GURU MENULIS TENTANG MURIDYA

Saat launching buku "Curhat Abis Bu Guru
Kita" (Gong Publishing Agustus 2010) karya Ida Cholisa di Redaksi Annida
Online, Sabtu 28 agustus 2010, Yulius, Pemred Annida-Online mengatakan,
"Selama ini tentang sekolah sering ditulis oleh pengarangnya yang murid.
Misalnya ‘Lupus’ oleh Hilman, ‘Roy’
oleh GolA Gong. Kedua penulis itu murid. Sekarang Ida Cholisa, seorang guru
bahasaInggris di SMAN 1 Cilengsi Bogor menulis tentang muridnya. Ini menarik.
Pertanyaannya, bisakah Ida Cholisa menjadi
lokomotif  yang menarik gerbong para guru
penulis?"

Di negeri ini memang ‘menarik”. Puluhan ribu
guru bahasa Indonesia di level SD hingga SLTA, mengajari murid-muridnya
mengarang. Maka, lahirlah para pengarang buku, sementara para gurunya sendiri
boro-boro bisa memiliki waktu luang menulis, tapi justru rumit berkutat dengan
urusan hidup. Terkesan profesi guru itu rumit dan sulit hidupnya. Hanya para
dosen saja yang memiliki waktu lebih luang dan bisa bergaya dengan menulis
buku. Pengarang non fiksi sekaliber Ashadi Siregar (Cintaku di Kampus Biru)
adalah seorang dosen. Guru-guru anya berkubang dengan pengabdian sebagai 
“pahlawan
tanpa tanda jasa”.

Tapi kini, setelah reformasi birokrasi
menggelinding, guru SD hingga SMA bolehlah berlega hati. Seorang Ida Cholisa
saja memberi pengakuan, “Saya punya 1400-an tulisan, yang saya tulis sejak April
2009. Saya menulis rata-rata 2 hingga 16 tulisan sehari. Saya mengerjakannya di
waktu luang. Sambil nyuci di atas, lalu turun mengetik dengan laptop.” Ida
mengakui, tulisan-tulisan di buku “Curhat Abis Bu Guru Kita” yang diterbitkan
Gong Publishing hanyalah segelintir saja dari bank tulisannya.

Lantas ketika buku “Curhat Abis Bu Guru Kita”
karya Ida Cholisa yang saya terbitkan berada di tangan,  saya membayangkan 
bapak dan emak, yang juga guru
di era 80-an. Boro-boro mereka mampu meningkatkan kualitas hidupnya, menambah
wawasan saja tidak ada waktu. Pikiran mereka tercurah hanya untuk memenuhi
kewajibannya sebagai guru di pagi hari, mengajar di sekolah negeri, lalu  di 
siang hari jadi guru honorer di sekolah
swasta untuk mencari tambahan hidup dan biaya sekolah kelima anaknya. Itu
potret guru masa lalu, menyulap gaji yang hanya cukup untuk seminggu hidup
menjadi bermakna laksana intan. Jadi, kalau tidak ada penulis yang lahir dari
kalangan guru, saya maklum.

Persoalannya sekarang adalah, guru di era bapak
dan emak, sangat berbeda dengan guru pasca reformasi. Guru-guru sekarang
haruslah lebih bergaya mengikuti zaman. Mereka bisa shoping buku di took-toko
buku ternama, mendatangi pameran buku, bahkan menuliskan pengalamannya. Ida
Cholisa adalah contohnya. Besuamikan guru Bahasa Perancis di SMAN 1 Cilengsi
dengan 2 anak, Ida menumpahkan isi hatinya. Bahkan ketika suami tercinta trkena
jantung bocor dan dirinya sendiri yang divonis kanker payudara stadium 3 oleh
dokter. “Buku ini ibarat obat bagi saya,” Ida berkaca-kaca di redaksi
Annida-online, Sabtu (28/80 lalu.

Kita lihat, apakah Ida Cholisa ini adalah guru
pertama yang menerbitkan buku atau yang terakhir. Saya berharap setelah ini,
akan bermunculan buku-buku yang diterbitkan oleh guru-guru mulai dari setingkat
SD hingga SMA. Jika sudah begitu, betapa asik hidup ini.

 




      

Kirim email ke