http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=6750

2009-04-06 
Situ Gintung dan Kearifan Memelihara Alam


Thomas Koten



Di tengah ingar-bingar kampanye politik, tiba-tiba publik dikejutkan oleh 
bencana ekologi akibat jebolnya Situ Gintung, danau atau cekungan yang terletak 
di Cirendeu, Ciputat Tangerang Selatan. Situ ini berfungsi sebagai penampung 
air dari daerah di atasnya, seperti Kelurahan Pisangan, Poncol bagian atas, dan 
Cirendeu bagian atas.

Berbagai wacana dan sikap saling tuding di antara sejumlah pihak yang 
berkepentingan pun merebak. Tetapi, di balik itu, jelas bahwa ketika sebagian 
besar daerah bagian atas Situ Gintung masih lahan kosong, sebagai kebun rakyat, 
empang pemeliharaan ikan, dan rawa-rawa, aka air yang masuk ke situ masih cukup 
seimbang dengan daya tahannya. Namun, ketika banyak kawasan itu disesaki 
bangunan maka semakin banyak air mengalir ke Situ Gintung.

Bagaimana mengelaborasi perihal seputar tragedi Situ Gintung, khususnya dalam 
pertaliannya dengan kearifan kita memelihara alam atau lingkungan? Satu hal 
yang pasti, tragedi Situ Gintung merupakanperistiwa penting yang sungguh 
menyentak dan kembali menyingkapkan kebrengsekan dalam mengabaikan tata 
lingkungan yang mengakibatkan hilangnya keseimbangan ekosistem. Banjir yang 
selama ini menggenangi Jakarta, misalnya, adalah akibat dari penggundulan hutan 
dalam skala besar di daerah hulu. 

Mengapa semua itu dapat terjadi? Menurut Prof Emo Kastama Abdulkodir (1992), 
landasan perilaku manusia yang mengabaikan tata lingkungan alam tidak lain 
karena kedangkalan refleksi hidup manusia dalam menyelami filsafat hidupnya dan 
filsafat lingkungan, yang di dalamnya mencakup "etika hidup" dan "etika 
lingkungan". Wujud dari itu adalah kesadaran manusia terhadap makna, peranan, 
dan fungsi lingkungan hidup bagi manusia dan keberlanjutan kelestarian 
ekosistem.

Rincian dari filsafat kehidupan itu adalah filsafat religi, imperialisme 
biologis, pembangunan, ekonomis, sumber daya alam yang melimpah, dan mentalitas 
frontier. Esai ini tidak mengulas filsafat-filsafat itu, karena yang disoroti 
adalah yang langsung bertalian dengan etika lingkungan yang di dalamnya 
termaktub kearifan kita memperlakukan alam, baik dalam memanfaatkannya maupun 
memeliharanya.

Francis Bacon menulis Nature, to be commanded, must be obeyed". Alam, untuk 
diperintah, harus ditaati. Memerintah alam berarti memanfaatkan apa pun yang 
disediakan alam untuk kemaslahatan manusia, sementara mematuhi alam berarti 
mengenal sifat-sifat alam agar pemanfaatannya tidak merugikan manusia dan alam 
(YF LA, Kahija, 2007).


Bijaksana

Dalam filsafat Timur, manusia yang taat aturan alam akan memperlakukan alam 
secara bijaksana sesuai norma-nroma, yang oleh para ilmuwan kerap disebut 
sebagai "kearifan pedesaan", "kearifan lokal", dan "kearifan tradisional". 
Kearifan-kearifan ini mengendap dan diwariskan dalam mitos-mitos cara 
berhubungan dengan alam. Meski mitos-mitos itu sulit dipahami karena sarat 
dengan simbol, metafor, dan analogi -jauh dari rasional ekologi-, namun itu 
muncul dari kepedulian yang serius dalam masyarakat kita sejak lama yang 
mendorong mereka berperilaku konsisten dengan norma-norma lingkungan. 

Untuk itu, tanpa dikuliahi ekologi pun, hutan-hutan dan segala sumber daya alam 
dan keseimbangan ekosistem tetap dijaga. Psikolog Carl Gustaf Jung pernah 
memuji orang-orang Timur sebagai ras yang amat sensitif dalam menangkap spirit 
alam. Nenek moyang orang-orang Timur akrab dengan aktivitas asketis, sehingga 
sangat "menyatu" dengan alam. Pertanyaannya, pudarkah kemampuan itu?

Banyak orang yang terlalu terpengaruh oleh pemikiran dan filsafat Barat yang 
hanya mengandalkan rasio dan mengabaikan perasaan, meninggalkan pemikiran ala 
filsafat Timur. Artinya, pemikiran Barat yang sangat mengandalkan rasio, telah 
begitu merasuk kaum terdidik kita saat ini. Dengan rasionalitas Barat, kaum 
muda-terpelajar diajarkan bahwa segala makhluk hidup tidak memiliki roh dan 
sebagainya. Akibatnya, hutan-hutan digunduli. Dengan bantuan teknologi hasil 
karya manusia Barat, alam dieksploitasi dan dikuras. 

Pengagungan rasio dan terlalu membanggakan industrial-ekologis telah membuat 
manusia lupa pada spirit alam, pada eksistensi semesta, dan menjadi arogan dan 
egois. Dengan perilaku egois dan arogan, manusia menjadi lupa bahwa ia memiliki 
tanggung jawab moral yang amat besar terhadap alam, tidak bersikap ceroboh dan 
wajib memelihara dan merawatnya, demi tetap seimbangnya ekosistem dan 
kelangsungan hidup semesta. 

Maka, dibutuhkan bangunan etik baru dalam perilaku manusia untuk merawat alam 
dan menjaga keseimbangan ekosistem. Banjir dahsyat atau tragedi Situ Gintung 
merupakan indikasi dari telah rusaknya keseimbangan ekosistem, sekaligus 
mengajak kita untuk lebih arif dan lebih peduli secara etik dalam berhadapan 
dengan alam. Memelihara alam secara arif dengan terus memerhatikan keseimbangan 
lingkungan adalah cermin kepedulian etis, moral, bahkan juga teologis manusia 
terhadap alam.


Penulis adalah Direktur Social Development Center


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke