http://www.indomedia.com/bpost/032006/22/opini/opini1.htm
Uma, Abah, Akhirnya Ulun Sarjana Oleh: M Alpian Nor Judul tulisan ini merupakan kalimat yang lazim terlontar dari seseorang yang baru saja meraih gelar sarjana. Ya, sedikit pembuktian yang dapat disuguhkan kepada orangtua. Mengingat, orangtualah sang penyandang dana selama menghabiskan waktu di bangku kuliah. Akhirnya statusnya pun berganti dari yang tadinya mahasiswa menjadi sarjana. Transisi ini sedikit banyak berdampak terhadap individu bersangkutan. Bagaimana tidak, status mahasiswa mampu dijadikan alibi ketika di seperempat abad usianya dia masih menganggur namun tetap berada pada posisi middle class pada strata sosial. Kata menganggur merupakan hal tabu sekaligus memalukan disandang oleh seseorang yang bertitel sarjana. Selamat datang di kehidupan nyata kawan! Itulah ucapan seorang kakak tingkat yang lebih dahulu meraih gelar sarjana, ketika memberikan ucapan selamat di yudisium saya. Komentar yang terus terngiang di telinga sekaligus terpahat di memori otak saya. Yudisium, wisuda, tidak lebih dari seremonial. Pengalungan gordon sekaligus pengalihan tali toga, merupakan bagian dari prosesinya. Yang menjadi esensi adalah berhaknya yudisiawan atau wisudawan memakai gelar di belakang namanya, dengan selembar ijazah melegitimasinya. Sebuah gelar yang prestisius sekaligus keren, minimal untuk dicetak di undangan pas mau kawin. Euforia ini, sekali lagi, merupakan hal yang wajar terjadi. Mengingat sekian tahun mereka harus berkutat dengan tugas, dari makalah sampai skripsi, dari kejamnya dosen sampai kejamnya ibu kos (bagi kaum urban) mereka lalui dalam usaha menyelesaikan studi. Nah. inilah hari merdeka itu, yang dicapai baik dengan kemelut maupun cumlaude. Terselip pertanyaan: What next? Apa yang selanjutnya kita perbuat untuk menghadapi masa depan dengan titel yang disandang? Sarjana Dan Dunia Kerja Sarjana merupakan lisensi yang di dalamnya disertai wawasan luas dan kemampuan intelektual yang memadai, sehingga eksistensinya di masyarakat tak perlu diragukan lagi. Tri Dharma perguruan tinggi dalam kehidupan kampus yang secara sederhana meliputi pengajaran, riset dan pengabdian masyarakat, dapat dijadikan tolak ukur penggemblengan dunia kampus agar sarjana memiliki kepekaan sekaligus kemapanan untuk survive sekembalinya mereka ke masyarakat. Jangan sampai sepeninggal dari dunia kampus sarjana dicap sebagai pengangguran intelektual; sebuah ungkapan yang sangat miris kita mendengarnya apalagi harus menyandangnya. Unlam, hari ini 22 Maret 2006 (sesuai kalender akademik) kembali mengukuhkan ratusan alumninya dalam rapat senat terbuka wisuda ke-59. Secara kuantitatif, Unlam boleh berbangga pada output yang dihasilkan sekaligus mungkin sebuah prestasi yang berhasil diraih. Namun adalah hal yang wajar ketika muncul pertanyaan, berapa sarjana yang sudah tertampung dalam dunia kerja, atau berapa sarjana yang mampu menciptakan lapangan kerja? Memang, universitas sebagai lembaga pencetak kaum intelektual dalam hal ini tidak bertangggungjawab secara langsung terhadap outputnya. Tapi paling tidak secara emosional dapat memantau hal ini untuk dijadikan tolak ukur mengenai kualifikasi apa yang 'menjual' di luar sana, sehingga output yang dihasilkan dapat benar-benar bisa eksis di masyarakat dengan disiplin ilmu yang disandangnya. Sekarang Unlam memiliki Ika (Ikatan Alumni), yang diharapkan semakin mempermudah untuk melacak eksistensi alumni Uunlam di masyarakat. Kecenderungan selama ini, perkumpulan yang berorientasi pada ikatan emosional berupa ikatan, paguyuban, bubuhan yang kemudian berkumpul lewat forum silaturrahmi, reuni, arisan atau apa pun namanya, hanya terkesan untuk orang baisi dahi yang berhasil dalam usahanya maupun memiliki posisi struktural yang tinggi di pemerintahan (jabatan). Saya yakin, perkumpulan ini tidak sedikit pun bermaksud mengeksklusifkan komunitasnya apalagi menciptakan kesenjangan di antara mereka sendiri. Kadang masih ada unsur minder bagi kalangan yang secara emosional ada keterikatan, namun masih belum bisa membuktikan eksistensinya di hadapan komunitasnya. Anggapan ini yang harus disiasati sekaligus diluruskan, demi tujuan yang sesungguhnya dari dibentuknya ikatan alumni. Gelar Dalam Status Sosial Penggunaan gelar, baik sosial maupun akademik dalam masyarakat feodal atau kolonial merupakan suatu wabah. Kebetulan sekali masyarakat dan Bangsa Indonesia mengalami dua jenis wabah penggunaan gelar tersebut. Masyarakat Indonesia khususnya pada beberapa suku mengenal sistem sosial yang menggunakan atribut gelar. Begitu pula masyarakat dan bangsa kita pernah mengalami penjajahan yang kebetulan penjajah itu mengenal sistem feodal dan kelas sosial lainnya, termasuk dalam tradisi penggunaan gelar akademik. (HAR Tilaar 2000). Kolonialisme Belanda di Indonesia telah menciptakan kelas di masyarakat yaitu Eropa, Timur Asing, dan Inlander. Kelas ini mempunyai hak istimewa, sehingga golongan Inlander berusaha memasuki sistem pendidikan Barat untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi (hal ini bisa kita lihat pada periode pergerakan Nasional). Sampai saat ini, gelar akademik masih mendapat tempat pada status sosial di masyarakat, sehingga dengan kemudahan terhadap akses pendidikan membuat masyarakat berlomba untuk memperolehnya. Bahkan, negara menjamin hal ini melalui Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. Namun di balik kemudahan yang didapat, membuat kita kebablasan dalam upaya meraih gelar akademik. Untuk memperolehnya hanya dengan menyiapkan uang sekian juta, titel sudah di tangan (instant). Bahkan terkadang perguruan tinggi yang memberikannya, diragukan akreditasinya. Kegelisahan ini ada pada mereka yang komit terhadap dunia pendidikan, sekaligus merasakan betapa banyak pengorbanan yang harus ditempuh untuk mendapatkan gelar secara prosedural. Seperti yang ditulis Irwanto di harian ini, tentang gugatan terhadap gelar palsu (BPost, edisi 27 Februari 2006). Pangsa Pasar Instansi pemerintahan bahkan lembaga legislatif yang terhormat, merupakan pangsa pasar yang lumayan menjanjikan bagi bisnis pendidikan instant. Mengingat, ketika seseorang mengalami mobilitas vertikal secara cepat dalam jabatannya memerlukan sesuatu yang dapat dijadikan prestise untuk posisi dalam komunitasnya sehingga dilegitimasi dengan titel yang disandangnya. Banyak sekali kita temukan kalangan eksekutif bahkan legislatif yang menyandang gelar Dr HC (Honoris Causa) --untung bukan Humoris Causa. Yang kita tahu, gelar itu diperoleh tanpa disertasi sebagai syarat meraih program doktoral tapi lebih kepada penghargaan yang diberikan universitas. Namun, tidak sembarangan universitas yang berhak memberikannya. Dalam penilaiannya pun banyak variabel yang diukur dari orang yang akan dianugerahi gelar Dr HC itu. Jangan sampai universitas yang mengeluarkan gelar penghargaan itu bahkan diragukan akreditasinya, juga tidak pernah menyelenggarakan program doktoral secara reguler. Kalau ini yang terjadi, patut dipertanyakan kewenangannya memberikan gelar. Penyalahgunaan gelar akademik sehingga beberapa anggota masyarakat keranjingan untuk memperolehnya, merupakan gejala dari masyarakat yang berpikir tidak kreatif. Segala sesuatu ingin dicapai melalui jalan pintas dengan menggunakan hak istimewa, diperkokoh dengan simbol akademik. Masyarakat demikian adalah hasil dari suatu sistem pendidikan yang tidak mengembangkan kemampuan kreatif dan produktif. Oleh sebab itu, masalah mendasar untuk mengubah keranjingan masyarakat pada gelar akademik berakar dari usaha yang lebih mendasar yaitu mereformasi sistem pendidikan nasional (HAR Tilaar, 2000). Kita cuma bisa berharap, tidak ada wakil rakyat maupun birokrat di Kalsel yang menjadi korban komersialisasi pendidikan sekaligus menggunakan jasa lembaga pendidikan siluman untuk mendapatkan gelar secara instant. Kalau sampai ini terjadi, kita tidak bisa berharap banyak atas kemajuan Kalsel di tangan orang-orang yang tidak bertanggungjawab seperti ini. Semoga. Wisudawan 2006 Unlam, tinggal di Pelaihari e-mail: [EMAIL PROTECTED] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/aYWolB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Milis Wanita Muslimah Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat. Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com Berhenti mailto:[EMAIL PROTECTED] Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejahtera@yahoogroups.com Milis Anak Muda Islam mailto:majelismuda@yahoogroups.com This mailing list has a special spell casted to reject any attachment .... Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/