http://ruslihasbi.wordpress.com/tanya-jawab/a-z/g/
Zakat Saham dan Obligasi
Tanya: 
Ustadz, kami ingin menanyakan sesuatu yang masih mengganjal dalam hati kami. 
Begini pertanyaannya:
        1. Apa hukumnya menginvestasikan uang/dana dalam bentuk penyertaan 
saham dan obligasi? Kita tahu bahwa perusahaan yang kita beli saham atau 
obligasinya punya usaha yang bermacam-macam.
        2. Apakah bunga obligasi itu termasuk riba?
        3. Kalau investasi dalam saham dan obligasi dibolehkan, apakah 
pendapatan atas keduanya dikenakan zakat dan bagaimana mekanisme pengeluarannya?
Jawab: 
Jawabannya saya bagi dua bagian saja, yaitu bagian pertama tentang saham dan 
bagian kedua tentang obligasi untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas..
Bagian I - Saham
Para ulama sepakat bahwa hukum menginvestasikan harta melalui 
pembelian/pemilikan saham (sejauh bidang usaha perusahaan yang menerbitkan 
saham tersebut adalah halal) adalah sah secara syar’i dan keuntungannya wajib 
dizakatkan. Pemegang saham merupakan bagian dari pemilik perusahaan yang 
mewakilkan operasionalnya kepada pihak manajemen untuk menjalankan operasional 
perusahaan di mana keutungan dan kerugian perusahaan ditanggung bersama oleh 
pemegang saham (profit and loss sharing). Keuntungan dan kerugian perusahaan 
dapat diketahui pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS ) dan pada saat itulah 
zakat diwajibkan. Namun para ulama berbeda tentang kewajiban pengeluaran 
zakatnya.
Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman Isa dalam kitabnya 
“al-Mu’amalah al-Haditsah wa Ahkmuha” mengatakan bahwa yang harus diperhatikan 
sebelum pengeluaran zakat adalah status perusahaannya, di mana:
        * Jika perusahaan tersebut hanya bergerak di bidang layanan jasa, 
misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan (darat, laut, 
udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal ini 
dikarenakan saham–saham itu terletak pada alat–alat, perlengkapan, 
gedung–gedung, sarana dan prasarana lainnya. Namun keuntungan yang diperoleh 
dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya 
dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai haul dan nishab (jangka 
waktu dan jumlah tertentu).
        * Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang 
melakukan transaksi jual beli komoditi tanpa melakukan proses pengolahan, 
seperti perusahaan yang menjual hasil–hasil industri, perusahaan dagang dalam 
negeri, perusahaan ekspor-impor, dan lain lain, maka saham–saham perusahaan 
tersebut wajib dikeluarkan zakatnya di samping zakat atas keuntungan yang 
diperoleh. Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan saham 
kemudian dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris lainnya. 
Besarnya suku zakat adalah 2,5 persen dan bisa dikeluarkan setiap akhir tahun.
        * Jika perusahaan tersebut bergerak di bidang industri dan perdagangan 
sekaligus, artinya melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual 
kembali hasil produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), 
perusahaan pengolahan mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib 
dizakatkan dengan mekanisme yang sama dengan perusahaan kategori kedua.
Pendapat kedua adalah pendapat Abu Zahrah. Menurutnya, saham wajib dizakatkan 
tanpa melihat status perusahaannya karena saham adalah harta yang beredar dan 
dapat diperjual–belikan, dan pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil 
penjualan tersebut. Ini termasuk kategori komoditi perdagangan dengan besaran 
zakat 2,5 persen dari harga pasarnya. Caranya adalah: setiap akhir tahun, yang 
bersangkutan melakukan penghitungan harga saham pada harga pasar, lalu 
menggabungkannya dengan dividen (keuntungan) yang diperoleh. Jika besarnya 
harga saham dan keuntungannya tersebut mencapai nishab maka saham 
tersebut wajib dizakatkan..
Yusuf Qaradawi sendiri mempunyai pendapat yang agak berbeda dengan kedua 
pendapat di atas. Beliau mengatakan jika saham perusahaan berupa barang atau 
alat seperti mesin produksi, gedung, alat transportasi dan lain-lain, maka 
saham perusahaan tersebut tidak dikenai zakat. Zakat hanya dikenakan pada hasil 
bersih atau keuntungan yang diperoleh perusahaan, dengan suku zakat 10 persen. 
Hukum ini juga berlaku untuk asset perusahaan yang dimiliki oleh 
individu/perorangan. Lain halnya kalau saham perusahaan berupa komoditi yang 
diperdagangkan (tercatat di bursa saham, red.) Zakat dapat dikenakan pada saham 
dan keuntungannya sekaligus karena dianalogikan dengan urudh tijarah (komoditi 
perdagangan). Besarnya suku zakat adalah 2,5 persen. Hal ini juga berlaku untuk 
aset serupa (surat-surat berharga lainnya, red) yang dimiliki oleh perorangan.
Saya lebih cenderung kepada pendapat yang terakhir, sebagaimana disampaikan 
Yusuf Qaradawi. Zakat saham hanya diwajibkan pada saham yang berupa komoditi 
perdagangan dengan suku zakat 2,5 persen. Untuk saham yang berupa alat-alat 
atau barang, zakatnya adalah pada keuntungan yang diperoleh dan bukan pada 
nilai saham itu sendiri. Suku zakatnya 10 persen, analog dengan zakat hasil 
pertanian dan perkebunan.
Bagian II - Obligasi
Untuk menentukan status hukum bermuamalah dengan obligasi ada baiknya kita 
melihat kedua jenis obligasi yang sekarang kita kenal, yaitu obligasi 
konvensional dan obligasi syariah:
Obligasi Konvensional
Obligasi adalah surat hutang dari suatu lembaga, perusahaan atau negara untuk 
jangka waktu tertentu dan dengan suku bunga tertentu. Pihak yang 
mengeluarkannya (emiten) diibaratkan sebagai peminjam dan pembeli obligasi 
(investor) diibaratkan sebagai pemberi pinjaman. Para investor akan mendapatkan 
return, yaitu bunga yang bersifat tetap, dibayarkan secara periodik atas dasar 
nilai nominalnya. Obligasi jenis ini dikenal sebagai obligasi konvensional.
Para ulama sepakat mengenai keharaman bermuamalah dengan obligasi jenis ini 
karena sarat dengan unsur ribawi, namun kontroversi justru terjadi pada hukum 
mengeluarkan zakatnya.
Pendapat pertama mengatakan bahwa zakat tidak wajib dikenakan atas obligasi dan 
bunga yang diperoleh, karena mengandung unsur riba (bunga) yang diharamkan 
syara’. Mengeluarkan zakat dari sesuatu yang haram hukumnya tidak sah.
Pendapat kedua agak moderat. Pendapat ini mengatakan bahwa meskipun muamalah 
dengan obligasi konvensional haram secara syara’, tidak berarti pelakunya 
dibebaskan dari zakat. Kepemilikan si pembeli (investor) atas obligasi tersebut 
sah secara syara’ dan obligasi tersebut merupakan harta produktif yang dapat 
diperjualbelikan dan memberikan keuntungan bagi pemiliknya. Zakat wajib 
dikeluarkan atas harga atau nilai dari obligasi itu sendiri dan bukan dari 
bunganya. Besarnya suku zakat adalah 2,5 persen yang dikeluarkan setiap akhir 
tahun, beranalogi pada zakat komoditi perdagangan. Sementara itu, bunga atau 
keuntungan yang diperoleh wajib disedekahkan semuanya untuk fakir miskin atau 
kepentingan umum. Ini adalah pendapat Abdurrahman Isa, seorang pakar ekonomi 
Islam kontemporer, dalam kitabnya “al-Mu’amalah al-Haditsah wa Ahkmuha”, yang 
disetujui oleh Yusuf Qaradawi.
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Wahbah Zuhaili, di mana zakat wajib atas 
obligasi dan bunganya sekaligus. Mekanisme pengeluaran zakatnya adalah dengan 
menggabungkan nilai keduanya pada waktu jatuh tempo dan dikeluarkan jika telah 
mencapai haul dan nishab dengan suku zakat sebesar 10 persen, analog dengan 
zakat pertanian dan perkebunan.
Saya menyetujui pendapat yang kedua. Praktik bank konvensional hukumnya haram, 
karena itu praktik obligasi konvensional tersebut ikut haram. Mengenakan zakat 
pada bunga yang diperoleh tidak diperbolehkan. Bunga yang diperoleh tidak halal 
dan harus dikeluarkan semuanya untuk fakir miskin atau kepentingan umum. Tetapi 
sejauh pemilikan obligasi itu sah secara agama, maka zakat pun harus dikenakan 
atas obligasi itu. Suku zakat 2,5 persen, analog dengan zakat komoditi 
perdagangan.
Obligasi Syariah
Jika obligasi tersebut adalah obligasi syariah, maka hukumnya halal dan wajib 
dizakatkan baik obligasinya maupun keuntungan yang diperoleh. Besarnya suku 
zakat (bila mencapai haul dan nishab) adalah 2,5 persen per tahun, beranalogi 
pada zakat komoditi perdagangan.
Perbedaan yang mendasar antara obligasi konvensional dan syariah terletak pada 
akadnya. Pada obligasi konvensional akad yang digunakan adalah akad hutang 
piutang dengan kompensasi suku bunga tertentu. Obligasi syariah menggunakan 
akad mudharabah, dengan persentase bagi hasil yang disetujui kedua belah pihak. 
Di sini status penerbit obligasi (emiten) adalah sebagai pengelola (mudharib), 
sedangkan pembeli obligasi berstatus sebagai shahibul mal (pemilik 
modal/investor). Sebenarnya istilah yang tepat digunakan untuk obligasi jenis 
ini adalah surat investasi dan bukannya surat hutang.
Di Indonesia sekarang sudah ada beberapa perusahaan (emiten) yang menerbitkan 
obligasi syariah. Obligasi tersebut diperdagangkan di pasar modal 
syariah dengan nama Jakarta Islamic Indexs (JII). Emiten dimaksud seperti PT 
Bank Muamalat Indonesia Tbk, PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank Bukopin, PT 
Berlian Laju Tanker, dan lain-lain.
Di negara-negara lain, perdagangan obligasi syariah (atau dikenal sukuk) sudah 
lebih maju. Pada 2006, Malaysia dan Uni Emirat Arab adalah pemegang pasar sukuk 
terbesar di dunia, dengan jumlah penerbitan obligasi syariah mereka mencapai 
masing-masing 55% dan 32% pangsa dunia. Sukuk tersebut dipasarkan di seluruh 
dunia, dan dicatat dalam berbagai indeks seperti The Dow Jones Citigroup Sukuk 
Index di New York dan lain sebagainya.
Pasar ini bisa menjadi solusi bagi yang berminat menginvestasikan dananya 
melalui obligasi. Wallahu Ta’ala a’lam.
Rusli Hasbi


      Nikmati chatting lebih sering di blog dan situs web. Gunakan Wizard 
Pembuat Pingbox Online. http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Kirim email ke