http://berita.liputan6.com/producer/201006/282639/Siapa.Melindungi.TKI


Siapa Melindungi TKI?   
 

21/06/2010 17:03
Departemen Luar Negeri (Deplu) AS dalam laporan tahunan kesepuluh mengenai 
perdagangan manusia 2010 yang dirilis, Senin 14 Juni 2010, menggolongkan 
Indonesia di tingkat menengah (Tier-2), dalam masalah human trafficking 
(perdagangan manusia). Seperti dikutip dari stasiun televisi Voice of America 
(VOA), 117 negara yang berada dalam laporan setebal 373 halaman tersebut 
dikelompokkan dalam tiga kategori berdasarkan kinerja kebijakan 
anti-perdagangan manusia di tiap negara.

Secara khusus Utusan Khusus AS Anti Perbudakan Duta Besar Luis CdeBaca, dalam 
rilis laporan Deplu AS, Senin 14 Juni 2010, menilai akibat lemahnya pengawasan 
pemerintah, praktek perdagangan manusia merajalela di desa-desa pelosok di 
Indonesia. Meski laporan itu mencatat ada kemajuan pemerintah dalam menangani 
praktek perdagangan manusia, secara umum terlihat bahwa peranan Kementrian 
Negara Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan Badan Nasional 
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tidak optimal 
dalam mencegah trafficking (perdagangan manusia) ini. 

Laporan itu juga mencatat perdagangan sosial tidak hanya terjadi di luar negeri 
melalui pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tetapi juga di dalam negeri. 
Lemahnya pengawasan pemerintah berakibat pada merajalelanya praktek rekruitmen 
TKI non prosedural ke manca Negara. 

Dalam laporan lain disebutkan bahwa, jumlah perempuan pekerja domestik 
(pembantu rumah tangga) asal Indonesia di Timur Tengah yang mengalami perkosaan 
mengalami peningkatan.

Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Miftah Farid menilai, 
carut-marutnya pelayanan TKI akibat dualisme  BNP2TKI dan Kemenakertrans 
menjadi penyebab utama tingginya modus trafficking melalui pengiriman tenaga 
kerja ke luar negeri. Karena itu, ia menganggap revisi harus dimulai dengan 
menuntaskan dualisme dengan memberi tupoksi yang jelas antara BNP2TKI dengan 
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Sudah lama dua lembaga pemerintah yang mengurus masalah tenaga kerja ini 
berselisih perihal wewenang siapa yang berhak menangani TKI yakni BNP2TKI dan 
Kemenakertrans. Kisruh wewenang dua instansi ini berpengaruh pada pelayanan TKI 
hingga ke tingkat bawah. 

Baik BNP2TKI dan Kemenakertrans sama-sama merasa berhak menempatkan TKI. ambil 
contoh data pemberangkatan TKI pada 2008, BNP2TKI memberangkatkan 175 ribu 
lebih TKI ke Arab saudi, sedangkan Ditjen Binapenta sebagai unsur dari 
Kemenakertrans memberangkatkan 234.643 TKI. Ketidak kompakan kedua lembaga ini 
berimbas kepada penanganan TKI bermasalah, saling lempar tanggung jawab dari 
keduanya, dan nyaris tidak ada koordinasi menjadi hal-hal yang sering dialami 
TKI. 

Sementara jumlah TKI bermasalah setiap tahunnya meningkat. BNP2TKI mencatat 
dari Januari hingga Juni 2010 jumlah TKI yang bermasalah 25.064 meningkat 41 % 
diperiode yang sama pada tahun 2009 sebesar 17.793. Arab Saudi adalah negara 
terbanyak yang memiliki TKI bermasalah, dari Januari-Juni 2010 jumlah TKI 
bermasalah yang kembali ke tanah air berjumlah 13.559 TKI, dari jumlah ini 
1.064 dianiaya majikan, 874 mengalami pelecehan seks, dan 3568 sakit saat 
bekerja.

Melihat jumlah ini, tergambar bagaimana segi kuantitas menjadi prioritas 
ketimbang kualitas. Tidak menutup kemungkinan, TKI yang bermasalah tidak 
memenuhi syarat sebagai TKI layaknya, dan hanya bermodalkan stempel pengesahan 
karena lemahnya pengawasan dari pemerintah. Jika sudah demikian tentunya tidak 
salah jika Indonesia masuk dalam tingkat menengah (tier2) dalam hal human 
Trafficking. 

Pemerintah dalam hal ini Presiden harus segera mengambil keputusan untuk 
mengakhiri dualisme masalah penanganan TKI, agar permasalahan pengiriman TKI 
ini tidak berlarut-larut. Jika tidak, siapa yang akan membela para TKI yang 
dijuluki pahlawan devisa. 

Sudah menjadi rahasia umum 6 juta TKI yang bekerja di luar menghasilkan dana 
Trilinan rupiah bagi negara, dan ini menjadi rebutan dan saling klaim siapa 
yang pantas menanganinya.

Masalah lain adalah, keseriusan pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah 
untuk meningkatkan kesejahteraan TKI. Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat 
bernegosiasi dengan pemerintah Arab saudi untuk menaikan gaji TKI dari 600 real 
menjadi 800 real, dan hal tersebut berhasil dilaksanakan baru pada tahun 2007. 
Padahal pemberian gaji TKI sebesar 600 real ditetapkan oleh pemerintah Arab 
Saudi pada tahun 1970. Bisa dibayangkan berapa puluh tahun pemerintah tidak 
memperjuangkan gaji para TKI khususnya yang bekerja sebagai pembantu rumah 
tangga di Arab Saudi.

Pemerintah pernah menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia akibat tingginya 
angka kekerasan terhadap mereka, tapi nyatanya juga tidak efektif, karena masih 
banyak TKI yang masuk ke negara tersebut secara ilegal, dan bahkan masih ada 
beberapa PJTKI yang mengirim TKI ke Malaysia. 

Letter Of Intent (LOI) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Malaysia 
soal TKI hingga kini belum juga menghasilkan kesepakatan yang nyata perihal 
kenaikan upah, hari libur, dan paspor. 

Dari segi kuantitas, jumlah TKI di luar negeri jauh melebihi jumlah tenaga 
kerja dari Filipina. Namun dari segi kualitas, keberadaan TKI masih di bawah 
tenaga kerja Filipina. Jumlah TKI di luar negeri pada tahun 2009 lalu, tercatat 
kurang lebih 6 juta TKI dengan jumlah remittance (pengiriman uang) sekitar Rp 
60 trilyun. Sedangkan tenaga kerja Filipina di luar negeri tidak sampai 2 juta 
orang, tetapi bisa memberikan pengaruh besar bagi pendapatan negaranya.

Kelemahan yang paling mencolok dari TKI adalah dari sisi penyiapan sumber daya 
manusia (SDM). Kita masih asyik dan puas dengan TKI informal yang notabene 
banyak di sektor penata laksana rumah tangga (PLRT). Sementara Filipina banyak 
menyiapkan tenaga kerja di sektor formal, yang notabene penghasilannya jauh 
lebih tinggi dibanding gaji TKI. 

Semua ini menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah untuk meningkatkan 
kesejahteraan sekaligus menaikan martabat para TKI, dan tidak hanya 
menginginkan devisa dari mereka. Jika PR ini tak diselesaikan, bukan mustahil 
Indonesia masih menjadi negara yang bermasalah dengan Human Trafficking.

Aribowo Suprayogi,
Redaktur Eksekutif Liputan6.com



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke