Eva Wira <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
huuu,.....huuu,.... so touche  ... 
love u in a million mom... 
     

Izinkan Aku Menciummu, Ibu

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. 
 Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan 
mengepelnya
setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku dipaksa membantunya memasak di
pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak
mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan.
Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring  bekas masak
dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang
 diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena 
aku juga akan
menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah 
lepas dari semua 
 pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu karena engkau aku menjadi istri 
yang baik dari suamiku 
 dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku 
hingga
masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari 
jendela kelas, ia masih duduk 
 di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan 
rasa kantuk  yang
menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang 
penting aku senang ia menungguiku 
 sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama 
teman-teman, bepergian. Tak pernah aku 
 menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat 
tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang
dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan 
bersamanya.Pakaian dan dandanannya yang 
 kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan 
seringkali aku sengaja mendahuluinya 
 berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang 
bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan 
penampilannya, ia tak pernah  
 membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku 
pakaian yang bagus-bagus agar aku
terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja 
bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh
kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat 
tubuhku ketika aku terjatuh, 
 membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
 
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku 
semakin merasa
jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali 
menganggap ibu sebagai orang bodoh, 
 tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang 
berlangsung antara aku
dengannya  hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan 
kampus lainnya.

 Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak 
berwawasan dan tak mengerti
apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. 
Meski Ibu bukan orang berpendidikan, 
 tapi di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah 
kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan 
 pernah menjadi aku yang sekarang.
    
 Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan 
bagaimana meneguhkan hati, memantapkan 
 langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, 
jauh lebih indah dari
keindahan senyum suamiku. Usai  akad nikah, ia langsung menciumku saat aku
bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali
memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
 
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi 
menjenguknya atau
menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada 
suamiku hingga tak jarang aku 
 membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku 
baru tahu bahwa segala
kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. 
Aku akan datang dan menciummu Ibu, 
 meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. 
  
 (Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)

  
  
  
 
 


        
           


       

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke