SANGGAR BUMI TARUNG: HALAMAN YANG HILANG By beritaseni on June 18th, 2008 Oleh : Bambang Subarnas Sanggar Bumi Tarung [SBT], didirikan oleh beberapa perupa muda di Yogyakarta pada tahun 1961 ditengah situsasi sosial politik Indonesia yang tengah bergelora. Mereka itu adalah Amrus Natalsya, Misbach Tamrin,Ng Sembiring, Isa Hasanda, Kuslan Budiman, Djoko Pekik, Sutopo, Adrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suharjiyo Pujanadi, Harmani, Haryatno dll. Suhu politik yang mulai menunjukkan tanda tanda pertentangan setelah PEMILU I [1955, semakin meningkat pada sekitar tahun 1960-an. Peningaktan suhu politik di Idonesia pada saat itu tidak terlepas dari pertentangan di tingkat dunia antara blok Barat dan Blok Timur paska Perang Dunia II. Pertentangan ini berpengaruh pada haluan politik di Indonesia, mejadi politik yang berhaluan kanan dan kiri. Untuk mengantisipasi perpecahan di kalangan rakyat presiden Bung Karno waktu itu mencanangkan Manifesto Politik [MANIPOL] yang dikukuhkan menjadi GBHN melalui TAP MPRS No I/MPRS/1960. Pokok pokok MANIPOL meliputi: Undang Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Disingkat USDEK. Situasi politik di tingkat nasional itu, berpengaruh terhadap aktifitas sanggar sanggar seni rupa di Yogyakarta, karena aktifitas partai partai politik menyentuh sampai ke seniman melalui lembaga lembaga kebudayan yang bernaung dibawah partai politik. Beberapa lembaga kebudayaan itu diantaranya, Lembaga Kebudayaan Rakyat [LEKRA] dari PKI, Lembaga Kebudayan Nasional [LKN] dibawah PNI, Lembaga Kebudayan Kristen Indonesia [LEKRINDO] dan lain lain. Diantara lembaga lembaga kebudayan tersebut, LEKRA termasuk salah satu lembaga kebudayaan yang aktif untuk melakukan pendidikan politik dikalangan seniman. Mendengar nama Bumi Tarung - yang secara harfiah dapat diartikan sebagai dunia perlagaan terkesan bahwa sanggar ini dijiwai oleh sebuah semangat yang penuh gelora perjuangan. Kesan ini ternyata tidak terlalu meleset, terutama setelah membaca buku yang ditulis oleh salah satu ekaponen SBT, Misbach Tamrin [67 th] berjudul "Amrus Natalsya dan Bumi Tarung" [Amnat Studio, Jakarta, 2008]. Buku yang diluncurkan bersama Pameran Sanggar Bumi Tarung II di Galeri Nasional ini, menjadi sumber primer tentang keberadan SBT, dan melengkapi catatan sejarah perjalanan seni rupa Indonesia. Buku ini tidak hanya membicarakan kesenimanan Amrus Natalsya dan keberadaan SBT, tetapi juga memberikan gambaran setting sosial dan politik serta pengaruhnya terhadap perkembangan seni rupa di Yogyakarta pada dekade 1960-an. Dalam buku berjudul "Sejarah Seni Rupa Indonesia" yang ditulis Kusnadi dkk, [DEPDIKBUD 1976-1977], latar sosial politik perkembangan seni rupa dekade 1960-an tidak tergambarkan. Buku yang menjadi rujukan perkuliahan Sejarah Seni rupa Indonesia itu, perkembangan seni rupa dekade 1960-an membahas berdirinya beberapa sanggar, seperti Sanggar Pelukis Rakyat, Seniman IndonesiaMudan [SIM], Sanggar Bambu dll. dalam sub judul Masa Pendirian Sanggar. Hal ini terasa janggal dan menyisakan tanda tanya, mengapa dunia seni rupa pada dekade 1960 seperti tidak terpengaruh oleh dinamika sosial politik yang tengah bergelora itu? Siapapun yang mengetahui situasi politik pada decade 1960 akan merasakan kejanggalan tersebut. Mungkinkah dunia seni rupa tidak terpengaruh? Seolah terdapat bagian yang hilang dari lembaran buku sejarah tersebut. Saya yakin para penulis buku tersebut bukannya tidak mengetahui hal ini, karena mereka menjalani situasi perkembangan seni rupa pada masa itu. Ya, tentu kita mafhum, buku yang diterbitkan pada masa pemerintahan Orde Baru tersebut, `tidak memungkinkan untuk mengungkap fakta fakta sejarah yang dianggap `sensitif dan dapat menggoyahkan kekuasaan Orde Baru. Peristiwa G30 S/PKI, seperti yang sudah diketahui bersama, hingga saat ini masih menjadi isu yang sensitive bagi bangsa Indonesia. Usaha untuk mengungkap kebenaran sejarah disekitar peristiwa tersebut- bahkan untuk kepentingan keilmuan sekalipun - masih dihantui oleh kekhawatiran bahkan ketakutan akan resikonya. Pameran SBT II, yang disertai dengan peluncuran buku ini, tak bisa dipungkiri masih dihantui oleh kekhawatiran tersebut. Oleh karena itu, SBT yang secara tegas menyatakan diri berada di garis ideologi sosialis dan berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat [LEKRA], tak pernah terungkap dalam sejarah seni rupa Indonesia. Nasib SBT sama persis dengan nasib para anggota PKI yang dihukum dan dihilangkan tanpa proses pengadilan. Pameran karya karya SBT II setalah pameran pertamanya pada tahun 1962, seperti kembalinya si orang hilang kepada sebuah keluarga yang sudah berganti generasi. Ia menyimpan sejumlah kisah dan kaitan peristiwa penting dalam dunia seni rupa hususnya di Yogyakarta pada masa itu. Keinginan untuk menghadirkan karya karya pada masa aktifnya dulu, tidak mungkin bisa terpenuhi, karena karya karya pada masa itu banyak dirusak atau hilang entah dimana. Para anggota SBT yang pada masanya berjumlah sekitar 30 orang, selepas menjalani masa tahanan (antara 5 10 tahun), tidak secara serta merta mudah untuk melanjutkan aktifitas keseni rupaanya. Sebagian masih meneruskan berkaryadengan penuh kehati hatian, sebagian lagi bergulat dengan kesulitan dan stigma yang dibuat oleh Orde Baru. Dilihat dari sisi kekaryaan, terdapat masa jeda yang cukup panjang antara pamerannya yang pertama dengan yang kedua ini. Berakhirnya pemeritahan Orde Baru, bagaimanapun juga, telah mendorong keberanian para anggota SBT untuk tampil menunjukkan keberadaannya. Pameran SBT II diikuti oleh anggotanya yang tersisa, yaitu: Amrus Natalsya, Djoko Pekik, Misbach Tamrin, Isa Hasanda, Adrianus Gumelar, Hardjia Pudjanadi, Sudiyono SP, Sabri Djamal, Dj. M. Gultom, Muryono, dan Sudjatmoko. Berikut ini wawancara dengan arsitek pendirian sekaligus ketua SBT, Amrus Natalsya, dan Misbach Tamrin dengan tambahan keterangan dari penulis. Wawancara dengan kedua eksponen SBT ini dianggap merepresentasikan seniman seniman SBT. Pembentukan Sanggar Bumi Tarung Terbentuknya SBT (1961) didahului oleh diskudi diskusi sekelompok perupa muda yang tengah menempuh pendidikan senirupa di ASRI [Akademi Seni Rupa] Yogyakarta. Seperti yang dituliskan Misbach Tamrin dalam bukunya, pada waktu itu [1959] perkuliahan diASRI terbagi dalam 2 tempat yaitu di Gampingan dan di Bintaran dengan waktu perkuliahan yang berbeda. Mahasiswa ASRI yang di Gampingan, melaksanakan perkulahan pada pagi hari, sehingga sering disebut ASRI Pagi. Sementara itu ASRI yang di Bintaran, melaksanakan perkuliahannya di sore hari, dan sering disebut ASRI Sore. Mahasiswa ASRI Sore ini menerima mahasiswa luar biasa, karena penerimaanya berdasarkan bakat, namun tidak mendapatkan ijazah. Pada tahun itu mahasiswa luar biasa di ASRI Bintaran, jumlahnya makin sedikit. Mereka itu diantaranya adalah Amrus Natalsya, Arby Samah, Soenarto Pr. [Tamrin, hal. 58]. Namun mahasiswa Asri Sore ini, aktifitasnya cukup menonjol, dan sering terlibat diskusi dengan ASRI Pagi. Topik diskusi bukan hanya berkisar pada maslah keseni-rupaan, tetapi juga menyangkut berbagai kehidupan masyarakat dan isu isu politik yang tengah menghangat. Peningkatan suhu politik itu berkaitan dengan situasi politik dalam negeri yang secara umum dipengaruhi oleh ideologi dunia pasca perang dunia II. Seperti dikatahui, pertentangan ideologi pada waktu itu, seolah membagi dunia menjadi dua blok, yaitu blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat mengusung ideologi Kapitalis, dan Blok Timur mengusung ideologi Sosialis. Indonesia yang baru beberapa tahun membebaskan diri dari penjajahan, masih sangat kental dijiwai oleh semangat Revolusi Agustus 1945. Bambang Subarnas [BS] : Bisa diceriterakan bagaimana awal mula Sanggar Bumi Tarung dibentuk? Amrus Natalsya [AS]: Waktu itu (1960) Narto Pr sudah mendirikan sangar bambu. Saya acuh saja. Waktu itu sanggar-sanggar punya kegiatan melukis untuk [pesanan] presiden Soekarno untuk [ditempatkan] HI [Hotel Indonesia]. [Seniman-seniman] Banyak duit. [Oleh karena itu] Saya pikir kita perlu bikin sanggar. [Pendirian] Sanggar dapat bantuan dari teman teman yg dapat order. [Setelah sanggar terbentuk] Waktu itu sering diskusi. Bagaimana nama sangar, namanya Sanggar Bumi Tarung. Waktu itu teman dekat saya Pekik [Djoko Pekik] mau [bergabung],Kuslan [Kuslan Budiman], Tamrin [Misbach Tamrin] mau [bergabung. Perekrutan keangotaan itu] secara berproses, karena tidak semua mengerti tentang LEKRA. Saya jelaskan, dan akhirnya mau. Sanggar Bumi Tarung didirikan karena sudah memenuhi syarat: teori kesenian sudah ada seperti Mukadimah LEKRS, seni untuk rakyat, politik sebagai panglima dan lain-lain. Hal ini yang membuat SBT selalu diskusi dengan mendatangkan pembicara-pembicara dari luar sanggar seperti penyair, dosen dan tokoh-tokoh lain. Penggagas dan penamaan Sanggar Bumi Tarung adalah Amrus Natalsya. Kedudukan SBT diantara sanggar sanggar lainnya pada waktu itu, cukup terpandang. Kelebihan SBT, selain melakukan kegiatan berkarya, juga kegiatan kegiatan diskusi secara berkala. Amrus, selain berkarya juga gemar berdiskusi. Seperti yang dituliskan JJ. Kusni, diskusi dalam pandangan Amrus diperlukan untuk memerkuat kekaryaan seniman. Amrus menyebutnya sebagai "patner kreatif" atau "sparing partner", yaitu partner dalam berkreasi yang berani mengkritik karyanya tanpa tedeng aling aling. Dengan demikian, seniman dengan partnernya dapat meningkatkan taraf kekaryaan yang setinggi tingginya. [http://www.freelists.org/archives/nasional_list/11-2005/msg00262.html ] BS: Mengapa SBT berafiliasi dg Lekra? AN: Karena LEKRA secara teori sudah lengkap. Untuk melaksanakan itu perlu suatu sanggar, bukan perorangan. [Yang dimaksud kelengkapan teori adalah bahwa LEKRA telah memiliki konsep dan arah yang jelas dalam melakukan pengembangan kebudayaan, yaitu seperti yang tertuliskan dalam Mukadimah LEKRA 1959] BS: Bagaimana anda meyakinkan kawan kawan yang lain untuk bergabung dengan SBT? AN: Saya sodorkan pertanyaan, bagaimana pendapatnya sebagai warga negara mengenai kehidupan rakyat? Ini penting karena Sanggar Bumi Tarung akan berpihak kepada rakyat. Kemudian jika setuju, dilanjutkan dengan diskusi tentang rakyat, setelah itu dititik beratkan pada kaum tani dan buruh. Sederhana sekali.. Waktu itu situasi revolusi dalam tahap perjuangan mendukung revolusi. Dan semuanya setuju, bahwa kita mengabdi pada rakyat. Metodanya jelas, yaitu seni untuk rakyat, politik panglima, tinggi artistic ideology, turba dan sebagainya. BS: Bagaimana awal mula perkenalan dengan ajaran partai? AN: Saya semula anti komunis. Tapi waktu itu saya mengikuti diskusi dengan Wikana [1959-an] di Sanggar Pelukis Rakyat yang dipimpin Hendra Gunawan.. dan saya kira pikirannya tentang revolusi bisa saya terima. [Penerimaan terhadap pemikiran tersebut] melalui diskusi dan baca buku. Kemudian diarahkan ke kursus politik. Sekolah politik. Sekolah ini untuk pelukis yang bicara politik. Lain lagi kalo untuk kader. Tapi ini menggerakkan senirupa agar orang tau politik. [Partai partai politik di Yogyakarta pada tahun 1960-an kerap mengadakan kursus kursus politik, baik untuk umum maupun mahasiswa. Tujuannya untuk merekrut anggota]. Dulu di SBT ada tertulisan "Seni adalah alat untuk memenangkan revolusi", artinya seni hanya sebagai alat saja, karena tujuannya adalah untuk memenangkan revolusi, yaitu masyarakat adil dan makmur. Kemerdekaan yang kita nikmati ini kan hasil dari sebuah revolusi. Untuk mencapainya ada pengorbanan. Jika pada jaman kemerdekaan ini susah, sebetulnya yang salah bukan kemerdekaan, tapi orangnya harus kerja. Pelukis, satrawan, militer, semuanya harus kerja. [Markas SBT, berada di sudut jalan di persimpangan dekat gedung ASRI, menempati bekas tobong pembakaran bau gamping milik mbah Rono, induk semang Amrus. Setelah dirombak tempat itu dijadikan sanggar tempat para angotanya melakukan akifitas seni rupa dan diskusi] BS: Dari mana buku buku tersebut diperoleh? AN: Buku buku teori itu didapat dari sekolah partai, semacam kursus politik, agar melek politi. Yang ngajar orang orang partai. Anggota SBT `disekolahkan untuk tahu marxisme, sehinga tahu tentang sejarah perkembangan masyarakat dan lain-lain [disekolahkan maksudnya bentuk kursus politik yang dilakukan oleh partai. Biasanya dilakukan sore hari dalam bentuk diskusi, dengan waktu yang tidak terjadwal]. Kita sebagai seniman,bukan menekankan pada aktifitas politiknya, tetapi pandangan politik yang harus keluar dalam lukisan. Misal, petani perlu tanah. Sebetulnya secara politis itu benar, tapi [kepemilikan tanah oleh petani] dalam kenyataanya tidak segampang itu. Padahal aturanya sudah ada, orang boleh mempunyai tanah untuk digarap 2 Ha, tapi nyatanya ada orang memiliki tanah puluhan hektar tanpa jelas apakah dia sebagai pengusaha, pabrikan, atau tuan tanah. nggak jelas. Tapi dia [para tuan tanah itu] punya duit [sehinga] bisa beli [tanah] puluhan hektar. Secara UU [UU Agraria, hal tersebut] bertentangan, tapi kenyataannya ada. Dalam hal ini bagaimana sikap seorang pelukis menghadapi hal tersebut. Sebab ini kan menyangkut hajat hidup kaum tani. Siapa yang harus melindungi? Negara. Siapa Negara yang pegang Negara? Orang partai. Artinya yang bertanggung jawab sebenarnya orang partai. Oleh karena itu seniman harus tahu politik. Inilah yang kita coba waktu itu [1961], tapi baru beberapa tahun SBT bercerai berai [karena peristiwa G30S/PKI tahun 1965] BS: Bumi Tarung. Secara harfiah dapat diartikan sebagai dunia perlagaan. Apakah memiliki filosofi tertentu? AN: Bumi dalam arti fisik dan dan dalam arti fikiran. Begini: bumi sejak jaman Adam pada dasarnya bertarung, [yaitu pertarungan] antara yang baik dan buruk dll. Hingga sekarang pertarungan itu terus berlangsung hingga hari ini. Tinggal siapa yang menang.. Hidup ini sebenarnya pertarungan. Sanggar Indonesia Muda, Sanggar Pelukis Rakyat, Sangar bamboo dll, itu tidak jelas. Sanggar Bumi Tarung jelas. Yaitu berpihak. Bertarung itu berpihak, tak mungkin tidak. Kepada siapa? Kepada rakyat. Rakyat ini bagian dari rakyat dunia. Pada waktu itu [1961] rakyat sedang bertarung.yaitu antara neo kolonialisme dengan kekuatan sosialis, atau old deforce dengan nefocre. Neforce adalah kekuatan sosialis, nasional yg progresif, dan rakyat yg anti penindasan. Olddefos adalah kapitalis yg menjajah. Rakyat Indonesia waktu itu paling banyak warga buruh dan tani. Inilah yang menjadi dasar garapan Sanggar Bumi Tarung, yaitu menggambarkan perjuangan peranan buruh dan tani. Jadi kita menitik beratkan perjuangan buruh dan tani. Hal ini karena ada 2 : seni lukis kerakyatan, yaitu mengambarkan kehidupan rakyat,spt mencangkul disawah, ngangon kerbau. Itu biasa karena semua [pelukis] menggambarkan hal tsb. Kita tidak mengambarkan rakyat apa adanya, tetapi mengambarkan rakyat yang bangkit berjuang. BS: Bagaimana hubungan antara SBT dg sanggar lainnya pada waktu itu? AN: Berbeda dg sanggar lain, anggota SBT otomatis menjadi anggota LEKRA. Titik berat program SBT adalah melaksanakan prinsip 1-5-1. Berbeda dengan sangar-sangar lain seperti Sanggar Pelukis Rakyat dll. Secara teoritis mereka itu stratus ideologinya tak jelas. Mereka berkumpul dalam sanggar tapi dengan ideologi beragam seperti Ali Basyah dari LKN [Lembaga Kebudayaan Nasional, dari Partai Nasional Indonesia], Rustamaji cenderung ke Islam dan kebatinan. Dasar Estetika SBT BS: Sementara ini beberapa literatur menyebut karya seni dari faham sosialis sebagai realisme sosialis. Bagaimana dengan SBT? AN: SBT tidak mengikuti realisme sosialis, tapi realisme revolusioner. Karena waktu itu [1961] Indonesia dalam tahap revolusi seperti ganyang ke Malaysia, perebutan Irian Barat dll sehinga SBT bertumpu kesitu. Sangar lain tidak ada [yang seperti itu]. BS: Apa bedanya realisme sosialis dengan realisme revolusioner? AN: Realisme revolusioner, kita berfikir tentang revolusi. Tujuan revolusi apa? Ya kesejahteraan rakyat. Tapi kalau hal itu tidak tercapai, berarti revolusi belum selesai. Contoh, kalau ada antri minyak [sekarang ini], berarti revolusi belum selesai. Jadi kalau masih ada kaum tani yg melawan haknya atau tanahnya diambil, berarti revolusi belum selesai. Karena itu revolusi revolusioner. Jadi revolusi itu tidak musti menggambarkan bedil dan berdarah- darah. Gambar antri minyak pun bisa termasuk seni lukis revolusioner. Tinggal bagaimana otaknya si pelukis. Sebab ada pelukis yg punya teori 1-5-1, ada yg tidak. Walaupun gambarnya sama, antri minyak, tapi akan beda pelukis 1-5-1 dengan yang tidak. Pasti beda muatannya. Tergambarkan dalam rangka apa, tujuannya kemana Sangar Pelukis Rakyat, Hendra, waktu itu temanya kerakyatan, seperti ibu gendong anak, bawa pisang, alamnya indah dst. [Walaupun temanya kerakyatan] tapi tidak tergambarkan adanya pertentangan. Kalo di SBT jelas, seperti peristiwa jengkol itu. Didalam berkarya, SBT menerapkan metoda yang mereka sebut sebagai Teori 1-5-1, yaitu: 1. Politik sebagai Panglima : seniman dalam berkarya harus memahami politik. Bukan untuk melakukan politik praktis seperti politikus, tatapi agar karya karya dijiwai oleh semangat membangun masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita citakan sosialisme. 2. Meluas dan meninggi. Meluas memiliki pengertian nila nilai dasar [intrinsic] mutu artistic dari karya seni, dientukan oleh seberapa jauh dan luas daya gugah dari hasil persenyawaannya dengan mutu ideologi terhadap apresiasi massa. 3. Memadukan 2 tinggi, yakni tinggi mutu ideology dan tinggi mutu artistic. Pencapaian mutu artistic oleh seniman dilakukan dengan penguasan ketrampilan teknis, yang dipadukan dengan penghayatan terhadap obyek. Sementara itu, agar karya karya dapat menggugah kesadaran, maka seniman harus meningkatkan mutu ideologinya. Mutu ideologi disini dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengenali dan menganalisa perkembangan masyarakat berdasarkan sosialisme. 4. Memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner. Istilah realisme sosialis dipahami sebagai gaya relisme dengan ideologi sosialisme. Realisme sosialis ini diterapkan pada karya karya seni (khusunya satra di Rusia dan RRC). Istilah ini pertama kali dicetuskan tahun 1934, melalui ucapan Andrei Zidanov dihadapan Kongres I Satrawan Rusia: " Dalam pada itu pada kenyataan watak historik yang kongkrit dari lukisan artistic mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode kerja sastra dan kritik satra ini kita namakan metoda ralisme sosialis". [Bakri Siregar, artikel "Realisme Sosialis, Mata Terbuka, Hati Lapang, Arah, 1958, dalam Pramudya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Jakarta, Lentera Dipantara, 2003, hal 28.] Seniman seniman LEKRA di Indonesia, tidak sepenuhnya menerima faham ini. Seperti yang dikemukakan oleh Pramudya Ananta Toer realisme sosialis di Indonesia adalah realisme sosialis yang sudah disesuaikan dengan budaya lokal. Pram menyebutnya sebaga realisme revolusoner. Seniman melalui karyanya harus mampu mengubah realitas, bahkan menciptakan kebaruan, memberi pola baru, sesuai dengan arah yang dipilih untuk memenangkan sosialisme. Hal yang sama berlaku pada seniman perupa SBT. Misbach Tamrin dalam bukunya "Amrus dan SBT", menuliskan SBT menolak disebut sebagi pengikut realisme sosialis, karena "kami tidak mengekor atau berkiblat secara teoritis ke Moskow atau Beijing. Kami menganut teori sendiri, yaitu teori 1-5-1 sebagai pedoman kerja berkreasi." [M. Tamrin, hal. 89]. Romantisme Revolusioner, bertolak dari pemikiran bahwa cita cita masyarakat sosialis, masih belum terwujud dan masih harus diperjuangkan, SBT berpendapat bahwa karya seni masyarakat kita masih belum bisa mencerminkan masyarakat sosilis. Oleh karena itu karya seni harus mempu penggambaran perjuangan untuk mencapai cita tersebut. Hal ini dicontohakan pada karya Amrusy `peristiwa jengkol [1960] yang menggambarkan peristiwa bentrokan berdarah antara pengusaha tebu yang dibantu militer dengan kaum tani di Djengkol (Tawa Timur). Yang terpaksa melawan karena diambil haknya atas tanah yang telah dijamin oleh Undang Undang Pokok Agraria. 5 .Memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner: Tidak seluruh kebudayaan masa lalu dalam sejarah Indonesia itu buruk atau baik. Seniman didalam berkarya secara cerdas dapat mengambil nilai nilai ataupun bentuk dari tradisi local, tetapi harus dikreasikan sesuai dengan tuntutan masa kini untuk menuju masyaakat sosialis. 6 .Turun ke bawah [TURBA]. Turun ke bawah, yaitu ke masyarakat kelas bawah yang tertindas (kaum buruh dan petani), agar seniman lebih mengenali persoalan masyarakat.Dengan demikian seniman memiliki concern terhadap cita cita sosialisme. Teori 1-5-1 ini merupakan hasil rumusan Sanggar Bumi Tarung, penyesuaian pandangan realisme sosialis terhadap kondisi lokal, digunakan sebagai metoda didalam berkarya. Inilah dasar estetika karya karya SBT. BS: SBT percaya bahwa kesenian harus memiliki daya ubah. Bagaimana penjelasannya? AN: Bagi kami, yang penting mengubah pikiran dan pandangan orang, setidaknya sugesti. Sekali waktu nanti orang akan menangkap isi yang kita gambarkan itu. Jadi antara politikus dengan pelukis itu derajatnya sama, hanya caranya berbeda. Nah ini ingin saya katakan: Sudjoyono itu bilang lukisan itu jiwa ketok. Tapi saya kira sekarang itu gak bisa, [bukan jiwanya yang Ketok], tapi pikirannya atau otaknya yang harus ketok. Kalau hanya jiwa, tergantung individunya [maksudnya individual], tapi kalo otak, kita bisa tahu. Apakah dia warga dunia atau warga kampung. Orang yang berpiki dunia akan terlihat bagaimana sikap hidupnya terhadap dunia. SBT Menjelang Peristiwa G30S/PKI dan Sesudahnya BS: Bagaimana aktifitas SBT menjelang 1965? AN: Usianya SBT baru 3 tahun, terjadi peristiwa 65. Sebenarnya lukisan lukisan waktu itu sudah banyak. Cuma waktu itu dikumpulkan oleh pelukis Wen Teor di Jakarta. Waktu itu [tahun 63], belum ada galeri. Dia [Wen Teor] orang Tionghoa, banyak kontak dengan orang-orang Tionghoa, supaya dikumpulkan dan kita dapat duit, untuk kegiatan sanggar. Sekarang ngga tahu dimana. Dulu alamatnya di Jl. L. Idrus [Jakarta], deket rumah adiknya. Disitu ada paviliunnya. Tapi sekarang tidak tahu dimana, sudah berubah. Dia tak beristri, kaya Ho Chi Minh [Maksudnya jika dia sekarang sudah meninggal, semakin sulit untuk menelusuri karya karya SBT yang dikoleksi Wen Teor] BS: Bagaimana SBT setelah 1965? AN: Dengan pengalaman yang masih sedikit kemudian anggot SBT kita dipenjar. Di penjara pengalaman kita makin banyak karena kami sering berdiskusi dan bertukar fikiran. Setelah keluar, kemampuan seseorang diuji, yang secara politik bertentangan dengan pandangan politik kita. Jaman orde baru misalya, kami kan tidak mungkin mengatakan: "..yg betul adalah politik yg kami anut". Nanti ditangkap lagi. Perkembangan dan perjalanan waktu, [menjadi] proses [bagi] tiap orang SBT bisa survive, disamping tiarap. Waktu jaman Orba kita itu tiarap. Secara politik kita tahu bahwa ini tidak benar. BS: Komentar anda dengan peristiwa reformasi ? AN: Setelah reformasi kemarin [1998], kita melihat kembali lagi ke Bumi Tarung. Apakah misi Bumi Tarung sudah terlaksana, yaitu masyarakat adil makmur seperti yang dikehendaki oleh revolusi 17 Agustus.[Ternyata] malah perbedaan makin tajam. Jaman Bung Karno dulu banyak gelandangan tapi tidak sehebat sekarang. Jadi untuk apa kemerdekaan itu? Untuk apa revolusi itu? Biarkan saja di dijajah kalo ekonominya lebih baik. Tapi kan gak mungkin penjajahan akan melahirkan perbaikan ekonomi. Tapi kenyataannya? Setelah kemerdekaan, ekonomi untuk rakyat kecil lebih jelek.Kekayaan bukan untuk yang pat gulipat kaya raya itu. Jadi sebetulnya para pelukis ini, apalagi sekarang tidak ada partai [maksudnya Partai Komunis], tidak ada LEKRA. Jadi bagi pelukis pelukis Bumi Tarung [melihat keadaan sekarang] tergantung moral si pelukis, pada moral individu Bumi Tarung-nya, untuk meneruskan membela rakyat ini. Artinya, mengambarkan penderitaan kaum buruh dan tani. Jadi karena moral, bukan karena politik. Dan ini termasuk semacam ideologi. Ideologi itu tidak ada uang, tidak ada bentuk, sesuatu yang kita yakini benar, [Oleh karena itu] kapanpun akan hadir dalam tindakan kita. Kini kita tinggal beberapa orang saja, bisa menggambar begini hanya karena moral saja. Dulu punya sikap, sekarang apakah sikap itu masih? . Misbach Tamrin(MT): Peristiwa reformasi yg merobohkan orba, sesungguhnya tidak berdiri sendiri. [maksudnya merupakan sebuah bagian dari keniscayaan revolusi]. Walaupun orba menutup ajaran revolusi Bung Karno dsb, tapi nyatanya kan nggak bisa. Salah satu pendorong orang berontak adalah karena tidak adanya keadilan, baik secara material maupun berpikir. Akhirnya kan dilindas juga oleh rakyat. Karena tujuan revolusi adalah masyarakat adil makmur, [jika kemakmuran itu belum terwujud] maka revolusi belum selesai. Itulah pandangan Bumi Tarung. BS: Pameran SBT II ini berselang lebih dari 40 tahun dari Pameran SBT I dengan konteks jaman yang sudah berbeda. AN: Kami ini seperti sedang berkejaran dengan waktu, sebab kami ini sudah pada tua. Waktu yang tersisa ini, makin terbatas. Dengan usia kami, pengalaman kaya, tapi waktu untuk memindahkan ke kanvas terbatas. Jadi pilih mana yg paling tepat. Seperti sekarang masalah yang paling tragis, pendidikan. Itu bagian dari revolusi. Untuk apa revolusi kalo pendidikan mahal, hanya untuk orang kaya. Tapi coba bayangkan ini bangsa yang merdeka kok bisa bilang "mamang biaya pendidikan mahal". Ngomong gitu Mustinya ngak boleh ngomong gitu. Ini kan negara sudah merdeka. Kok ngomong gitu? Karena pendidikan harusnya untuk semua warga, bukan untuk orang kaya saja. Padahal Negara ini kan kaya raya, katanya Emang Negara ini Negara siapa, kan Negara kita. Kekayaannya untuk kita. Nah yang bisa menjelaskan gitu, politik. Pelukis itu harus bisa sampai menggambarkan keberpihakan begitu. Kesitu. BS: Setelah mengalami masa jeda, bagaimana BT menegakkan cita citanya? MT: Kita sudah memilih jalan hidup, dan kita punya tujuan yang baik, dan ini harus tetap diperjuangkan, kita suarakan, kita kritisi. Berdirinya SBT, karena ada suatu panggilan tanggung jawab karena ada misi yang harus diselesaikan,yaitu seperti yang sering dikatakan Amrus sebelum mendirikan SBT bahwa revolusi belum selesai. Setelah kemerdekaan dan penyerahan kedaulatan dari pemerintahan kolonal, apa yang dicapai hanyalah perginya pemerintahan kolonial. Tetapi, yang dilupakan adalah dampak yang ditinggalkannya masih sedemikian rupa, yaitu feodalisme dan kolonialisme. Artinya, bangsa ini masih punya agenda untuk menyelesaikan tugas kemerdekaan. Tugas itu bukan hanya menjadi tangung jawab para fonding fathers, tetapi seluruh rakyat, termasuk seniman. SBT concern terhadap keadaan ini. Oleh karena itu, pelukis [seniman] tidak hanya bicara seni semata. Apa artinya seni kalu masyarakat kita masih belum berubah. Tugas mendesak seniman adalah turut serta ambil bagian untuk berjuang mengubah masyarakat sesuai cita cita revolusi, yaitu masyarakat yang menikmati kemerdekaan. SBT dan Seni Rupa Kontemporer BS: Bagaimana sikap Bumi Tarung terhadap perkembangan seni rupa sekarang? AN: Orang orang Bumi Tarung ini sekarang masih melukis. Saat melukis, timbul aliran kontemporer yg merajalela di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kontemporer di Indonesia baru belakangan ini. Begini Bumi Tarung kan jalan..[Kemudian] masuk kedalam samudera seni rupa. Samudera seni rupa ini, kan bergolak kontempporer. Nah, kalo tidak masuk samudera kontemporer, berarti kita harus berada diluar. [Maksudnya tidak terlibat dalam perkembangan seni rupa kontemporer]. Saya berfikir begini: Kita [SBT] ini kan [menganut] realisme revolusioner, artinya realisme yang menyanjung atau mau menyelesaikan tujuan revolusi, yaitu masyarakat adil makmur. Ini belum tercapai, [tapi] sudah masuk dlm samudra (kontemporer) ini. Kalo [diibaratkan Perahu] tadinya [SBT] pake dayung realisme. Sekarang tidak mungkin pake dayung realisme, tapi pake dayung kontemporer. Tapi [walaupun begitu] revolusionernya jangan hilang. Jadi, kita maju dengan dayung kontemporer tetapi tetap revolusioner. Kita akan coba: realisme kontemporer revolusioner. Jadi dari realisme revolusioner, menjadi realisme kontemporer revolusioner. Jadi tetap satu rel. [ Inilah sik Ideologi estetik SBT masih tetap konsisten keterkaitan antara kesenian dengan masarakat dan sikap politik yang dianutnya]. BS: Mengapa begitu?. AN: Orang seperti kami, [memiliki] pengalaman politik sebagai pelukis, hanya tinggal beberapa orang saja. Sedangkan yg lain [maksudnya seniman yang mengalami politik dalam tak ada. Jadi sayang kalau moral revolusioner ini tak masuk kedalam areal yang sekarang [maksudnya senirupa kontemporer]. Kita sempat diskusi di Yogya. Ada 3 hal yg perlu dipikirkan kawan-kawan Bumi Tarung. Realisme revolusioner sudah tahu, tapi kontemporer revolusioner? Ini jadi soal. Saya bilang ada 3 hal dalam kontemporer revolusioner: pertama, menyederhanakan persolan [masa kini] yg begitu rumit jadi sederhana. Untuk itu perlu intelektual, perlu intelegensi yg memadai. Masalah dunia yg kompleks begini, bagaimana menyederhanakannya? Kedua, harus kuat artistiknya. Gunakan artistic yang perlu saja, yang tidak perlu, tidak usah dipakai. Ketiga perlu kedalaman. Seniman harus dalam rasa kemanusiaanya. Nah ini yang susah, karena perlu pengalaman, dan pengalaman yang bagus adalah pengalaman langsung, yang memperkaya batin kita. Dan untuk itu perlu umur. Jadi kontemporer revolusioner yang saya bilang itu ada 3 hal : sederhana, kuat dan dalam kemanusiaanya. Nah kedalaman itu hanya bisa dicapai dengan pengalaman dan umur yang panjang. Kalo [sekarang] kita bicara tentang revolusi, memang dulunya kita ini revolusi Waktu ada pertemuan di Habibi Center [2007], sebagai pelukis saya bilang bahwa kita harus kembali kepada revolusi. Jiwa revolusi. Kalo tidak, nggak ada gunaya ini semua. Mau bikin undang- undang, pinjam duit banyak, kalo kita tidak kembali ke semangat revolusi, sia- sia semuanya. Pengertian saya, revolusi itu sesuatu yang baik, yaitu setia kawan, setia Negara, memikirkan orang lain Itu tujuan revolusi. Kalo tidak, dulu [waktu melawan penjajah] kita gak bisa menang, kalo semua orang memikirkan dirinya sendiri. BS: Untuk menggambarkan revolusi itu secara teknis caranya bagaimana? AN: Kita bisa bertolak dari 2 hal. Pertama dari mata (visual) dan dari pikiran, misalnya fungsi gunung untuk mengatur air. Jadi waktu melihat gunung yang gundul reaksinya beda kan. Pikiran itu macam-macam, apakah pikiran revolusioner, realisme, atau kontemporer tok. Ini akan berbeda. Ia kemudian menunjukkan sebuah lukisan yang berjudul "Dunia Tanpa Soekarno, Mao dan Naser" [2007]. Kita tidak bisa diam kalo melihat dunia lain diporak porandakan Negara lain, sebab dalam UU kita setiap bangsa dibawahkolong langit ini berhak merdeka. Jadi, kalo kita sebagai seniman yang benar, penderitaan bangsa lain itu penderitaan kita juga. Kita ni bukan dewa. Penderitaan bangsa Indonesia, sama dengan penderitaan bangsa lain kalo dijajah. *** Menarik untuk dicermati pada karya karya yang dibuat belakangan setelah menjalani masa tahanan ini, karena berada dalam konteks perkembangan yang jauh berbeda dengan Pameran SBT I (1962). Karya karya ini, bisa menguji apakah masih mencerminkan garis edeologi estetik seperti pada saat awal berdiri, ataukah sudah bergeser? Kalaupun keyakinan ideologi estetik tersebut masih digunakan, bagaimanakah seniman seniman SBT ini menerapkannya dalam konteks perkembangan masa kini.[] * Kurator, tinggal di Bandung Sumber : Tamrin, Misbach, Amrus Natalsya dan Bumi Tarung, Amnat Studio, Bogor, 2008. Ismail, Yahya, Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan LEKRA di Indonesia, Percetakan Khe Meng, Kuala Lumpur, 1972. Toer, Pramoedya Ananta, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003. http://www.freelists.org/archives/nasional_list/11-2005/msg00262.html Sumber: http://beritaseni.com/?p=127 Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ ======================= Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Anak Muda Islam mailto:[EMAIL PROTECTED] This mailing list has a special spell casted to reject any attachment ....Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/