http://www.pos-kupang.com/index.php?speak=i&content=file_detail&jenis=14&idnya=21641&detailnya=1
Seberapa Umumkah Pemilihan Umum? Oleh Pius Rengka, S.H, M.Sc Alumnus Pascasarjana UGM Yogyakarta, konsentrasi Peace Studies and Conflict Resolution TAHUN 1990-an, Richard Holbrooke, diplomat Amerika Serikat, berkomentar tentang Pemilu Yugoslavia. Katanya: "Bayangkan, pemilihan umum dilaksanakan secara bebas dan jujur, dan mereka yang terpilih adalah kaum rasis, fasis, dan separatis". Holbrooke, dengan pernyataannya itu membuat peringatan cukup keras!! Katanya, adalah sangat benar bahwa kebebasan itu sangat penting. Kebebasan itu penting, lantaran kebebasan itulah yang memungkinkan manusia berkembang dan mengembangkan seluruh potensi yang ada di dalam dirinya. Tambahan pula, secara empiris kebebasan itu tak bisa dibendung oleh kuasa dan kekuatan apa pun yang ada di luar dirinya. Buktinya dapat ditelusuri melalui ceritera tentang pecahnya negeri beruang merah, Uni Soviet, menyusul perestroika dan glasnots serta peristiwa menyatunya Jerman Barat dan Jerman Timur. Bahkan ada pula pandangan yang mengatakan, perihal kebebasan itu persis beriring jalan dengan perolehan kebenaran. Namun, kita jangan gegabah! Kebenaran membutuhkan argumen. Tetapi, argumen macam mana? Argumen yang tak terbantahkan, amat kerap belum membuktikan apa yang mau dibela oleh argumen itu selalu benarlah adanya. Sebaliknya, argumen yang mudah dipatahkan, belum membuktikan apa yang dibela oleh argumen itu salah 100 persen. Argumen yang tak mudah dibantah, berpeluang sangat fatal salah besar pada akibatnya, meski tidak diniatkan. Sebaliknya, argumen yang mudah dibantah mungkin saja memiliki peluang menemukan jalan yang benar. Hal itu mungkin dicapai, karena kebenaran menemukan dirinya sendiri tatkala dibimbing oleh malaikat kebebasan. Demokrasi pun demikian. Demokrasi yang valid hanya mungkin tercapai jika demokrasi melawan dirinya sendiri (democracy against its self). Artinya, di mana ada dialog di sana ada gugatan. Di mana ada gugatan di sana ada para aktor yang melakukan gugatan yang satu dengan lainnya saling berseberangan. Mengutip Francis Fukuyama, sebagai misal, yang mengatakan, tidak akan pernah ada demokrasi tanpa banyaknya para demokrat. Dengan kata lain, demokrasi hanya bisa berkembang baik dan berkembang biak, kalau ada aktor pendukungnya. Fenomenal: Manusia, makhluk fenomenal. Ia mungkin saja benar tatkala mengabdi hanya pada dirinya sendiri. Tetapi, tatkala manusia berinteraksi dengan yang lain, berinteraksi dengan alam semesta dan struktur yang ada di luar dirinya, maka makhluk manusia itu menemukan dirinya dalam rimba raya petualangan. Ia menempuh jalan panjang ziarah hidupnya. Kata para arif nan bijaksana, manusia adalah makhluk perantau. Makhluk pengembara. Ia selalu mencari, bahkan terus berusaha menemukan apa yang dicarinya. St. Agustinus mengatakan: Temukanlah dengan kerinduan untuk mencari, dan carilah dengan kerinduan untuk menemukan. Namun, pencarian itu hanya mungkin eksis kalau ada kebebasan. Lantaran kebebasan itu, manusia tak pernah tenang berteduh pada sebuah perhentian. Karena itulah manusia disebut makhluk peziarah. Ia selalu mencari, menemukan, kemudian mencari lagi. Bahkan dalam pengembaraannya itu, entah apa pun mungkin yang dicarinya, manusia amat kerap meragukan kebenaran dari apa yang ditemuinya itu. "Jangan-jangan aku sudah salah sejak dari awal, dan mencari sesuatu yang salah sudah sejak dari awal pula. Lalu, sebaiknya aku mulai lagi dengan bebas dari awal". Pengembaraan manusia ke oase kebenaran melalui relung kebebasan (bebas dari dan bebas untuk), tak pernah membuat manusia putus asa. Tetapi, manusia selalu terjebak dan bahkan selalu dihantui oleh setan kegelisahan. Gelisah di dalam jeratan hukum negara yang memangkas kebebasannya itu berkali-kali. Lalu, ia menggugat dengan pertanyaan, apakah segala aturan hukum itu dibuat oleh aparatus negara hanya untuk membatasi kebebasan ataukah semua aturan hukum itu justru membuat interaksi antarmanusia bisa bebas di dalam keterbatasan hukum? Hukum berfungsi untuk memenjarakan ataukah justru membebaskan? Dalam konteks politik, hukum tak lebih dari sekadar instrumen belaka. Ia selalu menjadi produk dari kepentingan bersama. Kepentingan dari mereka yang berkepentingan. Siapakah mereka itu? Pertanyaan itu sangat kategorial. Itu pertanyaan tentang hukum. Tetapi, pertanyaan itu selalu akan jadi kajian menarik untuk bidang filsafat hukum dan politik hukum sekaligus. Jika para aktor dari institusi negara membuat aturan hukum untuk warganya, maka aturan hukum tersebut patut dicurigai karena ia dapat dipastikan berfungsi sebagai instrumen politik pelindung kepentingan. Kepentingan dari yang kuat atau kepentingan kelompok mayoritas. Tetapi, muncul pertanyaan lain terkait nasib kebebasan. Tanpa Intervensi? Apakah memang kebebasan itu ada tanpa intervensi dari luar? Misalkan, saya pergi ke toko serba ada. Saya membeli pasta gigi pepsodent, bukan maxam. Bukankah tindakan saya membeli pepsodent adalah pilihan terbatas yang dibatasi oleh pengaruh iklan pepsodent yang begitu gencar di televisi dan radio? Bukankah pilihan saya membeli pepsodent karena dipengaruhi oleh tetangga di sebelah rumah kami, yang telah berkali-kali mengatakan pepsodent itu manjur untuk menggosok gigi keropos dan berlubang? Pilihan saya membeli pasta gigi pepsodent, ternyata bukanlah pilihan bebas tanpa godaan, melainkan pilihan yang dikendalikan. Kalau demikian, dapatlah disimpulkan bahwa seseorang tak lagi bebas. Pilihannya terbatas dan dibatasi oleh iklan yang menguasai pikiran dan kehendaknya, tanpa diberi peluang untuk mengandai-andai. Hal serupa terjadi tatkala memilih partai politik dan para calegnya. Partai politik, juga para calegnya, ditawarkan melalui ruang publik. Iklan diri digelar, foto wajah pun dipajang. Senyum simpul berserak di seberang perempatan dan tikungan jalan. Kita gerah ataukah tergoda? Agar tak bingung dan canggung, kita lalu mantap berpikir untuk memilih tidak memilih. Tetapi, apakah memilih untuk tidak memilih sebagai cara terbaik? Jika Anda tidak memilih, itu berarti Anda Golput. Apakah Golput itu baik? Jangan-jangan ini pertanyaan salah. Kalau begitu pertanyaannya diubah. Apakah Golput itu perlu? Ada dua kemungkinan seseorang beropsi Golput (Ignas Kleden dalam "Partai Politik dan Politik Partai, 2004"). Pertama, opsi negatif, ketika seseorang merasa tidak mempunyai cukup alasan untuk turut memilih. Kedua, opsi positif, ketika seseorang merasa mempunyai alasan cukup untuk tidak turut memilih. Opsi mana pun yang menjadi dasar pertimbangan, pilihan untuk tidak memilih tidaklah menguntungkan dilihat dari perlunya perubahan politik. Dengan tidak turut memilih dalam pemilu, seseorang sudah mengabaikan kesempatan (melalui pemberian suaranya) untuk menciptakan perubahan politik, khususnya menciptakan sirkulasi elit, melalui rekruitmen elit politik baru dalam pemilu (ibid). Tentu saja masih ada keraguan apakah suara yang diberikan dalam pemilu sanggup menciptakan perubahan politik, mengingat bahwa partai politik yang ada atau calon yang ada barangkali tidak cukup memenuhi harapan. Peluang untuk perubahan dan pembaruan politik bisa besar atau kecil, tetapi kesempatan untuk melakukannya adalah sesuatu yang layak dicoba dimanfaatkan. Sebab, dalam akibatnya (meskipun bukan dalam niatnya), tidak memilih berarti memilih untuk tidak mengadakan perubahan apa pun dalam politik Indonesia (NTT). Namun, untuk bisa mendorong para konstituen melakukan pilihan, sangat ditentukan oleh seberapa luas dan bermakna sejumlah partai politik peserta pemilu melakukan penyadaran politik (pendidikan politik) kepada public atau konstituen? Dari segi itu, terpantul pula gugatan lain yang diperlukan yaitu seberapa bermutukah kandidat yang dicalonkan, dan seberapa perlukah memilih sebuah partai bila mengingat peluangnya untuk menang dengan syarat yang diminta Undang-undang begitu terbatas? Dua syarat undang-undang yang patut dipertimbangkan sungguh serius, yaitu electoral threshold (ET) dan parliamentary threshold (PT). Dua syarat undang-undang itu, mau tidak mau membatasi atau mengontrol sikap seseorang untuk memilih. Memilih partai yang tidak memiliki peluang besar untuk mencapai ET dan PT, jelas merupakan sebuah pilihan yang tidak dewasa atau tidak cerdas. Maka, ajakan partisipasi dalam pemilu adalah syarat mutlak yang diperlukan, meski disadari bahwa partisipasi sebatas ikut ramai saja untuk memilih tentulah belum memadai dalam takaran demokrasi yang bermakna. Demokrasi bermakna jelas mensyaratkan dua hal. Pertama, demokrasi mempersyaratkan luasnya atau besarnya partisipasi (the quantity of participation), yaitu aspek empiris dan kuantitatif dari demokrasi (mayoritas keterlibatan). Kedua, demokrasi mempersyaratkan pula alasan-alasan yang mendukung dan membenarkan partisipasi itu, yang membentuk kualitas wacana (the quality of discourse). Kualitas wacana adalah aspek kualitatif dan normatif dari demokrasi, yang ditentukan oleh dua kriteria lainnya, yaitu persyaratan argumentasi yang lebih baik (the criterion of better argument) dan persyaratan kepentingan lebih luas yang dipertaruhkan (the criterion of more general interest). Argumentasi yang lebih baik ini penting untuk demokratisasi, karena yang menjadi pokok pertimbangan adalah isi dan kuat-lemahnya alasan dan pertimbangan yang diajukan, dan bukannya siapa yang mengucapkannya. Dalam konteks memilih, bukan siapa yang bakal dipilih saja yang patut dipertimbangkan, melainkan juga bagaimana caleg itu sendiri memaknai demokrasi sehingga ada alasan untuk memilihnya, serta partai mana yang pantas dipilih agar tujuan perubahan bisa tercapai. Terkait dengan hal ini, patut ditegaskan di sini bahwa kita memilih bukan saja didorong oleh relasi personal (karena kita mengenal seseorang karena ia sebagai teman dekat atau famili kita), melainkan pilihan kita juga terkait dengan kapasitas caleg dalam skema pembuatan keputusan public nantinya. Jangan-jangan kita memilih si Badut hanya karena ia seorang teman dekat kita, tetapi ternyata dia sama sekali tidak sanggup melakukan sesuatu yang bermutu untuk kemajuan demokrasi bermakna di negeri ini. Demokrasi bermakna artinya demokrasi yang sanggup menciptakan rasa aman, nyaman, dan memiliki ruang untuk memobilisasi kemakmuran rakyat. Sebab pada tujuannya, politik beropsi pada bonum commune (kesejahteraan bersama), bukan kesejahteraan kandidat atau partai yang mengusungnya. Karenanya, jika partisipasi rakyat ditentukan oleh besarnya jumlah uang yang diterimanya dari si caleg, maka partisipasi itu justru tidak menolong sedikit pun untuk pengembangan demokrasi bermakna. Sebab apa-apa yang diberikan si caleg malah pemberiannya itu sebagai tanda awal untuk mendorongnya dan atau memperkenankannya untuk melakukan korupsi di kemudian hari. Atau dengan ungkapan lain, jika caleg memobilisasi dukungan rakyat dengan mesin uang yang dimilikinya, maka sesungguhnya sang caleg tersebut sedang meminta restu rakyat agar ia boleh melakukan korupsi di kemudian hari. Maka disarankan semua caleg yang mengandalkan uang untuk dukungan (sebagai sogokan), selayaknya tidak dipilih karena ia bakal menjadi kandidat koruptor. Sebab dalam konteks ini, caleg hanya membutuhkan jumlah kepala yang memilihnya dan mengabaikan isi kepala para pemilih dan masa depan para pemilih itu sendiri. Dengan kata lain, politik uang adalah sesuatu yang harus dikutuk, karena dia menyingkirkan kualitas wacana demi mengejar kuantitas partisipasi. Terkait dengan pertimbangan apa yang pantas di dalam memilih partai politik dan terutama memilih para caleg, patutlah diingat sedikitnya empat hal yang menjadi keutamaan berikut ini. Pertama, pilihlah caleg pusat dari partai yang berkemungkinan memenuhi dua syarat undang-undang (ET dan PT). Karena memilih partai yang demikian akan ada sedikit jaminan bahwa suara yang diberikan tidak sia-sia. Sebaliknya, jika Anda memilih partai yang diduga tak memenuhi ET dan PT (untuk DPR RI), maka dukungan suara Anda akan sia-sia belaka. Cara untuk mengetahui partai dan caleg mana yang patut dipilih untuk posisi DPR RI adalah dengan mengetahui data perolehan kursi pada pemilu tahun 2004 yang lalu (saran ini tentu tidak berlaku bagi partai-partai baru yang belum mengikuti pemilu tahun 2004). Kedua, pilihlah caleg partai bersih, terutama untuk propinsi dan kabupaten, karena hasilnya akan menjamin lahirnya produk kebijakan publik yang bermutu. Caleg dari partai yang diduga kerap mendagangkan cap partai politik di dalam konteks pilkada, selayaknya tidak perlu dipilih, karena para calegnya hanya akan memproduksi kebobrokan baru di kemudian hari. Terutama melanjutkan peringai buruk dari para pengurusnya yang tak becus itu. Artinya, memilih partai busuk hanya akan melanggengkan kebusukan elit partai yang gemar mendagangkan cap partai tersebut. Partai-partai manakah yang dimaksud itu, saya kira semua orang bisa mengakses informasi ke para kandidiat yang sudah mengalami nasib diperas partai-partai tersebut atau juga silakan tanya saya, karena saya punya cukup informasi melalui riset yang saya lakukan sejak tahun 2004. Sekali lagi, memilih caleg dari partai busuk berarti melanggengkan kebusukan para elitnya, serentak dengan itu pilihan Anda pun berarti Anda sedang merestui kebusukan itu sendiri melalui perbuatan memilihnya. Merestui kebusukan berarti Anda membiarkan diri sendiri dan daerah ini terus menderita miskin. Sekali lagi, partai busuk adalah partai yang mendagangkan cap partai dalam konteks pilkada. Ketiga, pilihlah caleg dengan pertimbangan representasi konteks lokal, tetapi calegnya sendiri harus yang berkualitas (intelektual maupun moral). Karena caleg-caleg tersebut memahami denyut nadi penderitaan rakyat setempat. Mereka mengerti dan merasakan kultur rakyat yang diwakilinya, memahami konteks keluhan yang diserukan rakyatnya. Untuk tujuan tersebut, patutlah berhati-hati terhadap para sinterklas dadakan yang datang dari tempat jauh. Mereka tiba-tiba mengguyur hujan uang dan hadiah demi mendulang dukungan rakyat. Saya kira, kedaulatan rakyat tidak boleh dibeli, juga tidak pantas dijual. Menjual dan membeli kedaulatan rakyat sama persis maknanya dengan penciptaan musuh bagi masa depan rakyat itu sendiri. Dan, itu berarti kita sedang kehilangan adab, hilang harga diri dan minus kehormatan diri. Kita memang propinsi miskin! Tetapi, saya kira kemiskinan itu tidak serta merta menjadi alasan cukup untuk kita boleh kehilangan kedaulatan, dan melunturkan kehormatan serta martabat demokrasi. Keempat, patutlah dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh para saudariku caleg perempuan. Pilihlah caleg perempuan yang berkualitas (intelektual dan moral), sebab mereka dapat diandalkan untuk menyuarakan kepentingan kaum perempuan dengan lebih serius. Menurut saya, hanya perempuan yang berkualitas sajalah yang sanggup memahami dengan sungguh-sungguh dan teguh memperjuangkan kepentingan kaum perempuan sendiri. Menilik empat keutamaan itu, pemilu 9 April 2009 merupakan pemilihan umum dengan syarat-syarat. Syarat-syarat itulah yang membatasi pilihan. Pemilu dibatasi oleh pertimbangan kualitas wacana para aktornya dan kualitas institusi yang mengutusnya, serta luas proporsionalitas partisipasi untuk memaknai dukungan yang diberikan. Menurut saya, masa depan rakyat Indonesia (NTT) ditentukan oleh pilihan rakyat itu sendiri, bukan oleh siapa-siapa. Hal itu akan terpantul pada siapa yang dipilih, dan partai mana yang sebaiknya dipilih. Pilihan itu merupakan pantulan dari kualitas demokrasi rakyat. Pantulan itulah yang disebut res-publica. Akhirnya, jika Anda pencinta perubahan, maka Anda tidak memilih Golput. Anda hanya diminta untuk melakukan sedikit perubahan, siapa tahu sedikit perubahan itu akan membawa banyak hal baik terhadap kehidupan demokrasi di negeri ini. Meskipun mungkin, sedikit perubahan itu tidak berarti banyak bagi perubahan kehidupan Anda pribadi. Tetapi, ketahuilah bahwa pencapaian keberhasilan di masa depan diperoleh dari pemanfaatan setiap detik dalam hidup. Masa depan juga merupakan akumulasi dari masa sekarang. Viva democratia! * [Non-text portions of this message have been removed]