Televisi Batavia

Oleh Widiyanto
Pantau

Widiyanto bekerja sebagai editor Jurnal Hukum Jentera terbitan Pusat 
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Liputan ini dikerjakan dengan sposor  
Unesco Jakarta via Yayasan Pantau.


SURATKABAR dan televisi di Indonesia punya sejarah kepemilikan berbeda. Harian 
macam Kompas, Suara Merdeka (Semarang), Waspada (Medan) atau  Pedoman Rakyat 
(Makassar), sekadar menyebut contoh, dibangun oleh barisan wartawan dengan 
modal ala kadarnya. Televisi lain. Media ini kebanyakan dibangun  oleh 
pengusaha bermodal besar, yang kebanyakan memiliki cakar bisnis di banyak 
sektor.

Kita bisa memulainya dari Trans TV, salah satu stasiun televisi 
termuda. Resmi mengudara pada 15 Desember 2001, Trans TV mengiringi pasang naik 
pertumbuhan media sesudah kekuasaan Presiden Soeharto berakhir. Seluruh saham 
Trans TV dikuasai Chairul Tanjung lewat kepemilikan 99,99 persen PT Para Inti 
Investindo, dan sisanya PT Para Investindo. Keduanya dari kelompok bisnis Grup 
Para milik Tanjung.

Siapakah Chairul Tanjung? "Dia seorang pebisnis sejati. Produk utamanya 
bisnis," kata Riza Primadi. Riza bekas wartawan BBC London, kini masuk Astro 
Nusantara, perusahaan penyedia layanan televisi berlangganan. Riza ikut 
mengembangkan stasiun televisi SCTV dan terakhir Trans TV. Saat  membidani 
Trans TV, Riza berkongsi bersama Alex Kumara, mantan direktur operasional RCTI, 
dan Ishadi SK, mantan direktur TVRI.

Riza merasa oke saja bekerja untuk Tanjung ketika ikut mendirikan Trans TV. 
"Perusahaannya tidak ada yang masuk BPPN, tidak pernah kena kasus kriminal, 
tidak kayak sebagian besar konglomerat kita. Buat saya itu  sebuah hal yang 
membanggakan. Buat saya sama sekali tidak ada masalah." BPPN  adalah akronim 
dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Tanjung kelahiran Jakarta 1962. Sejak kuliah Tanjung sudah berbisnis.
Sepuluh tahun kemudian dia punya kelompok usaha bernama Para Group.  Awalnya, 
kelompok ini mendirikan usaha ekspor sepatu anak-anak. Modal sebesar Rp 150 
juta berasal dari Bank Exim.

Tanjung mengembangkan cakar bisnisnya lewat Bandung Supermall. Dia juga 
menguasai Bank Mega yang dibeli pada 1996 dari kelompok Bapindo. Bank  Mega 
waktu itu dalam keadaan sakit-sakitan. Setelah diambil Tanjung, Bank  Mega 
pelan-pelan mengalami perbaikan. Pada 28 Maret 2001, bank ini berhasil 
mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Jakarta seharga Rp 1.125 per lembar.

Dua tahun kemudian, dalam sebuah wawancara dengan Warta Ekonomi,  Chairul 
Tanjung mengatakan bahwa Bank Mega menjadi sumber dana (cash cow) terbesar bagi 
Grup Para. "Kontribusinya sekitar 40 persen."

Kontribusi Trans TV juga tidak kecil. Sekurang-kurangnya Trans TV sudah 
mengalami break event point by operation pada tahun kedua. Artinya,  sudah tak 
perlu kucuran dana lagi dari pemilik. "Kalau tidak salah sekitar  bulan Mei 
2003," ujar Riza Primadi.

Titik balik keberhasilan Trans TV berlangsung sejak kuartal satu 2002.
Menurut survei Nielsen Media Research, saat itu Trans TV berada di 
peringkat kelima sebagai peraih iklan terbanyak dari 10 stasiun televisi.
Nominalnya sebesar Rp 149,2 milyar.


STASIUN SCTV juga sepenuhnya didirikan, dikuasai, dan dikelola 
pengusaha besar. Orang-orang "Cendana" -pengusaha yang dekat dengan keluarga 
Soeharto-macam Sudwikatmono, Peter Gontha, Henry Pribadi, Halimah Bambang 
Triatmodjo, dan Azis Mochtar pernah menguasainya. Kini SCTV dikuasai pengusaha 
besar lain: keluarga Sariaatmadja.

Bisnis keluarga ini teknologi informasi. Mulanya, mereka masuk SCTV 
melalui PT Abhimata Mediatama pada 2002. Belakangan mereka tampil sebagai  
pemilik mayoritas PT Surya Citra Media Tbk, induk perusahaan SCTV, setelah  
membeli sisa saham PT Citrabumi Sacna milik Henry Pribadi dan PT Indika  
Multimedia kepunyaan Agus Lasmono, anak Sudwikatmono.

Dalam struktur komisaris SCTV keluaran 2003, keluarga Sariaatmadja 
diwakili oleh Eddy Kusnadi Sariaatmadja dan adiknya, Fofo Sariaatmadja. Eddy  
berusia 52 tahun, sedang Fofo 42 tahun. Keduanya meraih master of engineering 
science dari Universitas New South Wales, Australia. Filosofi hidup  Fofo 
adalah kebersamaan. Idolanya, Bill Gates.

Di samping menguasai PT Abhimata Mediatama, kelompok bisnis 
Sariaatmadja juga punya beberapa perusahaan yang masih berafiliasi dengan grup 
ini  antara lain PT Abhimata Citra Abadi, PT Abhimata Persada, PT Bitnet 
Komunikasindo, dan PT Elang Mahkota Teknologi.

Semua dikonsolidasikan dalam Grup Elang Mahkota Teknologi -disingkat  Emtek. 
Pada 1980-an, Emtek adalah pemegang lisensi tunggal komputer merek  Compaq di 
Indonesia. Grup ini juga disinyalir jadi pemasok kebutuhan komputer dan 
teknologi informasi di sejumlah departemen pada masa pemerintahan Soeharto.

Pesatnya pertumbuhan televisi lokal sejak Soeharto mundur, mendorong keluarga 
ini menggandeng kelompok penerbitan Mugi Rekso Abadi (MRA).  Mereka mendirikan 
O Channel, televisi lokal Jakarta, dengan banyak acara  kehidupan metropolitan: 
makanan, pesta, pakaian, dan gaya hidup.

Amelia Hezkasary Day dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatakan  bahwa 
kiprah Sariaatmadja tidak lepas dari dukungan modal Singleton Group  dari 
Australia. Perusahaan yang dimaksud oleh Miladay -panggilan akrab  Amelia 
Hezkasary Day- tak lain sebuah konglomerat bisnis layanan komunikasi  dari 
Australia, mulai jaringan radio, televisi, kehumasan, sampai  periklanan. 
Mereka juga bergerak dalam bantuan operasi bisnis dan manajemen keuangan media.

Singleton Group Limited adalah hasil metamorfosis dari John Singleton
Advertising Limited (JSA) pada 1996. Singleton Group sendiri sejak 2002
sebenarnya sudah melebur ke dalam payung konglomerasi STW 
Communications Group Limited, biasa disingkat SGN. Dalam profil perusahaan ini  
terdapat nama John Singleton, pendiri-cum-pemegang saham terbesar. John  
Singleton, menurut Miladay, teman kuliah Sariatmadja di Australia.


JUMAT, 30 September lalu, ANTV bikin geger jagat televisi Batavia: di
Executive Club Hotel Hilton Jakarta, direktur utama PT Cakrawala 
Andalas Televisi, perusahaan ANTV, Anindya Novyan Bakrie mengumumkan pembelian 
secara langsung 20 persen saham ANTV oleh Star TV milik baron media  global 
Rupert Murdoch.

Anin adalah anak tertua Aburizal Bakrie, kini Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat, dari kelompok bisnis keluarga Bakrie. Ini salah 
satu keluarga besar juga di Batavia. Kelompok ini punya usaha sektor 
properti antara lain lewat Bakrieland, jasa keuangan lewat Bakrie Investindo 
dan Bakrie Internasional Finance, serta di sektor telekomunikasi ada PT  Bakrie 
Telecom, produsen Esia, penyedia layanan telepon seluler CDMA (Code Division 
Multiple Access).

Anin mengatakan bahwa saham yang dibeli Murdoch ini adalah saham baru. 
Komposisi pemilik saham lama tak berubah. Siapa pemilik sisanya?

Menurut Perubahan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT Cakrawala Andalas Televisi, 
yang dikeluarkan pada 2004, ANTV dimiliki PT Bakrie 
Investindo dengan 191.443 saham, PT CMA Indonesia 60.000 saham, PT Bune Era  
Mandiri 53.880, PT Satria Cita Perkasa 457.378, dan PT Kencana Cita Kusuma  
72.222.
Sedang Nirwan Dermawan Bakrie, paman Anin, sebagai pemilik perorangan  dengan 
87.108 saham.

PT CMA Indonesia pernah jadi pemegang saham mayoritas ketika ANTV
tersuruk dalam utang Rp 1,2 trilyun pada 2002. Perusahaan fund management ini  
adalah perusahaan bentukan para pemilik piutang yang menyetujui konversi  
utangnya dalam saham kepemilikan. Di sini, Anin duduk sebagai direktur utamanya.

Masuknya Murdoch ke ANTV menambah fragmentasi bisnis pertelevisian.  Menurut 
film dokumenter Outfoxed: Rupert Murdoch's War on Journalism, besutan sutradara 
Robert Greenwald, Murdoch sedikitnya menguasai 300 saluran televisi, puluhan 
perusahaan film, dan jaringan bioskop. Murdoch  memegang News Corporation dan 
Fox News, dua konglomerasi media besar dunia. Dia menguasai tiga penerbit buku: 
HarperCollins, ReagenBooks, dan Zondervan
Christian Publisher.

Jika ditotal, seluruh perusahaan Murdoch melayani tiga per empat 
penduduk bumi. Murdoch punya kuku di ratusan suratkabar di Australia, Fiji,  
Papua New Guinea, Inggris, maupun Amerika Serikat. Di televisi, Murdoch 
menguasai jaringan Fox Station Group, BSkyB di Inggris, Sky Italia, Sky Amerika 
Latin,
Foxtel Australia, DirectTV Group Amerika Utara dan Latin, serta Star TV
untuk wilayah Asia.

Secara modal, investasi Murdoch di ANTV tentu tak seberapa. Majalah 
Newsweek
menilai harga saham ANTV yang dibeli Murdoch kurang dari US$20 juta. 
Tapi
kehadiran Murdoch di Jakarta menandai makin terbukanya pasar televisi 
di
Indonesia. Integrasi dengan pasar global makin dekat. Kehadiran Murdoch
mengubah peta kepemilikan televisi secara cepat. Ada kecenderungan
perusahaan internasional lain, termasuk Astro TV dari Malaysia, akan
merambah Indonesia.

Investor-investor ini datang, baik Murdoch maupun Bakrie, bukan karena
mereka mau melayani publik, macam suratkabar awal, tapi karena bisnis
televisi mendatangkan banyak uang. Bayangkan, ada pasar konsumen 
sebesar 220
juta orang? Diatur secara terpusat dengan aturan hukum lemah? Birokrasi
mudah disuap dan publik yang tidak kritis terhadap media? Data Nielsen 
Media
Research 2005, menunjukkan angka 82 persen untuk konsumsi televisi dari
total konsumsi media selama 2004.

Masih menurut Nielsen Media Research, televisi mengeruk sekitar Rp 16
trilyun, atau sekitar 70 persen dari total belanja iklan yang mencapai 
Rp 23
trilyun pada 2005. Disusul suratkabar dan majalah, masing-masing dengan 
26
persen dan 5 persen.


SIAPA pemilik Lativi? Saluran televisi ini didirikan dan dikuasai oleh
Alatief Corporation milik Abdul Latief, seorang pengusaha dan playboy 
yang
pernah diangkat Soeharto jadi Menteri Tenaga Kerja. Mulai siaran 
Agustus
2001, awalnya stasiun televisi ini bernama Pasaraya Mediakarya untuk
keperluan lini bisnis Latief lainnya, ritel pakaian Pasaraya. Baru 
setelah
hendak mengudara, perusahaan ini berganti nama menjadi PT Lativi 
Mediakarya.

Perubahan itu tercatat dalam Perubahan Anggaran Dasar PT Pasaraya 
Mediakarya
yang ditandatangani di hadapan notaris Vita Buena pada 7 Agustus 2000, 
dan
disahkan dalam Tambahan Berita Negara nomor 24/1837 tahun 2001.

Saya tak menemukan nama Abdul Latief dalam dokumen itu. Namun, saya
menemukan nama Usman Ja'far duduk sebagai direktur utama. Usman Ja'far,
orang Melayu, tangan kanan Latief dan pernah menjabat komisaris 
Pasaraya.
Sekarang, Ja'far jadi gubernur Kalimantan Barat.

Mencuatnya kredit macet Bank Mandiri senilai Rp 1,5 trilyun pada Mei 
2005
menjadi babak kelam televisi ini. Televisi ini mendapat kredit Rp 
328,52
milyar. Direktur Lativi Hasim Sumiana, pengganti Usman Ja'far, sempat
ditetapkan tersangka. Nama Abdul Latief dan Usman sendiri diseret-seret
sebagai saksi.

Soal iklan, menurut Gunawan Alif dari majalah periklanan Cakram, Lativi
menempati peringkat kedelapan. Tak berbeda jauh dari ANTV maupun TV7 
yang
menempati posisi keenam dan ketujuh. "Mereka bertahan karena program
Spongebob dan tayangan yang esek-esek," kata Alif kepada saya. 
Spongebob
adalah film kartun anak-anak yang bercerita soal kehidupan binatang 
bawah
laut.

"Kalau mereka tak berhasil menaikkan rating, itu akan sulit," tambah 
Alif. "
Karena lima besar kan kebanyakan televisi lama yang sudah terbentuk."

Di tengah kondisi timpang ini, kabar masuknya dana swasta
internasional -seperti halnya Murdoch di ANTV- menyeruap di Lativi. 
Kali ini
yang datang adalah TV3, yang dimiliki oleh Media Prima Berhad-MPB dari
Malaysia. Media Prima diketahui juga pemilik 43 persen saham harian New
Straits Times.

Miladay dari KPI mengatakan bahwa bentuk hubungan Lativi dan TV3 ini 
kayak
penanaman modal asing. TV3 akan menyuntikkan dana dan Lativi akan 
melakukan
restrukturisasi utangnya. Struktur kepemilikannya akan berubah. Tapi 
ini
tidak untuk sekarang.

Di luar Lativi dan ANTV, stasiun televisi TV7 juga sempat dikabarkan 
hendak
dimasuki modal internasional. TV7 berbeda kepemilikannya dengan
stasiun-stasiun lainnya. TV7 berdiri di lingkungan Kelompok Kompas 
Gramedia,
suatu kelompok bisnis yang dikenal sebagai pemain kuat di sektor media. 
Tapi
benarkah kelompok ini melulu mengurusi media? Tidak juga. Dalam 
kelompok
tersebut ada juga bisnis perhotelan, perdagangan, dan jaringan toko 
buku
Gramedia.

Lebih dari itu, TV7 ternyata tak secara eksplisit menyebut Kelompok 
Kompas
Gramedia selaku pemiliknya. Dalam kopian anggaran dasar televisi ini, 
saya
mencatat ada enam pihak pemiliknya. Tiga perorangan, tiga perusahaan.

Tiga pemegang saham perorangannya adalah Sukoyo (3.000 saham atau 1%),
Yongky Sutanto (10.500 saham atau 3,5%), dan Lanny Irawati Lesmana 
(5,5%).
Tiga nama perusahaan pemilik TV7 adalah PT Teletransmedia (48%), PT 
Transito
Tatamedia (38,7%), dan PT Duta Panca Pesona (3,3%).

Dari penelusuran saya, Lanny Irawati Lesmana punya hubungan darah 
dengan
Karna Brata Lesmana, presiden direktur PT Inter Delta Tbk, distributor
peralatan fotografi produksi Canon dan Kodak Imaging Group. Di TV7, dia 
juga
punya ketersinggungan dengan PT Duta Panca Pesona. Sementara Sukoyo 
seorang
pengusaha tambak udang asal Jawa Timur. Awalnya, dialah pemegang izin 
siaran
PT Duta Visual Nusantara, perusahaan TV7. Kelompok Kompas Gramedia 
lantas
membelinya dan mengubah namanya jadi PT Duta Visual Nusantara Tivi 
Tujuh.
"Sukoyo sendiri dapat banyak duit dari hasil penjualan ini," kata 
Miladay.
Dia lantas bikin stasiun televisi lokal Jakarta bernama Space Toon.

Saat Murdoch hendak deal dengan ANTV, stasiun TV7 santer disebut akan 
dibeli
oleh Murdoch. Namun hal ini dibantah pihak TV7. "Sampai sekarang belum 
ada
kabar dari atasan, Mas," kata Moko Pamungkas, jurubicara humas TV7, 
kepada
saya.

Uni Lubis, wakil pemimpin redaksi TV7, mengatakan hal yang sama. "Kita
selalu ada rapat tiap Kamis di Palmerah (kantor pusat kelompok Kompas), 
tapi
soal itu tak penah disinggung pimpinan," kata Uni. Struktur 
kepemilikannya
masih seperti semula.


DEMI mengamankan kepentingan Cendana, dulu lima stasiun televisi 
pertama
yang muncul di zaman Soeharto, pemiliknya bisa dipastikan adalah 
orang-orang
di lingkungan Cendana. Mulai dari Bambang Triatmodjo, Siti Hardijanti
Rukmana, Sudwikatmono, Sudono Salim, sampai Peter Gontha.

Sekarang trennya berubah ke arah liberalisme ekonomi. Pemain luar 
negeri
dapat berkecimpung langsung sebagai pemilik. Dasar aturannya Pasal 17  
Undang-Undang Penyiaran tahun 2002.

Aturan itu membolehkan investor mancanegara memiliki langsung maksimal  20 
persen dari seluruh modal sebuah televisi. Namun, warga negara luar Indonesia 
hanya boleh menempati dua posisi perusahaan: bagian teknik  dan bagian keuangan.

Tapi, realitas menunjukkan, stasiun-stasiun televisi besar di 
Indonesia, taruhlah Indosiar dan RCTI, belum lagi lepas dari jejaring Cendana 
itu. Indosiar, misalnya, tak bisa dilepaskan dari gurat bisnis Sudono Salim, 
taipan terbesar di zaman Soeharto. Generasi kedua keluarga Salim,  Andree Halim 
dan Anthony Salim, pada 1999 tercatat menjadi pemiliknya.  Proporsi 
kepemilikannya sama. Masing-masing 50 persen.

Ketika krisis ekonomi, Grup Salim memang sempat terhuyung-huyung oleh  utang. 
Asetnya macam BCA ditarik oleh BPPN. Indosiar termasuk juga. Biar lebih mudah 
dalam mengelolanya, oleh BPPN, dibikinlah holding company baru  khusus untuk 
menampung perusahaan-perusahaan Salim. Namanya PT Holdiko  Perkasa.

Pada tahun yang sama, 1999, terjadi perubahan struktur kepemilikan. 
Holdiko masuk dan langsung memegang separuh saham Indosiar. Kepemilikan Salim  
muda dikonversi ke saham sisanya. Kali ini mereka tak muncul secara  
perorangan, tapi masuk lewat jalur perusahaan lain bernama PT Prima Visualindo. 
Kakak-beradik, Andree dan Anthony, punya masing-masing 33,3 persen di 
perusahaan ini. Waktu itu Indosiar belum tercatat di bursa. Masih 
perusahaan tertutup.

Tahun berikutnya, 2001, perbandingan saham Holdiko dengan PT Prima
Visualindo mengalami perubahan. Berat sebelah. Holdiko menguasai 67, 37 persen, 
sedang PT Prima Visualindo 32, 67 persen.

Seperti balon udara, saham Holdiko di Indosiar, kian hari kian menipis. 
Saya kutip dari Proposal Penyediaan Jasa di BPPN yang dikeluarkan PT  Trimegah 
Securities, Tbk, pada akhir tahun 2001 itu, saham Holdiko menyusut  hingga 
tinggal 8,26 persen. Majalah Trust menduga Salim ada di balik kasus penyusutan 
ini.

Buktinya, Salim juga menguasai PT Prima Visualindo, pemilik 27,74 
persen saham Indosiar. Di dokumen pendirian perusahaan ini, nama Salim memang  
tak disebut. Yang tercatat adalah Widodo Purnomosidi sebagai direktur utama  
saat PT Prima Visualindo didirikan tahun 1990.

Purnomosidi juga ikut mendirikan Indosiar bersama Karel Budiman. Dalam  arsip 
milis apakabar, saya menemukan nama duo Salim, Purnomosidi dan Karel Budiman, 
tergabung dalam PT Pertiwi Asri, perusahaan pengembang yang  pernah bermasalah 
dengan Departemen Kehutanan.

Sedang lewat PT TDM Asset Management, Salim punya 29,02 persen saham Indosiar, 
dan di PT Prima Visualindo punya 27,74 persen. Salim berhasil tampil sebagai 
pemilik mayoritas Indosiar kembali. Kendali Indosiar pun kembali ke tangan 
keluarga Salim. Saat itu Indosiar sudah listing di  bursa efek dengan holding 
PT Indosiar Visual Mandiri Tbk. Nama emitennya  IDSR. Publik menguasai 43,24 
persen saham.

Sudah jadi pemegang mayoritas, tak membuat langkah Salim di Indosiar  mentok. 
Strategi menguasai kembali lewat dua kaki ini terbukti berhasil di perusahaan 
induk televisi berpusat di Cengkareng ini. Taktik Salim berikutnya adalah 
mengurangi kepemilikan publik sekaligus menambah  porsi kepemilikannya. Salim 
lantas bikin holding company baru, menggantikan  IDSR di bursa. Senin, 4 
Oktober 2004. Namanya PT Indosiar Karya Media Tbk. Emitennya tercatat IDKM. PT 
Indosiar Visual Mandiri delisting.

Angky Handoko, direktur utama Indosiar mengatakan, "Pergantian holding  ini 
diharapkan akan memudahkan perusahaan melakukan ekspansi usaha ke  sektor 
multimedia lainnya."

Tapi analis menduga ini hanya akal-akalan untuk menutupi usaha ekspansi Salim. 
Faktanya, di holding baru, kepemilikan sahamnya melonjak tajam, mencapai 95,24 
persen melalui PT Prima Visualindo. Maka, episode  kepemilikan Indosiar adalah 
episode bisnis Salim.


BAGAIMANA dengan RCTI? Lingkaran keluarga Cendana terasa kental di sana. 
Lebih-lebih setelah RCTI, TPI, dan Global TV bersinergi di bawah satu  payung 
raksasa perusahaan media: Media Nusantara Citra dari Bimantara Citra  Tbk.

Bimantara sendiri adalah perusahaan yang didirikan di Jakarta pada 1981 dengan 
motor trio Bambang Triatmodjo, anak ketiga Soeharto, beserta dua rekan 
sekolahnya, Rosano Barack dan M. Tachril Sapi'ie.

Lengsernya Soeharto bikin bisnis anak-anaknya pontang-panting. Anak dan
kroni Soeharto berdatangan ke pengadilan. Buat para investor, berbisnis
dengan mereka serasa haram. Apalagi meliriknya. Itu pernah dialami 
Bimantara
Citra. Tudingan perusahaan yang identik dengan Cendana -lewat Bambang
Triatmodjo- belum bisa lekang. Harga sahamnya stagnan. Investor masih
was-was dengan cap rezim Soeharto yang antidemokrasi, korup, dan 
terlibat pembunuhan jutaan orang.

Sampai 2001, Bambang Tri masih jadi mayoritas dengan 31,49 persen. Dia  masuk 
lewat PT Asriland.

Kondisi demikian sepertinya tak berlaku buat Bambang Hary Iswanto
Tanoesoedibjo -yang akrab dipanggil Hary Tanoe, pialang muda Tionghoa  asal 
Surabaya. Hary Tanoe justru datang dan masuk seperti pahlawan  penyelamat. " 
Hary Tanoe bukan orang media, dia fund manager yang tahu gimana uang beredar," 
komentar Miladay dari KPI.

Pada 2002, Hary Tanoe masuk dan langsung menggerus saham milik Bambang  Tri. 
Hary Tanoe langsung kuasai 24,94 persen lewat Bhakti Investama. Saham Asriland 
susut tinggal 12,37 persen. Jadi mayoritas. Saham Bimantara di lantai bursa pun 
terus bergairah merangkak naik.

Tahun-tahun berikutnya ditandai pasang-surut. Asriland sempat menambah  pundi 
sahamnya jadi 14,20 persen, dan Bhakti Investama bertambah jadi 37,33 persen. 
Pada 2004, Bhakti Investama jadi 39,60 persen, dan Asriland mengalami 
antiklimaks. Turun jadi 11,39 persen. Sisanya dimiliki oleh Almington Asset 
Limited, Astroria Development Limited, PT Sinarmas Sekuritas, PT Rizki Bukit 
Abadi, dan PT Matra Teguh Abadi masing-masing dengan 10,89 persen; 5,59; 5,41; 
4,15; dan 0,78. Selebihnya dimiliki masyarakat dan koperasi sebesar 22,19 
persen.

Bimantara adalah sub-holding Bhakti Investama di bidang media dan 
penyiaran. Khusus untuk mengonsolidasikan usaha bidang penyiaran, dibikinlah PT 
 Media Nusantara Citra yang 99,99 persen sahamnya dikuasai Bimantara Citra. 
Sisanya, 0,01 persen dimiliki PT Infokom Elektrindo, masih anak  perusahaan 
Bimantara Citra. Sekarang sub dari sub-holding Bhakti Investama ini menguasai 
100 persen saham di RCTI dan Global TV.

Bagaimana jejak Bimantara di TPI? Di stasiun televisi swasta tertua 
ketiga Indonesia, Bimantara menyisakan 25 persen saham buat Siti Hardijanti 
Rukmana -alias Tutut, anak tertua Soeharto yang juga pemilik lama.

Artine Utomo, chief executive operation TPI, mengatakan kepada saya 
bahwa Bimantara diminta masuk TPI atas permintaan Tutut dua setengah tahun  
lalu. Tutut langsung yang meminta ke Bambang Tri. "Perusahaan ini hampir 
dipailitkan karena utang. Terus Bimantara masuk. Jadi ini rescue  operation, 
meski banyak orang yang mengira kita ambil alih," kata Artine.

"Jadi bukan Bimantara yang mengambil alih?" tanya saya.
"Itu cerita asalnya. Kita tidak tahu setelah kita masuk, sekarang 
menjadi seperti ini."

Bimantara juga membidik pasar media cetak dengan membikin majalah  Trust, dan 
sempat menempatkan Artine sebagai direktur di sini. Di samping itu, Bimantara 
juga membuat tabloid Genie, dan menerbitkan koran Seputar Indonesia.

Ekspansi media kelompok Bimantara tak berhenti di sini. Di ranah radio, 
konglomerasi ini memiliki Radio Trijaya Network yang membawahkan  sejumlah 
radio di Indonesia macam Radio Dangdut 97.1 FM, Women Radio 94.3 FM,  dan Radio 
Arif Rahman Hakim (ARH) 88.4 FM.

Sari Widuri, penyiar Women Radio, punya analisis tersendiri dengan
kepemilikan macam ini. "MNC itu ibarat giant yang ingin menguasai 
media. Radio dan televisi sepertinya dikonsolidasikan. RCTI diklopkan dengan  
segmen Trijaya dan Women Radio. TPI dengan Radio Dangdut, dan Global TV dengan  
ARH FM," kata Sari.

Keempatnya diwadahi dalam MNC Radio Network yang 95 persen sahamnya  dikuasai 
Media Nusantara Citra. Ketika peluncuran jaringan ini, pada 7 September silam, 
baik RCTI, Global TV, maupun TPI menayangkan secara langsung  selama 90 menit. 
Demikian juga jaringan radionya, macam Women Radio, ikut  serta
menyiarkan. Serempak.

Ekor dari tayangan itu membuat Komisi Penyiaran Indonesia dibanjiri 
keluhan. Mulai telepon sampai pesan singkat. "Inbox handphone saya sampai penuh 
menerima pengaduan," kata Miladay. Komisi ini menilai telah terjadi  monopoli 
siaran. Sinansari ecip, wakil ketua komisi itu, berkirim surat meminta 
klarifikasi ke RCTI.

Pada minggu berikutnya, surat balasan datang dari Gilang Iskandar, 
deputy corporate secretary RCTI. Ada dua sanggahan yang diberikan Iskandar. 
Pertama, acara tersebut bersifat satu kali tayang atau one time off.  Bukan 
acara tetap. Kedua, dengan klaim mengutip survei ACNielsen, audience  share 
pada siaran tersebut cuma 20 persen. Rinciannya Global TV 1 persen,  RCTI 12 
persen, dan TPI 7 persen.

Artine Utomo dari TPI mengatakan hal senada ketika saya wawancarai. Dia menolak 
jika dituding memonopoli. "TPI sudah dua setengah tahun lebih dibawah MNC. 
Selama itu baru tiga atau empat kali siaran bareng.  Pertanyaanmu itu kuatir 
bakal ada siaran seragam pada televisi-televisi? TPI kan  punya program 
sendiri, punya segmen sendiri-sendiri. RCTI juga. Global juga demikian. 
News-nya bisa Anda monitoring," kata Artine dengan nada  meninggi.
"Jadi kekuatiranmu relevan kalau itu ditayangin setiap minggu."

Miladay menolak argumen Iskandar maupun Artine Utomo. Menurutnya apa  yang 
sudah dilakukan MNC sudah mengarah ke monopoli. "Kalau di Jerman, 20  persen 
itu sudah monopoli, meski itu one time off. Publik, misalnya, karena  ada 
siaran bersama, akhirnya tidak bisa menonton acara yang biasa  ditontonnya. 
Tergeser karena siaran bersama. Jadi tidak terakomodir," katanya.

"Di Indonesia memang belum ketemu modelnya. Ini kan kita sedang mencari  data 
dulu. Di mana sih konsentrasi dia. Oke, kalau dibilang audience  share-nya 20 
persen. Bagaimana dengan Radio Trijaya Network? Itu kan lebih dari 20 persen," 
Miladay retoris.


TAK ada yang salah seorang pengusaha mendirikan stasiun televisi. 
Masalah
baru muncul ketika televisi menjadi bagian dari strategi keuangan para
pengusaha, yakni bagaimana mendapatkan keuntungan dari pohon bisnis 
yang
ditanamnya. Ke mana uang mengalir, ke situlah televisi bergerak.

Beda industri televisi dari suratkabar lama adalah esensi dari 
perusahaan
mereka. Idealnya, sebuah perusahaan media adalah sebuah institusi 
publik. Ia
bukan lembaga sosial, yang bekerja memberi amal. Ia harus mencari
keuntungan, namun ia tetap melayani kepentingan publik untuk -meminjam
istilah pemikir jurnalisme Bill Kovach- "bisa memerintah dirinya 
sendiri."

Industri televisi di Jakarta ini cenderung menjadi lembaga bisnis 
belaka.
Saat tayangan kriminal naik daun, hampir semua televisi berlomba "
berdarah-darah." Dan ketika tayangan bernuansa seksualitas mendapat
peringkat (rating) bagus, seluruh televisi ramai-ramai menayangkan 
talkshow
dan sinetron komedi (tak lucu) soal seks. Kini, tren bergeser ke 
tayangan
mistis mulai reality show dunia gaib sampai sinetron siksa kubur, dan 
hampir
semua televisi jualan "siksa kubur."

Saya mencatat tayangan sinetron bertemakan "siksa kubur" ini yang 
belakangan
mendominasi tayangan media televisi kita pada jam prime-time, pukul 
19.00
sampai 21.00. Tak kurang dari 20 program sinetron jenis ini tayang 
saban
minggunya.

RCTI menampilkan "Pintu Hidayah" dan "Habibi dan Habibah". Di TPI, ada 
"
Rahasia Ilahi" dan "Takdir Ilahi", di Trans TV ada "Taubat", "Hidayah" 
dan "
Insyaf". SCTV tak ketinggalan dengan menayangkan "Astaghfirullah", 
"Kuasa
Ilahi", "Suratan Takdir", dan "Kiamat Sudah Dekat". ANTV sendiri 
menggeber "
Jalan ke Surga" dan "Nauzubillah Minzalik" dua kali sepekan. Sementara
Indosiar mengerek "Titipan Ilahi".

Rating sinetron jenis ini sangat tinggi. "Rahasia Ilahi", misalnya, 
pernah
mencapai 14,2 dan mampu meraih audiens share hingga 40 persen. 
Sementara "
Takdir Ilahi" yang muncul berikutnya mampu menembus rating 12 dalam 
waktu
belum sampai tayang sepuluh episode. Sementara "Taubat", dalam kurun 
waktu
kurang dari dua bulan, mampu merengkuh rating 6,4.

Harianto dari Hubungan Masyarakat SCTV mengatakan kepada saya bahwa ada
empat pertimbangan suatu program akan ditayangkan di SCTV, yakni 
audience
share, variasi program, soal bisnis, dan kebutuhan. "Keempatnya saling
terkait," katanya. "Bisa saja sebuah program bagus, tapi publik 
mengatakan
lain, sehingga ini jadi pertimbangan bagian programming."

"Yang menjadi pertimbangan sebelum menayangkan program ialah seberapa 
besar
kemungkinan program tersebut akan disukai pasar," kata Eko Suprianto,
manajer Local Acquisition Programme Lativi, sebagaimana dikutip Media
Indonesia.

Kondisi demikian amat memprihatinkan. Publik tak punya kesempatan 
menikmati
keberagaman isi siaran. Sineas Arswendo Atmowiloto mengatakan, "Yang 
bego di
sini sebenarnya adalah pengelola televisi siarnya. Ogah memberikan
alternatif tontonan pada pemirsanya. Pengelola televisi tidak mampu 
melihat
keberagaman tontonan, termasuk menayangkan tayangan yang sehat, 
bermanfaat,
serta mendidik."

Arswendo intinya menuding para pemilik televisi ini bego. Televisi 
sering
jadi kepanjangan tangan pengusaha-pemiliknya dalam mempromosikan
produk-produk yang kebetulan berada dalam genggamannya.

Di Trans TV misalkan, kita bisa saksikan iklan Bank Mega muncul secara
rutin. Iklan Esia kerap hadir di ANTV. RCTI-TPI-Global TV intens 
menayangkan
iklan Radio Trijaya Network, majalah Trust, tabloid Genie, dan koran 
Seputar
Indonesia. Indosiar punya program rutin malam mingguan "Gebyar BCA" 
merujuk
pada bank milik Salim.

Lativi juga melakukan hal yang sama. Saya pernah memperhatikan program 
"
TopNews" pada Rabu tengah malam, 27 September 2005. Saat itu ada 
liputan
paket promosi yang dikemas mirip berita tentang Pasaraya Grande di 
kawasan
Blok M. Ada gambar desain ritel. Food court. Area bermain anak. Liputan 
juga
dilengkapi dengan komentar dua orang pengunjung dan ditutup wawancara 
dengan
Amelia Handayani, direktur bisnis Pasaraya.

Pemirsa seolah-olah disuguhi berita tempat belanja yang serba 
menggiurkan.
Lativi menggiring opini pemirsa pada sebuah pusat perbelanjaan nyaman
bernama Pasaraya Grande. Publik tidak pernah diberitahu bahwa ritel 
pakaian
itu adalah satu grup dengan Lativi.

Jadi corong promosi pemiliknya atau melulu sebagai alat pengeruk 
untung,
jelas tidak fair. Betapapun televisi punya kapasitas audiens yang tak 
bisa
ditandingi media mana pun, lebih-lebih suratkabar. Televisi diakses 
sebagian
besar publik Indonesia.

Survei International Foundation for Election System (IFES) 
mengungkapkan, 85
persen masyarakat Indonesia memperoleh informasi dari televisi. 
Sedangkan
menurut Media Index Wave 2005, televisi dikonsumsi 92 persen masyarakat
Indonesia, mengalahkan suratkabar yang cuma 28 persen dan majalah 
dengan 19
persen.

Dari mana kekuatan itu datang? Sumbernya jelas-jelas dari frekuensi 
publik yang dieksploitasi demi kepentingan politik maupun ekonomi segelintir
pemilik. Lantas, apa yang kini didapatkan publik? "Jika televisi ada di
tangan pebisnis, yang ada hanyalah duit," komentar Miladay.


* Liputan ini dikerjakan dengan sponsor dari Unesco Jakarta.

__________________________________________________
Apakah Anda Yahoo!?
Lelah menerima spam?  Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam  
http://id.mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED]
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com

This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke