KULIAH NEOLIB RIZAL RAMLI http://www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=76748 Padahal "Mbah Washington Consensus" Pun Mengaku Salah Senin, 22 Juni 2009, 13:55:27 WIB Laporan: Teguh Santosa Catatan Redaksi: Wacana neo-liberalisme di arena Pilpres 2009 masih menarik untuk terus diikuti. Bagi sebagian orang, isu neolib yang dihembuskan di tengah kampanye pemilihan presiden adalah black campaign belaka. Namun bagi sementara kalangan ini adalah kesempatan yang baik bagi masyarakat Indonesia untuk memahami isu ekonomi neoliberalisme ini dengan bahasa sederhana dan gamblang. Ekonom senior Rizal Ramli termasuk dalam kelompok kedua. Pekan lalu dalam sebuah diskusi di Hotel Mulia, Jakarta, dia memberikan kuliah terbuka mengenai neoliberalisme dan dampaknya dalam pembangunan Indonesia. Redaksi Rakyat Merdeka Online akan menurunkan kuliah itu dalam beberapa bagian. Berikut adalah bagian pertama.
SALAH seorang pendiri mahzab neoliberalisme adalah Profesor John Williamson yang merumuskan apa yang disebut sebagai Washington Consensus. Saya bertemu dia beberapa kali dalam sejumlah konferensi di Washington. Kepada saya, dia mengakui bahwa rumusan itu dalam praktiknya tidak memberikan hasil seperti yang dia pikirkan. Tetapi, rumusan yang diperkenalkannya itu sudah terlanjur menjadi dogma yang dipaksakan oleh Washington kepada negara-negara berkembang. Kalau saya sederhanakan, Washington Consensus itu adalah Jerat Washington. Semua model pembangunan di negara berkembang dipaksa untuk mengikuti model ini. Di Amerika Latin dari tahun 1960-an sampai tahun 2000 hampir semua negara mengikuti model Washington Consensus atau neoliberalisme. Hasilnya, negara-negara di Amerika Latin semakin lama semakin tertinggal, gap antara yang kaya dan yang miskin juga semakin besar, dan ketergantung terhadap siklus krisis-utang semakin lama semakin berat. Siklus krisis-utang berarti bila terjadi krisis, solusi yang diambil untuk mengatasinya hanya dengan menambah utang. Untuk sementara keadaan akan stabil kembali. Namun setelah itu, karena utang sudah terlalu banyak, negara akan terkena krisis lagi. Dan kemudian menambah utang lagi. Pemimpin yang dapat ditekan Washington DC akan terus menerus mengikuti siklus utang-krisis-utang-krisis ini. Semakin lama utangnya semakin dalam, semakin berat sehingga sebagian besar anggaran belanja negara habis untuk membayar utang. Belakangan, di Latin Amerika mulai muncul gerakan untuk menolak Jerat Washington. Pemimpin-pemimpin Amerika Latin yang masih manut pada Washington Concensus biasanya tidak terpilih lagi. Ada yang progresif dan radikal seperti Hugo Chavez dari Venezuela, dan Evo Morales dari Bolivia, tapi ada juga yang relatif moderat seperti Cristina Fernandez de Kirchner di Argentina dan Michelle Bachelet dari Chili. Namun yang jelas ini adalah arus balik dari Washington Consensus. Di Asia yang ikut model ini hanya Indonesia dan Philipina. Keadaan di dua negeri Asia ini pun tak jauh berbeda dengan keadaan negara-negara Amerika Latin yang manut pada Washington Consensus. Pertanyaannya ada nggak sih model lain, alternatif lain. Tentu ada. Amerika Latin pun sekarang ini dalam eksperimen mencoba berbagai macam variasi alternatif. Kalau kita melihat pengalaman di Asia, negara-negara besar di Asia yang tumbuh di atas 10 persen dan mampu mengejar ketertinggalannya dari Barat nyaris tidak ada yang ikut model Washington Consensus atau neoliberal ini. Saya rasa, contoh yang paling klasik adalah Jepang yang menjadi besar setelah PD II sampai awal 1980-an nyaris tanpa modal asing dan pinjaman luar negeri. Kalaupun ada baru setelah 1980. Jepang membiayai seluruh pembangunannya dari mobilisasi tabungan nasional dan mengandalkan kebijakan industri yang progresif dan agresif sehingga volume ekspor mereka menjadi begitu besar. Dalam banyak hal pembangunan nasional Jepang tidak dapat dikatakan sebagai model pembangunan liberal. Di Eropa ada juga pembangunan yang tidak mengacu pada neoliberal, yaitu model pembangunan Jerman. Dimana peran negara di dalam industrial policies dan peran negara di dalam alokasi sumber daya alam cukup besar. Model Jepang dan Jerman ini yang ditiru oleh Mahathir Mohammad, sehingga Malaysia menjadi negara yang maju dan kesejahteraan rakyatnya lebih baik. Dengan berbagai variasi, kita juga tidak dapat mengatakan Singapura tidak sepenuhnya mengikuti jalan neoliberal, karena pengaturan sektor keuangan di negara itu sangat ketat dan peranan negara dalam perusahaan negara juga sangat penting. China juga demikian. Ada yang mengatakan bahwa kini China sudah masuk ke dalam sistem pasar. Tapi kalau kita amati lebih dalam lagi, fenomena di China tidak sesederhana itu. Pola pembangunan China memang mengandalkan modal asing, tetapi pinjaman luar negerinya sangat minimum. Modal asing ini digerakkan untuk memperbahurui teknologi China dan memaksimalkan kapasitas produksi negeri itu sehingga China bisa menjadi negara yang besar di bidang ekonomi. Bersambung KULIAH NEOLIB RIZAL RAMLI Belajar dari Dua Dekade Kemerosotan Ekonomi Ugal-ugalan Senin, 22 Juni 2009, 16:40:16 WIB Catatan Redaksi: Pada bagian ini ekonom senior Rizal Ramli menjelaskan pondasi pendekatan ekonomi neoliberalisme, antara lain kebijakan anggaran ketat, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi industri dan penjualan BUMN. Redaksi Rakyat Merdeka Online merasa perlu menyoroti perdebatan mengenai pendekatan ekonomi neoliberal di arena Pilpres 2009. SEKILAS program Konsensus Washington tersebut sangat wajar dan netral, namun demikian dibalik program tersebut tersembunya kepentingan negara-negara Adikuasa. Pertama, kebijakan anggaran ketat, selain untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Bahkan penghapusan subsidi untuk rakyat seperti untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, UKM, dipaksakan hanya agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Pembayaran utang adalah suatu keharusan, sementara anggaran untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain-lain adalah urusan belakangan. Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang. Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan memudahkan negara-negara maju mengekspor barang dan jasa ke negara berkembang. Tetapi negara-negara maju sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya melalui kuota, kebijakan anti-dumping, export restraint, subsidi dan hambatan non-tarif. Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara dimaksudkan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam prakteknya program penjualan aset-aset negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah (under-valued) sehingga sering terjadi program privatisasi yang identik rampokisasi (piratization), seperti diungkapkan Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard. Dalam prakteknya, kebijakan Konsesus Washington sering dipaksakan sekaligus kepada negara berkembang tanpa tahapan, fleksibilitas dan persiapan untuk memperkokoh kekuatan ekonomi domestik. China, yang melakukan proses reformasi ekonomi sejak 1978, menggunakan pendekatan yang kerap disebut Deng Xiaoping sebagai “crossing the river by feeling the stones”. Walaupun melakukan liberalisasi, tetapi proses liberalisasi tersebut dilakukan secara bertahap dan dipersiapkan, dengan terlebih dulu memperkuat kekuatan produktif di dalam negeri. China menempatkan liberalisasi sektor keuangan pada tahap akhir dari reformasi ekonomi. Bahkan ketika cadangan devisanya nyaris mencapai US$ 3 triliun, China tetap tidak bersedia melakukan liberalisasi penentuan nilai tukarnya. Menjadi pertanyaan, mengapa Indonesia gagal menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun ekonom-ekonom neo-liberal (Mafia Berkeley) berkuasa selama 40 tahun? Karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh ekonom-ekonom neo-liberal akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekedar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Konsensus Washington. Kemerosotan selama dua dekade di Amerika Latin (1980-2000) adalah contoh monumental dari kegagalan tersebut. Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Konsensus Washington seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, China, dll. berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar kekuatan ekonominya. Negara-negara yang berhasil tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan yang seimbang antara negara dan swasta, serta ketergantungan utang yang minimal. Dua negara Asia, Indonesia dan Philipina yang patuh pada Konsensus Washington mengalami kemerosotan ekonomi terus-menerus, ketergantungan utang yang permanen, ketimpangan pendapatan sangat mencolok, kemiskinan yang merajalela dan kerusakan lingkungan yang parah. Bersambung KULIAH NEOLIB RIZAL RAMLI Mediocre, 2045 Indonesia Tetap Terbelakang Senin, 22 Juni 2009, 11:26:33 WIB Catatan Redaksi: Wacana neo-liberalisme di arena Pilpres 2009 masih menarik untuk terus diikuti. Bagi sebagian orang, isu neolib yang dihembuskan di tengah kampanye pemilihan presiden adalah black campaign belaka. Namun bagi sementara kalangan ini adalah kesempatan yang baik bagi masyarakat Indonesia untuk memahami isu ekonomi neoliberalisme ini dengan bahasa sederhana dan gamblang. Ekonom senior Rizal Ramli termasuk dalam kelompok kedua. Pekan lalu dalam sebuah diskusi di Hotel Mulia, Jakarta, dia memberikan kuliah terbuka mengenai neoliberalisme dan dampaknya dalam pembangunan Indonesia. Redaksi Rakyat Merdeka Online akan menurunkan kuliah itu dalam beberapa bagian. Berikut adalah bagian pertama. SETELAH memahami sekian banyak masalah yang sedang dihadapi Indonesia, kita bisa menyimpulkan bahwa hal yang kini harus kita lakukan adalah keluar dari mediocre performance. Kinerja yang biasa ini punya target pertumbuhan maksimum hanya sebesar 7 persen, sementara realisasi pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen lebih. Kalau target saja mediocre, dapat dibayangkan bahwa di tahun 2045 nanti Indonesia akan tetap menjadi negara yang terbelakang. Jumlah penduduk miskin juga tidak akan banyak berkurang, atau bisa jadi malah akan semakin bertambah. Ada pertanyaan mengapa Indonesia bisa demikian? Apakah hanya karena faktor regime; karena Soeharto dan presiden-presiden sesudahnya, termasuk SBY? Atau barangkali karena jalan yang diambil memang jalan yang tidak memungkinkan Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen? Saya senang sekali karena dalam pemilihan presiden kali ini ada diskusi yang lebih substansial mengenai neoliberalisme dan jalan alternatif untuk keluar dari jerat neoliberalisme. Mungkin diskusi mengenai hal ini agak terlalu teknis dan akademis. Tetapi saya menangkap kesan rakyat kini mulai memahami bahwa neoliberalisme itu identik dengan tidak pro rakyat dan identik dengan tidak pro kepentingan nasional. Dari semua calon presiden yang sedang bertanding di arena Pilpres, tidak ada yang mengaku dirinya penganut dan pendukung neoliberal. Semua mencuci tangan. Menurut saya, untuk hal ini ada yang palsu, ada yang setengah hati dan ada yang tidak mengerti. Tugas kita, saya kira, adalah mencoba menjelaskan perbedaan-perbedaan ini sehingga rakyat bisa memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. Bahasa sederhana neoliberalisme adalah sistem pasar atau kapitalisme ugal-ugalan. Sistem ini percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan bila diserahkan kepada pasar. Kelompok fundamentalis pasar ini mendasarkan keputusan ekonomi mereka berdasarkan dogma daripada argumen empirik dan aktual. Bersambung Yahoo! Mail Kini Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya sekarang! http://id.mail.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]