SANGGAR BUMI TARUNG: HALAMAN YANG HILANG

                

                        By                       beritaseni on 
                         June 18th, 2008
                                        


                

                        


Oleh : Bambang Subarnas   




Sanggar
Bumi Tarung [SBT], didirikan oleh beberapa perupa muda di Yogyakarta
pada tahun 1961 ditengah situsasi sosial politik Indonesia yang tengah
bergelora.  Mereka itu adalah  
Amrus Natalsya, Misbach Tamrin,Ng Sembiring, Isa Hasanda, Kuslan
Budiman, Djoko Pekik, Sutopo, Adrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suharjiyo
Pujanadi, Harmani, Haryatno dll.  

 
Suhu politik yang mulai menunjukkan tanda tanda pertentangan setelah PEMILU I 
[1955,   semakin meningkat pada sekitar tahun 1960-an. 
 
Peningaktan
suhu politik di Idonesia pada saat itu tidak terlepas dari pertentangan
di tingkat dunia antara blok Barat dan Blok Timur paska Perang Dunia
II. Pertentangan ini berpengaruh pada haluan politik di Indonesia,
mejadi politik yang berhaluan kanan dan kiri. 
 
Untuk
mengantisipasi perpecahan di kalangan rakyat presiden Bung Karno waktu
itu mencanangkan Manifesto Politik [MANIPOL] yang dikukuhkan menjadi
GBHN melalui TAP MPRS No I/MPRS/1960. Pokok pokok MANIPOL meliputi:
Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Disingkat USDEK.
 
Situasi politik di tingkat nasional itu,  
berpengaruh terhadap aktifitas sanggar sanggar seni rupa di Yogyakarta,
karena aktifitas partai partai politik menyentuh sampai ke seniman
melalui lembaga lembaga kebudayan yang bernaung dibawah partai politik.
Beberapa lembaga kebudayaan itu diantaranya, Lembaga Kebudayaan Rakyat
[LEKRA] dari PKI, Lembaga Kebudayan Nasional [LKN] dibawah PNI, Lembaga
Kebudayan Kristen Indonesia [LEKRINDO] dan lain lain.
 
Diantara
lembaga lembaga kebudayan tersebut, LEKRA termasuk salah satu lembaga
kebudayaan yang aktif untuk melakukan pendidikan politik dikalangan
seniman.
 
Mendengar nama Bumi Tarung - yang secara  
harfiah dapat diartikan sebagai dunia perlagaan – terkesan bahwa
sanggar ini dijiwai oleh sebuah semangat yang penuh gelora perjuangan.   
Kesan ini ternyata tidak terlalu meleset, terutama setelah membaca buku
yang ditulis oleh salah satu ekaponen SBT, Misbach Tamrin [67 th]
berjudul "Amrus Natalsya dan Bumi Tarung" [Amnat Studio, Jakarta,
2008]. 
 
Buku yang diluncurkan bersama Pameran Sanggar Bumi Tarung II di Galeri Nasional 
 ini,
menjadi sumber primer tentang keberadan SBT, dan melengkapi catatan
sejarah perjalanan seni rupa Indonesia. Buku ini tidak hanya
membicarakan kesenimanan Amrus Natalsya dan keberadaan SBT, tetapi juga
memberikan gambaran   setting sosial dan politik serta pengaruhnya terhadap 
perkembangan seni rupa di Yogyakarta pada dekade 1960-an.
 
Dalam
buku berjudul "Sejarah Seni Rupa Indonesia" yang ditulis Kusnadi dkk,
[DEPDIKBUD 1976-1977], latar sosial politik perkembangan seni rupa
dekade 1960-an   tidak tergambarkan. Buku yang
menjadi rujukan perkuliahan Sejarah Seni rupa Indonesia itu,
perkembangan seni rupa dekade 1960-an membahas berdirinya beberapa
sanggar, seperti Sanggar Pelukis Rakyat, Seniman IndonesiaMudan [SIM],
Sanggar Bambu dll. dalam sub judul Masa Pendirian Sanggar.   
 
Hal ini terasa janggal dan menyisakan tanda tanya, mengapa dunia seni rupa pada 
 dekade 1960 seperti tidak terpengaruh oleh dinamika sosial politik yang tengah 
bergelora itu? 
 
Siapapun yang mengetahui situasi politik pada  
decade 1960 akan merasakan kejanggalan tersebut. Mungkinkah dunia seni
rupa tidak terpengaruh? Seolah terdapat bagian yang hilang  dari
lembaran buku sejarah tersebut. Saya yakin para penulis buku tersebut
bukannya tidak mengetahui hal ini, karena mereka menjalani situasi
perkembangan seni rupa pada masa itu.   
 
Ya,
tentu kita mafhum, buku yang diterbitkan pada masa pemerintahan Orde
Baru tersebut, `tidak memungkinkan’ untuk mengungkap fakta fakta
sejarah yang dianggap `sensitif’ dan dapat menggoyahkan kekuasaan Orde
Baru.
 
Peristiwa
G30 S/PKI, seperti yang sudah diketahui bersama, hingga saat ini masih
menjadi isu yang sensitive bagi bangsa Indonesia.  
Usaha untuk mengungkap kebenaran sejarah disekitar peristiwa tersebut-
bahkan untuk kepentingan keilmuan sekalipun - masih dihantui   oleh 
kekhawatiran bahkan ketakutan akan resikonya.  
Pameran SBT II, yang disertai dengan peluncuran buku ini, tak bisa
dipungkiri masih dihantui oleh kekhawatiran tersebut. Oleh karena itu,
SBT yang secara tegas menyatakan diri berada di garis ideologi sosialis
dan  berafiliasi
dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat [LEKRA], tak pernah terungkap dalam
sejarah seni rupa Indonesia. Nasib SBT sama persis dengan nasib para
anggota PKI yang dihukum dan dihilangkan tanpa proses pengadilan.
 
Pameran
karya karya SBT II setalah pameran pertamanya pada tahun 1962, seperti
kembalinya si orang hilang kepada sebuah keluarga yang sudah berganti
generasi. Ia menyimpan sejumlah kisah dan kaitan peristiwa penting
dalam dunia seni rupa – hususnya di Yogyakarta pada masa itu. Keinginan
untuk menghadirkan karya karya pada masa aktifnya dulu, tidak mungkin
bisa terpenuhi, karena karya karya pada masa itu banyak dirusak atau
hilang entah dimana.
 
Para anggota SBT  
yang pada masanya berjumlah sekitar 30 orang, selepas menjalani masa
tahanan (antara 5 – 10 tahun), tidak secara serta merta mudah untuk
melanjutkan aktifitas keseni rupaanya. Sebagian masih meneruskan
berkaryadengan penuh kehati hatian, sebagian lagi bergulat dengan
kesulitan dan stigma yang dibuat oleh Orde Baru. Dilihat dari sisi
kekaryaan, terdapat masa jeda yang cukup panjang antara pamerannya yang
pertama dengan yang kedua ini. 
 
Berakhirnya
pemeritahan Orde Baru, bagaimanapun juga, telah mendorong keberanian
para anggota SBT untuk tampil menunjukkan keberadaannya.
 
Pameran
SBT II diikuti oleh anggotanya yang tersisa, yaitu: Amrus Natalsya,
Djoko Pekik, Misbach Tamrin, Isa Hasanda, Adrianus Gumelar, Hardjia
Pudjanadi, Sudiyono SP,   Sabri Djamal, Dj. M. Gultom, Muryono, dan Sudjatmoko.
 
Berikut ini wawancara dengan arsitek pendirian  
sekaligus ketua SBT, Amrus Natalsya, dan Misbach Tamrin dengan tambahan
keterangan dari penulis. Wawancara dengan kedua eksponen SBT ini
dianggap merepresentasikan seniman seniman SBT.
 
Pembentukan Sanggar Bumi Tarung 
Terbentuknya SBT  
(1961) didahului oleh diskudi diskusi sekelompok perupa muda yang
tengah menempuh pendidikan senirupa di ASRI [Akademi Seni Rupa]
Yogyakarta. Seperti yang dituliskan Misbach Tamrin dalam bukunya, pada
waktu itu [1959] perkuliahan diASRI terbagi dalam 2 tempat yaitu di
Gampingan dan di Bintaran dengan waktu perkuliahan yang berbeda.
Mahasiswa ASRI yang di Gampingan, melaksanakan perkulahan pada pagi
hari, sehingga sering disebut ASRI Pagi.
 
Sementara itu ASRI yang di Bintaran, melaksanakan perkuliahannya di sore hari, 
dan sering disebut ASRI Sore.   Mahasiswa ASRI Sore ini menerima mahasiswa ’
luar biasa’, karena penerimaanya berdasarkan bakat, namun tidak
mendapatkan ijazah. Pada tahun itu mahasiswa luar biasa di ASRI
Bintaran, jumlahnya makin sedikit. Mereka itu diantaranya adalah Amrus
Natalsya, Arby Samah, Soenarto Pr. [Tamrin, hal. 58]. Namun mahasiswa
Asri Sore ini, aktifitasnya cukup menonjol, dan sering terlibat diskusi
dengan ASRI Pagi. Topik diskusi bukan  hanya
berkisar pada maslah keseni-rupaan, tetapi juga menyangkut berbagai
kehidupan masyarakat dan isu isu politik yang tengah menghangat.
 
Peningkatan
suhu politik itu berkaitan dengan situasi politik dalam negeri yang
secara umum dipengaruhi oleh ideologi dunia pasca perang dunia II.
Seperti dikatahui, pertentangan ideologi pada waktu itu, seolah membagi
dunia menjadi dua blok, yaitu blok Barat dan Blok Timur. Blok  Barat
mengusung ideologi Kapitalis, dan Blok Timur mengusung ideologi
Sosialis. Indonesia yang baru beberapa tahun membebaskan diri dari
penjajahan, masih sangat kental dijiwai oleh semangat   Revolusi Agustus 1945.
 
Bambang Subarnas [BS] :
Bisa diceriterakan bagaimana awal mula Sanggar Bumi Tarung dibentuk?
 
Amrus Natalsya [AS]:
Waktu
itu (1960) Narto Pr sudah mendirikan sangar bambu. Saya acuh saja.
Waktu itu sanggar-sanggar punya kegiatan melukis untuk [pesanan]
presiden Soekarno untuk [ditempatkan] HI [Hotel Indonesia].
[Seniman-seniman] Banyak duit. 
 
[Oleh karena itu] Saya pikir kita perlu bikin  sanggar.
[Pendirian] Sanggar dapat bantuan dari teman teman yg dapat order.
[Setelah sanggar terbentuk] Waktu itu sering diskusi. Bagaimana nama
sangar, namanya Sanggar Bumi Tarung. Waktu itu teman dekat saya Pekik
[Djoko Pekik] mau [bergabung],Kuslan [Kuslan Budiman], Tamrin [Misbach
Tamrin] mau [bergabung. Perekrutan keangotaan itu] secara berproses,
karena tidak semua mengerti tentang LEKRA. Saya jelaskan, dan akhirnya
mau. 
 
Sanggar
Bumi Tarung didirikan karena sudah memenuhi syarat: teori kesenian
sudah ada seperti Mukadimah LEKRS, seni untuk rakyat, politik sebagai
panglima dan lain-lain. Hal ini yang membuat SBT selalu diskusi dengan
mendatangkan pembicara-pembicara dari luar sanggar seperti penyair,
dosen dan tokoh-tokoh lain.
 
Penggagas
dan penamaan Sanggar Bumi Tarung adalah Amrus Natalsya. Kedudukan SBT
diantara sanggar sanggar lainnya pada waktu itu, cukup terpandang.
Kelebihan SBT, selain melakukan kegiatan berkarya, juga kegiatan
kegiatan diskusi secara berkala. Amrus, selain berkarya juga  gemar
berdiskusi. Seperti yang dituliskan JJ. Kusni, diskusi dalam pandangan
Amrus diperlukan untuk memerkuat kekaryaan seniman. Amrus menyebutnya
sebagai "patner kreatif" atau "sparing partner", yaitu partner dalam
berkreasi yang berani mengkritik karyanya tanpa tedeng  aling aling. Dengan 
demikian, seniman dengan partnernya dapat meningkatkan taraf kekaryaan yang 
setinggi tingginya. 
[http://www.freelists.org/archives/nasional_list/11-2005/msg00262.html ]
 
BS: Mengapa SBT berafiliasi dg Lekra?
 
AN:
Karena LEKRA secara teori sudah lengkap. Untuk melaksanakan itu perlu
suatu sanggar, bukan perorangan. [Yang dimaksud kelengkapan teori
adalah bahwa LEKRA telah memiliki  konsep dan arah yang jelas dalam melakukan 
pengembangan kebudayaan, yaitu seperti yang tertuliskan dalam Mukadimah LEKRA 
1959]
 
BS: Bagaimana anda meyakinkan kawan kawan yang lain untuk bergabung dengan SBT?
 
AN:
Saya sodorkan pertanyaan, bagaimana pendapatnya sebagai warga negara
mengenai kehidupan rakyat? Ini penting karena Sanggar Bumi Tarung akan
berpihak kepada rakyat. Kemudian jika setuju, dilanjutkan dengan
diskusi tentang rakyat, setelah itu dititik beratkan pada kaum tani dan
buruh. Sederhana sekali.. Waktu itu situasi revolusi dalam tahap
perjuangan mendukung revolusi. Dan semuanya setuju, bahwa kita mengabdi
pada rakyat.  Metodanya jelas, yaitu seni untuk rakyat, politik panglima, 
tinggi artistic ideology, turba dan sebagainya.
 
BS: Bagaimana awal mula perkenalan dengan ajaran partai?
 
AN: Saya semula anti komunis. Tapi waktu itu saya mengikuti diskusi dengan 
Wikana
[1959-an] di Sanggar Pelukis Rakyat yang dipimpin Hendra Gunawan.. dan
saya kira pikirannya tentang revolusi bisa saya terima. [Penerimaan
terhadap pemikiran tersebut] melalui diskusi dan baca  buku.
Kemudian diarahkan ke kursus politik. Sekolah politik. Sekolah ini
untuk pelukis yang bicara politik. Lain lagi kalo untuk kader. Tapi ini
menggerakkan senirupa agar   orang tau politik. 
 
[Partai
partai politik di Yogyakarta pada tahun 1960-an kerap mengadakan kursus
kursus politik, baik untuk umum maupun mahasiswa. Tujuannya untuk
merekrut anggota].  Dulu
di SBT ada tertulisan "Seni adalah alat untuk memenangkan revolusi",
artinya seni hanya sebagai alat saja, karena tujuannya adalah untuk
memenangkan revolusi, yaitu masyarakat adil dan makmur. 
 
Kemerdekaan
yang kita nikmati ini kan hasil dari sebuah revolusi. Untuk mencapainya
ada pengorbanan. Jika pada jaman kemerdekaan ini susah, sebetulnya yang
salah bukan kemerdekaan, tapi orangnya harus kerja. Pelukis, satrawan,
militer, semuanya harus kerja.
 
 
[Markas
SBT, berada di sudut jalan di persimpangan dekat gedung ASRI, menempati
bekas tobong pembakaran bau gamping milik mbah Rono, induk semang
Amrus. Setelah dirombak tempat itu dijadikan sanggar tempat para
angotanya melakukan akifitas seni rupa dan diskusi]
 
BS: Dari mana buku buku tersebut diperoleh?
 
AN:
Buku buku teori itu didapat dari sekolah partai, semacam kursus
politik, agar melek politi. Yang ngajar orang orang partai. Anggota SBT
`disekolahkan’ untuk tahu marxisme, sehinga tahu tentang sejarah
perkembangan masyarakat dan lain-lain [disekolahkan maksudnya bentuk
kursus politik yang dilakukan oleh partai. Biasanya dilakukan sore hari
dalam bentuk diskusi, dengan waktu yang tidak terjadwal]. Kita sebagai
seniman,bukan menekankan pada aktifitas politiknya, tetapi pandangan
politik yang harus keluar dalam lukisan. Misal, petani perlu tanah.
Sebetulnya secara politis itu benar, tapi [kepemilikan tanah oleh
petani] dalam kenyataanya tidak segampang itu. Padahal aturanya sudah
ada, orang boleh mempunyai tanah untuk digarap 2 Ha, tapi nyatanya ada
orang memiliki tanah puluhan hektar tanpa jelas apakah dia sebagai
pengusaha, pabrikan, atau tuan tanah. … nggak jelas. Tapi dia [para
tuan tanah itu] punya duit [sehinga] bisa beli [tanah] puluhan hektar.
Secara UU [UU Agraria, hal tersebut] bertentangan, tapi kenyataannya
ada. Dalam hal ini bagaimana sikap seorang pelukis menghadapi hal
tersebut. Sebab ini kan menyangkut hajat hidup kaum tani. Siapa yang
harus melindungi?  Negara.
Siapa Negara yang pegang Negara? Orang partai. Artinya yang bertanggung
jawab sebenarnya orang partai. Oleh karena itu seniman harus tahu
politik.
 
Inilah yang kita coba waktu itu [1961], tapi   baru beberapa tahun SBT bercerai 
berai [karena peristiwa G30S/PKI tahun 1965]
 
BS: Bumi Tarung. Secara harfiah dapat diartikan sebagai dunia perlagaan. Apakah 
memiliki filosofi tertentu?
 
AN: Bumi dalam arti fisik dan dan dalam arti fikiran. Begini: bumi sejak jaman  
Adam pada dasarnya bertarung, [yaitu pertarungan] antara yang baik dan
buruk dll. Hingga sekarang pertarungan itu terus berlangsung hingga
hari ini. Tinggal siapa yang menang.. Hidup ini sebenarnya pertarungan.
Sanggar Indonesia Muda, Sanggar Pelukis Rakyat, Sangar  bamboo   dll, itu tidak 
jelas. Sanggar Bumi Tarung   jelas. Yaitu berpihak. Bertarung itu berpihak, tak 
mungkin tidak.  Kepada siapa? Kepada rakyat. 
 
Rakyat ini bagian dari rakyat dunia. Pada waktu itu [1961] rakyat sedang 
bertarung.yaitu antara neo kolonialisme dengan  kekuatan sosialis, atau old 
deforce dengan  
nefocre. Neforce adalah kekuatan sosialis, nasional yg progresif, dan
rakyat yg anti penindasan. Olddefos adalah kapitalis yg menjajah.
Rakyat Indonesia waktu itu paling banyak warga buruh dan tani. Inilah
yang menjadi dasar garapan Sanggar Bumi Tarung, yaitu menggambarkan
perjuangan peranan buruh dan tani. Jadi kita menitik beratkan
perjuangan buruh dan tani.   Hal ini karena   ada 2 : seni lukis kerakyatan, 
yaitu mengambarkan  
kehidupan rakyat,spt mencangkul disawah, ngangon kerbau. Itu biasa…
karena semua [pelukis] menggambarkan hal tsb. Kita tidak mengambarkan
rakyat apa adanya, tetapi mengambarkan rakyat yang bangkit berjuang.
 
BS:      Bagaimana hubungan antara SBT dg sanggar lainnya pada waktu itu?
 
AN:
Berbeda dg sanggar lain, anggota SBT otomatis menjadi anggota LEKRA.
Titik berat program SBT adalah melaksanakan prinsip 1-5-1. Berbeda
dengan sangar-sangar lain seperti Sanggar Pelukis Rakyat dll. Secara
teoritis mereka itu stratus ideologinya tak jelas.  
Mereka berkumpul dalam sanggar tapi dengan ideologi beragam seperti Ali
Basyah dari LKN [Lembaga Kebudayaan Nasional, dari Partai Nasional
Indonesia], Rustamaji cenderung ke Islam dan kebatinan. 
 
Dasar Estetika SBT 
 
BS: Sementara ini beberapa literatur menyebut karya seni dari faham sosialis 
sebagai realisme sosialis. Bagaimana dengan SBT?
 
AN: SBT   tidak mengikuti realisme sosialis, tapi   realisme revolusioner. 
Karena waktu itu [1961] Indonesia  
dalam tahap revolusi seperti ganyang ke Malaysia, perebutan Irian Barat
dll sehinga SBT bertumpu kesitu. Sangar lain tidak ada [yang seperti
itu].
 
BS: Apa bedanya realisme sosialis dengan realisme revolusioner?
 
AN:
Realisme revolusioner, kita berfikir tentang revolusi. Tujuan revolusi
apa? Ya kesejahteraan rakyat. Tapi kalau hal itu tidak tercapai,
berarti revolusi belum selesai. Contoh, kalau ada antri
minyak
[sekarang ini], berarti revolusi belum selesai. Jadi kalau masih ada
kaum tani yg melawan haknya atau tanahnya diambil, berarti revolusi
belum selesai. Karena itu revolusi… revolusioner. Jadi revolusi itu
tidak musti menggambarkan bedil dan berdarah- darah. Gambar antri
minyak pun bisa termasuk seni lukis revolusioner. Tinggal bagaimana
otaknya si pelukis. Sebab ada pelukis yg punya teori 1-5-1, ada yg
tidak. Walaupun gambarnya sama, antri minyak, tapi akan beda pelukis
1-5-1 dengan yang tidak. Pasti beda muatannya. Tergambarkan dalam
rangka apa, tujuannya kemana…
 
Sangar
Pelukis Rakyat, Hendra, waktu itu temanya kerakyatan, seperti ibu
gendong anak, bawa pisang, alamnya indah dst. [Walaupun temanya
kerakyatan] tapi tidak tergambarkan adanya pertentangan. Kalo di SBT
jelas, seperti peristiwa jengkol itu.
 
 
Didalam berkarya, SBT menerapkan metoda yang mereka sebut sebagai Teori 1-5-1, 
yaitu:
 
1.
Politik sebagai Panglima : seniman dalam berkarya harus memahami
politik. Bukan untuk melakukan politik praktis seperti politikus,
tatapi agar karya karya dijiwai oleh semangat membangun masyarakat yang
adil dan makmur seperti yang dicita citakan sosialisme.
 
2.
Meluas dan meninggi. Meluas memiliki pengertian nila nilai dasar
[intrinsic] mutu artistic dari karya seni, dientukan oleh seberapa jauh
dan luas daya gugah dari hasil persenyawaannya dengan mutu ideologi
terhadap apresiasi massa.
 
3.
Memadukan 2 tinggi, yakni tinggi mutu ideology dan tinggi mutu
artistic. Pencapaian mutu artistic oleh seniman dilakukan dengan
penguasan ketrampilan teknis, yang dipadukan dengan penghayatan
terhadap obyek. Sementara itu, agar karya karya dapat menggugah
kesadaran, maka seniman harus meningkatkan mutu ideologinya. Mutu
ideologi disini dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengenali dan
menganalisa perkembangan masyarakat berdasarkan sosialisme.
 
4.
Memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner. Istilah
realisme sosialis dipahami sebagai gaya relisme dengan ideologi
sosialisme. Realisme sosialis ini diterapkan pada karya karya seni
(khusunya satra di Rusia dan RRC). Istilah ini pertama kali dicetuskan
tahun 1934, melalui ucapan Andrei Zidanov dihadapan Kongres I Satrawan
Rusia:
 
"
Dalam pada itu pada kenyataan watak historik yang kongkrit dari lukisan
artistic mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan
pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode kerja
sastra dan kritik satra ini kita namakan metoda ralisme  sosialis".
[Bakri Siregar, artikel "Realisme Sosialis, Mata Terbuka, Hati Lapang,
Arah, 1958, dalam Pramudya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra
Indonesia, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003, hal 28.]
 
Seniman
seniman LEKRA di Indonesia, tidak sepenuhnya menerima faham ini.
Seperti yang dikemukakan oleh Pramudya Ananta Toer realisme sosialis di
Indonesia adalah realisme sosialis yang sudah disesuaikan dengan budaya
lokal. Pram menyebutnya sebaga realisme revolusoner.  Seniman
melalui karyanya harus mampu mengubah realitas, bahkan menciptakan
kebaruan, memberi pola baru, sesuai dengan arah yang dipilih untuk
memenangkan sosialisme. 
 
Hal
yang sama berlaku pada seniman perupa SBT. Misbach Tamrin dalam bukunya
"Amrus dan SBT", menuliskan SBT menolak disebut sebagi pengikut
realisme sosialis, karena "kami tidak mengekor atau berkiblat secara
teoritis ke Moskow atau Beijing. Kami menganut teori  sendiri, yaitu teori 
1-5-1 sebagai pedoman kerja berkreasi." [M. Tamrin, hal. 89].
 
Romantisme
Revolusioner, bertolak dari pemikiran bahwa cita cita masyarakat
sosialis, masih belum terwujud dan masih harus diperjuangkan, SBT
berpendapat bahwa karya seni masyarakat kita masih belum bisa
mencerminkan masyarakat sosilis. Oleh karena itu karya seni harus mempu
penggambaran perjuangan untuk mencapai cita tersebut.
 
Hal
ini dicontohakan pada karya Amrusy `peristiwa jengkol’ [1960] yang
menggambarkan peristiwa bentrokan berdarah antara pengusaha tebu yang
dibantu militer dengan kaum tani di Djengkol (Tawa Timur).   Yang terpaksa 
melawan karena diambil haknya atas tanah yang telah dijamin oleh Undang Undang 
Pokok Agraria.
 
5
.Memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner: Tidak seluruh
kebudayaan masa lalu dalam sejarah Indonesia itu buruk atau baik.
Seniman didalam berkarya secara cerdas dapat mengambil nilai nilai
ataupun bentuk dari tradisi local, tetapi harus dikreasikan sesuai
dengan tuntutan masa kini untuk menuju masyaakat sosialis.
 
6
.Turun ke bawah [TURBA]. Turun ke bawah, yaitu ke masyarakat kelas
bawah yang tertindas (kaum buruh dan petani), agar seniman lebih
mengenali persoalan masyarakat.Dengan demikian seniman memiliki concern
terhadap cita cita sosialisme.
 
Teori
1-5-1 ini merupakan hasil rumusan Sanggar Bumi Tarung, penyesuaian
pandangan realisme sosialis terhadap kondisi lokal, digunakan sebagai
metoda didalam berkarya. Inilah dasar estetika karya karya SBT.
 
BS: SBT   percaya bahwa kesenian harus memiliki daya ubah. Bagaimana 
penjelasannya?
 
AN:
Bagi kami, yang penting mengubah pikiran dan pandangan orang,
setidaknya sugesti. Sekali waktu nanti orang akan menangkap isi yang
kita gambarkan itu. Jadi antara politikus dengan pelukis itu derajatnya
sama, hanya caranya berbeda. Nah ini ingin saya katakan: Sudjoyono itu
bilang lukisan itu jiwa ketok. Tapi saya   kira sekarang itu gak bisa, [bukan 
jiwanya yang  Ketok],
tapi pikirannya atau otaknya yang harus ketok. Kalau hanya jiwa,
tergantung individunya [maksudnya individual], tapi kalo otak, kita
bisa tahu.   Apakah dia warga dunia atau warga kampung. Orang yang berpiki 
dunia akan terlihat bagaimana sikap hidupnya terhadap dunia.
 
SBT Menjelang Peristiwa G30S/PKI dan Sesudahnya  
 
BS:      Bagaimana aktifitas SBT menjelang 1965?
AN:
Usianya SBT baru 3 tahun, terjadi peristiwa 65. Sebenarnya lukisan
lukisan waktu itu sudah banyak. Cuma waktu itu dikumpulkan oleh pelukis
Wen Teor di Jakarta. Waktu itu [tahun 63], belum ada galeri. Dia [Wen
Teor] orang Tionghoa, banyak kontak dengan orang-orang Tionghoa, supaya
dikumpulkan dan kita dapat duit, untuk kegiatan sanggar. Sekarang ngga
tahu dimana. 
 
Dulu
alamatnya di Jl. L. Idrus [Jakarta], deket rumah adiknya. Disitu ada
paviliunnya. Tapi sekarang tidak tahu dimana, sudah berubah. Dia tak
beristri, kaya Ho Chi Minh [Maksudnya jika dia sekarang sudah
meninggal, semakin sulit untuk menelusuri karya karya SBT yang
dikoleksi Wen Teor]
 
BS: Bagaimana SBT setelah 1965?
AN: Dengan pengalaman yang masih sedikit kemudian anggot SBT kita dipenjar. Di 
penjara pengalaman kita makin banyak karena  
kami sering berdiskusi dan bertukar fikiran. Setelah keluar, kemampuan
seseorang diuji, yang secara politik bertentangan dengan pandangan
politik  kita. Jaman
orde baru misalya, kami kan tidak mungkin mengatakan: "..yg betul
adalah politik yg kami anut". Nanti ditangkap lagi.
 
Perkembangan
dan perjalanan waktu, [menjadi] proses [bagi] tiap orang SBT bisa
survive, disamping tiarap. Waktu jaman Orba kita itu tiarap. Secara
politik kita tahu bahwa ini tidak benar.
 
BS:      Komentar anda dengan peristiwa reformasi ?
AN: Setelah reformasi kemarin [1998], kita  
melihat kembali lagi ke Bumi Tarung. Apakah misi Bumi Tarung sudah
terlaksana, yaitu masyarakat adil makmur seperti yang dikehendaki oleh
revolusi 17 Agustus.[Ternyata] malah perbedaan makin tajam. Jaman Bung
Karno dulu banyak gelandangan tapi tidak sehebat sekarang. Jadi untuk
apa kemerdekaan itu? Untuk apa revolusi itu? Biarkan saja di dijajah
kalo ekonominya lebih baik. Tapi kan gak mungkin penjajahan akan
melahirkan perbaikan ekonomi. 
 
Tapi
kenyataannya? Setelah kemerdekaan, ekonomi untuk rakyat kecil lebih
jelek.Kekayaan bukan untuk yang pat gulipat kaya raya itu. Jadi
sebetulnya para pelukis ini, apalagi sekarang tidak ada partai
[maksudnya Partai Komunis], tidak ada LEKRA. Jadi bagi pelukis pelukis
Bumi Tarung [melihat keadaan sekarang] tergantung moral si pelukis,
pada moral individu Bumi Tarung-nya, untuk meneruskan membela rakyat
ini. Artinya, mengambarkan penderitaan kaum buruh dan tani. Jadi karena
moral, bukan karena politik. Dan ini termasuk semacam ideologi.
Ideologi itu tidak ada uang, tidak ada bentuk, sesuatu yang kita yakini
benar, [Oleh karena itu] kapanpun akan hadir dalam tindakan kita. Kini
kita tinggal beberapa orang saja, bisa menggambar begini hanya karena
moral saja.   Dulu punya sikap, sekarang apakah sikap itu masih? .
 
Misbach Tamrin(MT):
Peristiwa
reformasi yg merobohkan orba, sesungguhnya tidak berdiri sendiri.
[maksudnya merupakan sebuah bagian dari keniscayaan revolusi]. Walaupun
orba menutup ajaran revolusi Bung Karno dsb, tapi nyatanya kan nggak
bisa. Salah satu pendorong orang berontak adalah  karena
tidak adanya keadilan, baik secara material maupun berpikir. Akhirnya
kan dilindas juga oleh rakyat. Karena tujuan revolusi adalah masyarakat
adil makmur, [jika kemakmuran itu belum terwujud] maka revolusi belum
selesai. Itulah pandangan Bumi Tarung.
 
BS: Pameran SBT II ini berselang lebih dari 40 tahun dari Pameran SBT I dengan 
konteks jaman yang sudah berbeda. 
 
AN:
Kami ini seperti sedang berkejaran dengan waktu, sebab kami ini sudah
pada tua. Waktu yang tersisa ini, makin terbatas. Dengan usia kami,
pengalaman kaya, tapi waktu untuk memindahkan ke kanvas terbatas. Jadi
pilih mana yg paling tepat. Seperti sekarang masalah yang paling
tragis, pendidikan. Itu bagian dari revolusi. Untuk apa revolusi kalo
pendidikan mahal, hanya untuk orang kaya. Tapi coba bayangkan ini
bangsa yang merdeka kok bisa bilang "mamang biaya pendidikan mahal".
Ngomong gitu… Mustinya ngak boleh ngomong gitu. Ini kan negara sudah
merdeka. Kok ngomong gitu?
 
Karena
pendidikan harusnya untuk semua warga, bukan untuk orang kaya saja.
Padahal Negara ini kan kaya raya, katanya… Emang Negara ini Negara
siapa, kan Negara kita. Kekayaannya untuk kita. Nah yang bisa
menjelaskan gitu, politik. Pelukis itu harus bisa sampai menggambarkan
keberpihakan begitu. Kesitu.
 
BS: Setelah mengalami masa jeda, bagaimana BT menegakkan cita citanya?
MT:
Kita sudah memilih jalan hidup, dan kita punya tujuan yang baik, dan
ini harus tetap diperjuangkan, kita suarakan, kita kritisi. Berdirinya
SBT, karena ada suatu panggilan tanggung jawab karena ada misi yang
harus diselesaikan,yaitu seperti yang sering dikatakan Amrus sebelum
mendirikan SBT bahwa revolusi belum selesai. Setelah kemerdekaan dan
penyerahan kedaulatan dari pemerintahan kolonal, apa yang dicapai
hanyalah perginya pemerintahan kolonial. Tetapi, yang dilupakan adalah
dampak yang ditinggalkannya masih sedemikian rupa,  yaitu
feodalisme dan kolonialisme. Artinya, bangsa ini masih punya agenda
untuk menyelesaikan tugas kemerdekaan. Tugas itu bukan hanya menjadi
tangung jawab para fonding fathers, tetapi seluruh rakyat, termasuk
seniman. SBT concern terhadap keadaan ini. Oleh karena itu, pelukis
[seniman] tidak hanya bicara seni semata. Apa artinya seni kalu
masyarakat kita masih belum berubah. Tugas mendesak seniman adalah
turut serta ambil bagian untuk berjuang mengubah masyarakat sesuai cita
cita revolusi, yaitu masyarakat yang menikmati  kemerdekaan.
 
 
SBT dan   Seni Rupa Kontemporer 
 
BS: Bagaimana sikap Bumi Tarung terhadap perkembangan seni rupa sekarang?
AN:
Orang orang Bumi Tarung ini sekarang masih melukis. Saat melukis,
timbul aliran kontemporer yg merajalela di seluruh dunia, termasuk
Indonesia. Kontemporer di Indonesia baru belakangan ini. Begini…Bumi
Tarung kan jalan..[Kemudian] masuk kedalam samudera seni  rupa.
Samudera seni rupa ini, kan bergolak kontempporer. Nah, kalo tidak
masuk samudera kontemporer, berarti kita harus berada diluar.
[Maksudnya tidak terlibat dalam perkembangan seni rupa kontemporer].
 
Saya
berfikir begini: Kita [SBT] ini kan [menganut] realisme revolusioner,
artinya realisme yang menyanjung atau mau menyelesaikan tujuan
revolusi, yaitu masyarakat   adil makmur. Ini belum tercapai, [tapi] sudah 
masuk dlm samudra (kontemporer) ini. Kalo [diibaratkan  Perahu]
tadinya [SBT] pake dayung realisme. Sekarang tidak mungkin pake dayung
realisme, tapi pake dayung kontemporer. Tapi [walaupun begitu]
revolusionernya jangan hilang. Jadi, kita maju dengan dayung
kontemporer tetapi tetap   revolusioner. Kita akan coba: realisme  kontemporer
revolusioner. Jadi dari realisme revolusioner, menjadi realisme
kontemporer revolusioner. Jadi tetap satu rel. [ Inilah sik Ideologi
estetik SBT masih tetap konsisten keterkaitan antara kesenian dengan
masarakat dan sikap politik yang dianutnya].
 
BS:      Mengapa begitu?.
AN:
Orang seperti kami, [memiliki] pengalaman politik sebagai pelukis,
hanya tinggal beberapa orang saja. Sedangkan yg lain [maksudnya seniman
yang mengalami politik dalam tak ada. Jadi sayang kalau moral
revolusioner ini tak masuk kedalam areal yang sekarang [maksudnya
senirupa kontemporer].
 
Kita
sempat diskusi di Yogya. Ada 3 hal yg perlu dipikirkan kawan-kawan Bumi
Tarung. Realisme revolusioner sudah tahu, tapi kontemporer revolusioner?  
Ini jadi soal. Saya bilang ada 3 hal dalam kontemporer revolusioner:
pertama, menyederhanakan persolan [masa kini] yg begitu rumit jadi
sederhana. Untuk itu perlu intelektual, perlu intelegensi yg memadai.
Masalah dunia yg kompleks begini, bagaimana menyederhanakannya? Kedua,
harus kuat artistiknya. Gunakan  artistic
yang perlu saja, yang tidak perlu, tidak usah dipakai. Ketiga perlu
kedalaman. Seniman harus dalam rasa kemanusiaanya. Nah ini yang susah,
karena perlu pengalaman, dan pengalaman yang bagus adalah pengalaman
langsung, yang memperkaya batin kita. Dan untuk itu perlu umur.
 
Jadi kontemporer revolusioner yang saya bilang itu ada 3 hal :  
sederhana, kuat dan dalam kemanusiaanya. Nah kedalaman itu hanya bisa
dicapai dengan pengalaman dan umur yang panjang. Kalo [sekarang] kita
bicara tentang revolusi, memang dulunya kita ini revolusi
 
Waktu
ada pertemuan di Habibi Center [2007], sebagai pelukis saya bilang
bahwa kita harus kembali kepada revolusi. Jiwa revolusi. Kalo tidak,
nggak ada gunaya ini semua. Mau bikin undang- undang, pinjam duit
banyak, kalo kita tidak kembali ke semangat revolusi, sia- sia  semuanya.
Pengertian saya, revolusi itu sesuatu yang baik, yaitu setia kawan,
setia Negara, memikirkan orang lain… Itu tujuan revolusi. Kalo tidak,
dulu [waktu melawan penjajah] kita gak bisa menang,   kalo semua orang 
memikirkan dirinya sendiri.
 
 
BS: Untuk menggambarkan revolusi itu secara teknis caranya bagaimana?
 
AN:
Kita bisa bertolak dari 2 hal. Pertama dari mata (visual) dan dari
pikiran, misalnya fungsi gunung untuk mengatur air. Jadi waktu melihat
gunung yang gundul reaksinya beda kan. Pikiran itu macam-macam, apakah
pikiran revolusioner, realisme, atau kontemporer tok. Ini akan  berbeda.
Ia kemudian menunjukkan sebuah lukisan yang berjudul "Dunia Tanpa
Soekarno, Mao dan Naser" [2007]. Kita tidak bisa diam kalo melihat
dunia lain diporak porandakan Negara lain, sebab dalam UU kita setiap
bangsa dibawahkolong langit ini berhak merdeka. Jadi,   kalo kita sebagai 
seniman yang benar, penderitaan bangsa lain itu penderitaan kita juga. Kita ni 
bukan  dewa. Penderitaan bangsa Indonesia, sama dengan penderitaan bangsa lain 
kalo dijajah.
 
*** 
 
Menarik
untuk dicermati pada karya karya yang dibuat belakangan setelah
menjalani masa tahanan ini, karena berada dalam konteks perkembangan
yang jauh berbeda dengan Pameran SBT I (1962). Karya karya ini, bisa
menguji apakah masih mencerminkan garis edeologi estetik seperti pada
saat awal berdiri, ataukah sudah bergeser? Kalaupun keyakinan ideologi
estetik tersebut masih digunakan, bagaimanakah seniman seniman SBT ini
menerapkannya dalam konteks perkembangan masa kini.[] 
 
* Kurator, tinggal di Bandung
 
 
Sumber :
Tamrin, Misbach, Amrus Natalsya dan Bumi Tarung, Amnat Studio, Bogor, 2008.
Ismail, Yahya, Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan LEKRA di Indonesia, 
Percetakan Khe Meng, Kuala Lumpur, 1972. 
 
Toer, Pramoedya Ananta, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Lentera 
Dipantara, Jakarta, 2003.
http://www.freelists.org/archives/nasional_list/11-2005/msg00262.html
 
                
Sumber: http://beritaseni.com/?p=127

Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED]

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment 
....Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke