisi saya melihat, parade berbusana dan berpenampilan mewah. Para
menteri kabinet SBY dengan hidung "naik" dan wajah penuh
senyum, macam penampilan Jero Wacik, yang saya simak di televisi,
tentulah tidak datang menaiki mobil Daihatsu Ceria - - mobil yang
kiranya "paling" waras untuk dikendarai di tengah Jakarta
yang padat, misalnya. 

Di pementasan Kelayung-layung, jauh
dari aroma pejabat berpenampilan wah. 

Kepada saya, Bugie,
pria yang mempersunting cucu kandung Panglima Besar Jenderal Sudirman
itu, mengutipkan kalimat Almarhum Sang Jenderal, “Rakyat tidak
boleh menderita, biarkanlah kita pemimpin yang menderita.” 

Dukuh
Ngawuh adalah desa yang pernah dilalui Almarhum Sudirman ketika
bergerilya melawan penjajah Belanda. Dari alam kubur, Panglima Besar
Sudirman, yang wafat di usia 34 tahun itu, kini dapat menyimak
laku-lakon pemimpin Indonesia. Sang Jenderal boleh berbangga hati, di
tengah kehidupan ekonomi rakyat kebanyakan kini yang kian susah, cucu
keturunannya, dalam sebatas mampu “menghibur” sesama. 

SIANG,
Kamis, 24 Juli 2008 di Restoran Peacock, Hotel Sultan Jakarta. Bugie
baru saja mendarat dari Jogyakarta. Ia mentraktir saya makan siang.
Saya mengorder nasi goreng kampung. Kala itulah Bugie menceritakan
soal kasetnya Kelayung-layung yang cukup laris. 

Ia mengajak
menyaksikan pementasannya di dusun Ngawuh itu. “Nanti usai
menghadiri upacara 17 Agustus 2008 di Istana Negara, saya langsung
terbang ke Semarang, melakukan pementasan di penjara wanita.”


Aksi berkonser di penjara itu, bukanlah yang pertama ia
lakukan. Melalui mencari kliping di internet, Koran Tempo, Selasa, 08
Januari 2008, L.N. Idayanie, pernah menulis artikel berjudul Konser
di Pulau Napi, sebagaimana di bawah ini: 

Pagi itu, hari kedua
memasuki 2008, matahari tampak malu-malu memancarkan sinarnya. Tempo
bersama rombongan musik penyejuk hati Bugie, menunggu datangnya feri
penyeberangan di Pelabuhan Laut Tanjung Intan, Cilacap, yang hendak
membawa kami ke Pelabuhan Sodong, Nusakambangan. 

Jarak
keduanya sesungguhnya tidak bergitu jauh, kira-kira hanya 10 menit
waktu tempuh yang diperlukan. Namun, untuk memasuki pulau itu, tentu
tak sembarang orang bisa masuk, karena harus mengantongi izin dari
Departemen Hukum dan HAM dulu. 

Gerimis mengiringi
penyeberangan kami, menuju pulau pidana. Begitu sampai di tengah
selat, dari kapal feri kecil itu tampak aktifitas penambangan untuk
bahan baku semen. 

Sesampainya di Pelabuhan Sodong, kami
disambut gerbang bertuliskan : Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.
Dari situ kami menuju Lembaga Pemasyarakatan Kelas I, Lapas Batu.
Jalan selebar empat meter terasa sempit bila dilewati bus besar.
Aspalnya pun sudah tidak begitu mulus, di kiri kanan jalan hanya ada
pepohonan liar yang begitu lebat. 

Pulau seluas 121 Kilometer
persegi ini, dikenal dengan pohon pawlar-nya, sejenis jati putih
tetapi hanya ada di Nusakambangan. Pepohonan yang menjulang tinggi
itu, terbalut semak-semak menjalar. Ada pula pohon kayu laban,
mahoni, karet dan beberapa jenis pohon besar lain. “Di sini masih
ada macan dan banyak ular,” ujar seorang pegawai Lapas yang
bertugas di Pos Jaga Sodong. 

Sebelum sampai Lapas Batu, kami
melewati sederet rumah. Selain digunakan untuk pegawai, perumahan ini
juga digunakan tinggal para Napi yang sedang menjalani proses
asimilasi. Rumah-rumah mungil bercat coklat itu tampak masih gersang,
belum banyak ditumbuhi pepohonan. Maklum, rumah-rumah itu baru
selesai dibangun beberapa bulan lalu. 

Setelah menempuh jarak
tujuh kilometer dari Sodong, sampailah kami di rumah para terpidana,
di Batu. Di sinilah konser musik penyejuk hati Bugie Grup digelar. Di
tengah keringnya hati para narapidana kelas berat dan teroris, Bugie
ingin memberi penghiburan, lewat lagu-lagu rohani Islami berbahasa
Jawa, yang sarat pitutur dan menyejukkan hati. 

Di Lapas ini,
ada 169 orang nara pidana, tetapi karena tempat ini sedang
direnovasi, maka 50 orang napi dititipkan ke Lapas Kembang Kuning dan
Lapas Batu. Dari jumlah itu, 26 orang di antaranya napi dengan
hukuman seumur hidup, dan 11 napi dengan hukuman mati. 

Mereka
ditempatkan dalam dua kategori sel, yakni kamar hunian warga binaan
yang setiap kamar berisi sekitar 15 orang, dan sel khusus yang kini
diisi 7 orang napi. Mereka adalah: Amrozi, Imam Samudra, Muchlas,
Subur, dan seorang teman terorisnya yang tertangkap di Semarang. Dua
lainnya, otak pembunuhan dan pelarian Gunawan Santosa, serta napi
pindahan dari Riau. 

Ya, siang itu, aroma suka cita menggema
di tengah rumah penjara. Meski demikian, tak semua penguni asrama
prodeo itu tampak bergembira. Guratan-guratan duka tetap menggantung
di pelupuk mata mereka. Juga, wajah-wajah dingin dan keras, pun tak
mereka tinggalkan. 

Semua boleh menyaksikan dan menikmati
hiburan musik penyejuk hati Bugie & Grup dari Yogya, tak
terkecuali penghuni sel khusus. Tapi, mereka tak mau keluar. Demikian
kata Djaja Tjahjana, Pelaksana Harian Lapas Kelas I Batu. “Ketika
kami menawarkan ke Amrozi, dia menjawab singkat: Musik itu haram!,”
tutur Djaja. Soal rencana eksekusi tiga terpidana itu, Djaja
mengatakan belum tahu pasti, karena semua itu tergantung pusat.


Menurut Djaja, keseharian Amrozi dan kawan-kawan baik. “Cuma
susah diajak ngomong,” kata Djaja. Cerita lain datang dari beberapa
napi dan petugas jaga di Lapas itu. Susanto, seorang petugas
mengatakan, sesungguhnya mereka itu pintar. Imam Samodra misalnya,
suatu hari pernah menunjukkan kepandaiannya. Dia memegang Al-Qur’an,
lalu mengucapkan rapal. Tahu-tahu, dari kitab suci itu keluar air.
“Konon, air itu bisa dipakai sebagai obat,” katanya. 

Cerita
lain datang dari petugas Lapas, Edi Warsono. Menurut dia, sekawanan
teroris yang kini mendekam di sel khusus itu kerjaannya salat. Mereka
jarang sekali bergaul dengan sesama napi. Untuk mempermudah
pengawasan, mereka memang sengaja ditempatkan di sel khusus yang
letaknya di bagian depan, berseberangan dengan napi-napi lain.


Pentas musik itu, dilaksanakan di lapangan terbuka, di tengah
arena penjara. Dari sel tempat Amrozi dan kawan-kawan, jaraknya hanya
sekitar tujuh meter. “Semoga mereka bisa mendengar syair-syair
Islami yang menyejukkan ini,” kata Edi. 

Ya, memang, Bugie &
Grup sengaja membawakan lagu-lagu rohani untuk memberikan setetes
kedamaian bagi para nara pidana. Siang itu, Bugiakso, sang vokalis,
membawakan enam lagu, dari album perdananya, Kelayung-layung.
Lagu-lagu bertema kepasrahan pada Tuhan yang dirilis Ramadhan 2007
lalu, di antaranya: Kelayung-layung, Mampir Ngombe, Illahi, Musrik,
Al-Ikhlas, dan Subuh. 

Bugiakso yang selama ini telah banyak
malang melintang di dunia politik dan terakhir menekuni bisnis ini
mencipta lagu-lagunya sendiri. Dia sengaja mengambil bahasa Jawa,
karena ingin membangkitkan kembali budi pekerti yang kini telah
luntur. Menurut Bugie, lewat bahasa Jawa, makna yang diangkat bisa
lebih pas. "Bahasa Jawa memiliki falsafah yang dalam. Ada kata
yang tidak bisa diwakili dengan bahasa Indonesia,” tuturnya.


Mengapa Bugie memilih konser di Nusakambangan? Karena
menurutnya, para napi di pulau itu hatinya kering. Bugie berharap,
musik yang dia lantunkan bisa menjadi jembatan untuk bertobat. Dan
bila ada yang diperkenankan Tuhan untuk diambil (dieksekusi) biar
mereka lebih siap. 

Terhadap pertunjukan itu, Imam, seorang
Napi asal Semarang yang tersangkut kasus pembunuhan ini mengaku
sangat senang. Meski dalam waktu dekat dia sudah akan keluar, dia
mengaku tetap butuh hiburan. “Ini lebih menguatkan saya untuk
menghadapi kehidupan di luar sana,” katanya. 

Dalam
kesempatan itu, Bugiakso menerima penghargaan dari Museum Record
Indonesia, sebagai Konser Musik Rohani Berbahasa Jawa Pertama di
Lapas Nusakambangan. “Ini merupakan catatan record ke 2.962,”
tutur Paulus dari MURI. 

Dari sederet kawasan Lapas yang ada,
kini tinggal lima Lapas yang beroperasi, Lapas Batu, Lapas Besi,
Lapas Kembang kuning, Lapas Permisan dan Lapas Super Maximum Security
yang kini berisi 261 orang napi khusus Narkotika. Napi narkotika
lainnya berada di Lapas Kelas II A Besi. Dan Lapas Kembang kuning
khusus untuk napi kriminal. 

Lapas yang tak lagi beroperasi di
antaranya: Lapas Karang Tengah, Gliger, Limur Buntu, Nirbaya, dan
Karang Anyar. 

Dari Lapas Batu, rombongan musik melanjutkan
perjalanan ke Lapas Besi yang dihuni lebih 331 orang napi narkoba. Di
Lapas ini, mereka menggelar konser yang sama. 

KETIKA tiba
kembali ke rumah di Jakarta, isteri saya bertanya, seperti apa
pagelaran musik Kelayung-layung? Saya bercerita sebagaimana di atas.


Saya bertanya balik, mengapa hanya karena menulis di
presstalk.info yang tidak berhonor, mengantar saya bertemu dengan
orang-orang yang berbuat macam Bugie? Pertanyaan saya belum berjawab.


Berita dan gossip di milis-milis internet di Jakarta masih
padat ihwal pesta meriah Adinda Bakrie di Jakarta. Ada yang menyebut
laku pesta mewah itu memilukan hati korban Lumpur Lapindo, Sidoarjo,
Jawa Timur, yang kini masih dominan kelayung-layung - -
terombang-ambing, menyayat-nyayat perih. Sikap empati terhadap korban
lumpur, rakyat kebanyakan, seakan menjauh pergi. 

Iwan
Piliang, sketsa di presstalk.info 




      
___________________________________________________________________________
Nama baru untuk Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke