Seabad A.R. Baswedan, Pahlawan dan Perintis Pers Asal Ampel, Surabaya

Gara-gara Pentas Fatimah, Warga Arab Mengadu ke Polisi

Hingga saat meninggal, A.R. Baswedan tidak punya rumah. Satu-satunya
kekayaan berharga adalah koleksi buku dan berbagai karya jurnalistiknya.
Para ahli waris sedang mengupayakan virtual library agar buah pemikiran
pejuang itu abadi.

PRIYO HANDOKO, Jakarta

PERGAULANNYA yang luas dengan para pejuang kemerdekaan lintas ras, baik
pribumi, Arab, maupun Tionghoa, ditambah minatnya yang besar dalam menekuni
dunia jurnalistik, membuat A.R. Baswedan sejak muda mempunyai pemikiran
keislaman yang maju.

Suatu hari, pada 1936, Baswedan memprakarsai pementasan drama berjudul
Fatimah di Solo, Jawa Tengah. Tujuannya mengedukasi masyarakat keturunan
Arab tentang hak-hak perempuan, terutama mengenai perlunya bersekolah.

Sutradara drama itu adalah Husein Mutahar (belakangan dia dikenal sebagai
pendiri gerakan Pramuka dan pengarang lagu Syukur), sahabat Baswedan yang
juga peranakan Arab. Untuk ukuran komunitas Arab saat itu, tema yang
diangkat sangat kontroversial. Apalagi drama itu juga menampilkan pemain
perempuan yang memerankan sosok Fatimah.

''Terang saja jadi ramai. Jangankan perempuan naik panggung, keluar rumah
(bagi wanita keturunan Arab, Red) saja susahnya bukan main,'' kata Samhari
Baswedan, anak bungsu A.R. Baswedan, kepada Jawa Pos.

Lantaran begitu sensitifnya situasi saat itu, sebelum pementasan wakil
masyarakat Arab meminta pimpinan komunitas mereka mengadu ke polisi Hindia
Belanda agar dilarang. Tapi, setelah A.R. Baswedan memberikan penjelasan,
polisi mengizinkannya. Malah, tema emansipasi yang diangkat Baswedan dan
Husein Mutahar itu dianggap baik sehingga mereka dengan suka rela
mengamankan malam pementasan untuk menangkal aksi anarkis.

Rupanya, Baswedan maupun Mutahar cukup pintar bersiasat agar pementasan itu
tidak sampai membuat ribut komunitas Arab di Solo. "Perempuan bernama
Fatimah itu ternyata diperankan mbakyu (kakak perempuan) saya sendiri yang
nomor dua (Aliyah Baswedan). Dia hanya muncul sekali. Duduk di panggung di
atas sajadah, mengenakan mukena, dan tengah berdoa. Tidak ngomong sama
sekali,'' tutur Samhari, lantas tertawa.

Menurut pria 54 tahun itu, ayahnya menikah dua kali. Pada 1925, ketika
berusia 17 tahun, A.R. Baswedan menikahi Syeikhun. Dari Syeikhun, dia dapat
sembilan anak. Setelah Syeikhun meninggal di RS Kadipala, Solo, pada 10 Juli
1948 akibat malaria tropika, A.R. Baswedan menikah dengan Barkah, kolega
yang juga pimpinan PAI Istri (sayap kewanitaan Partai Arab Indonesia).

Dari Barkah itu, kata Samhari, diperoleh dua anak, yakni dr Havied Natsir
dan dirinya (dr Ahmad Samhari). Samhari lulus dari Fakultas Kedokteran UGM
pada 1981. Mantan aktivis yang pernah ditahan rezim Soeharto pada 1976 itu
meraih gelar master public administration dari Universitas Harvard, Amerika.

Dari sisi karir, Samhari pernah menjadi penanggung jawab Program Kesehatan
Indonesia di Unicef (lembaga PBB) bekerja sama dengan Depkes (1983-1999). Di
lembaga itu Samhari kini menjadi konsultan manajemen.

Seperti Samhari, Rasyid Baswedan, anak nomor empat, mengenang sang ayah
sebagai sosok yang tidak pernah berhenti bekerja untuk bangsa. Padahal,
sebagai anak pengusaha kaya, Awad Baswedan, dia bisa memilih hidup normal di
Surabaya. Namun, dia memilih jadi wartawan. Alasannya, penyebaran gagasan
yang efektif dapat dilakukan melalui surat kabar, melalui tulisan.

Akibatnya, A.R. Baswedan terus berpindah-pindah memboyong anak istrinya.
Selepas dari Surabaya, sang ayah berpindah tugas ke Jawa Tengah, yakni
Kudus, lalu Semarang, dan kemudian ke Solo.

Saat A.R. Baswedan dan keluarga tinggal di kota terakhir itulah, tentara
Jepang masuk ke Solo pada 1942. Tahu dia merupakan tokoh pergerakan yang
ingin memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Jepang pun mengincarnya. "Kami
sekeluarga lalu diboyong ke Jakarta," katanya.

Saat di Jakarta, kata Rasyid, diam-diam ayahnya menjadi tentara bawah tanah
bersama pemuda-pemuda pejuang di ibu kota saat itu. Namun, nahas, suatu kali
dia tepergok tentara Jepang sehingga ditangkap. "Oleh penjajah Jepang,
beliau dihukum mati," tuturnya.

Suatu kali Mr Singgih, orang kepercayaan Soekarno, datang ke markas tentara
Jepang. Singgih kaget melihat A.R. Baswedan menjadi salah satu tahanan di
sana. Kepada tentara Jepang, Mr Singgih mengatakan bahwa A.R. Baswedan
merupakan kawan Soekarno. "Bapak selamat, tentara Jepang membebaskannya,"
kata Rasyid yang juga ayah Anies R. Baswedan, rektor Universitas Paramadina,
Jakarta, itu.

Sebelum Republik Indonesia dilahirkan, A.R. Baswedan punya peran menjadi
salah satu perumus Undang-Undang Dasar 1945. Saat proklamasi kemerdekaan
dibacakan, Rasyid yang saat itu berumur delapan tahun diajak sang ayah ikut
menyaksikannya.

"Saat ibu kota RI pindah ke Jogja, kami sekeluarga juga kembali pindah ke
Solo. Saat Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri, bapak diangkat menjadi
menteri muda penerangan. Beliau juga menjadi menteri penerangan saat kursi
perdana menteri dipegang Moh. Natsir," tambah Rasyid.

Karir politik A.R. Baswedan terus berlanjut pada 1950-an. Pada Pemilu 1955,
misalnya, dia terpilih sebagai anggota parlemen/Konstituante dari Partai
Masyumi. Dia bergabung ke partai itu setelah menolak menghidupkan kembali
PAI (Partai Arab Indonesia) yang telah dibubarkan Jepang. Alasannya, tujuan
perjuangan PAI sudah tercapai dengan dicapainya kemerdekaan Indonesia.

Seperti sang ayah, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan juga punya
kenangan sendiri tentang kakeknya. Saat menghabiskan hari tuanya di rumah
Jalan Taman Yuwono, Jogja, hampir tiap hari Datuk (panggilannya terhadap
A.R. Baswedan) selalu menulis surat. "Sejak kelas 3 SD, saya yang menjadi
juru ketiknya. Dia tiduran, ngomong, terus saya yang mengetik di mesin tik
kuno,'' tutur Anies yang kelahiran Jogja 7 Mei 1969 itu.

Yang menarik, lanjut Anies, di akhir surat selalu ada kalimat yang selalu
dipesankan sang datuk. "Isinya, surat ini diketik cucu saya, umurnya segini,
jadi tolong dimaklumi kalau ada spasi yang melompat,'' kata Anies, lantas
tertawa.

Gara-gara selalu disuruh mengetik kakeknya sejak kecil, Anies mengaku
mempunyai keterampilan mengetik lebih baik daripada teman-temannya.
''Walapaun tidak bisa mengetik sepuluh jari, saya berani bersaing dengan
yang mengetik sepuluh jari,'' ujarnya.

Menurut Anies, isi surat itu tak melulu bersifat pribadi. Lewat suratnya,
sang kakek juga menanggapi tulisan-tulisan para sahabat atau temannya yang
muncul di media massa. ''Ini menggambarkan spirit yang sangat dinamis, nggak
berhenti, semua selalu dipikirkan,'' katanya.

Anies mengakui, sejak SMP sampai kelas II SMA, sebelum berangkat ke sekolah,
dirinya mengisikan insulin -obat diabetes -ke alat suntik kakeknya. ''Karena
sudah tua, tidak bisa membaca parameter dosis. Makanya, saya selalu yang
mengisikan. Tapi, yang menyuntikkan beliau sendiri, kadang di paha, kadang
di pundak. Itu yang membuat saya sering menginap di rumah kakek," katanya.

Menurut Anies, sejak awal 2008, bersama anggota keluarga yang lain, dia
menggarap proyek besar membangun virtual library A.R. Baswedan. Seluruh
peninggalan A.R. Baswedan dikonversi ke bentuk digital. Mulai rekaman
wawancara, 400-an koleksi foto, dan 40 kotak berisi ribuan kliping dan karya
tulisan.

''Beliau itu kan wartawan. Jadi, kemana pun pergi selalu membawa kamera dan
tape recorder. Kami punya rekaman wawancara beliau dengan Adam Malik,
Muhammad Roem, Natsir, dan masih banyak yang lain,'' katanya. Sebagian besar
dokumen fisik itu sekarang disimpan di apartemen Samhari Baswedan di kawasan
Kuningan, Jakarta.

Awalnya, kata Anies, semua dokumen itu tersimpan di kediaman A.R. Baswedan
di Taman Yuwono, Jogja. Namun, setelah sang kakek meninggal pada 1986
disusul ibunda -Barkah (istri A.R. Baswedan)- pada 2003, rumah itu
dikembalikan ke ahli waris pemiliknya. Maklum, sang kakek memang tidak punya
tinggalan rumah.

Setelah agresi militer Belanda pertama, kata Anies, kakek dan keluarganya
pindah ke Jogja. Di sana, ada seorang kaya Prawiro Djuwono yang dekat dengan
para pejuang.

"Dia meminjamkan 40-an rumahnya untuk dipakai para pejuang. Setelah ibunda
meninggal, rumah itu dikembalikan kepada Haji Bilal, putra Pak Prawiro,''
tuturnya.

Anies mengenang kakeknya sebagai sosok yang sederhana. Suatu ketika, cerita
Anies, kakeknya menemui sahabat lamanya, Adam Malik (Wapres di era
Soeharto), di Gedung Agung, Jogja. Sesudah bertemu, Adam Malik mengantarkan
A.R. Baswedan sampai di pelataran istana itu. Betapa kagetnya Adam Malik
ketika melihat kakek terus ngeloyor pulang dengan berjalan kaki.
Saking terharunya, beberapa waktu kemudian, saat kakeknya ultah, Adam Malik
memberikan hadiah mobil, sebuah Chevrolet Impala bermesin 4.000 cc. "Saat
itu Pak Adam Malik memberikan pesan tertulis 'Bung, setelah ini tidak usah
jalan kaki lagi','' ujar Anies. (Laporan ini diperkaya Erwan Widyarto dari
Jogja/el)

http://www.jawapos.co.id/



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke