http://ferizalramli.wordpress.com/

Diskusi Ekonomi Seri-4: Neo-Liberalis itu sama rusaknya dengan Komunis

Berpolemik tentang baik-buruknya neo-liberalis di Indonesia adalah sebuah 
diskursus panjang melelahkan. Saling klaim keberhasilan disatu sisi dan 
pengkritisan disisi lain adalah sesuatu yang abstrak, sulit dipahami oleh 
kebanyakan masyarakat. Tentu saja ada sisi keberhasilan dari mahzab 
neo-liberalis seperti pertumbuhan ekonomi. Hanya sisi-sisi keberhasilan ini 
dibayar dengan harga yang tidak murah: eksploitasi migas, rusaknya lingkungan 
di Papua dan wilayah pertambangan lainnya, penggundulan hutan, tingginya 
pengangguran, privatisasi BUMN sampai pada ketergantungan kita terhadap hutang 
luar negeri serta lebarnya jurang miskin dan kaya. Ini adalah ekses negatif 
dari mahzab neo-liberalis yang kita hayati selama ini.

Banyak ekonom berkeyakinan bahwa neo-liberalis itu diperlukan untuk melawan 
sistem  komunis. Hanya keyakinan itu perlu disikapi secara bijak. Perlu sebuah 
kesadaran bahwa mahzab ekonomi neo-liberalis dan sistem ekonomi komunis itu 
sama bahayanya. Jika komunis menyerahkan aktivitas ekonominya melalui kebijakan 
sentralistik politbiro partai komunis, neo-liberalisme menyerahkan kebijakan 
ekonominya pada oligarki 3 besar lembaga pemeringkat ekonomi seperti: Standard 
& Poors, Moody dan Fitch.

Prinsip dasar dari neo liberalis itu memberi kepercayaan sepenuhnya pada 
mekanisme pasar dalam menjalankan perekonomian untuk mensejahterakan pelakunya 
(masyarakat). Mahzab ini berkeyakinan bahwa pasar itu adil dalam memberikan 
kesempatan dan informasi bagi seluruh pelakunya. Kenyataannya, mekanisme pasar 
justru dikendalikan segelintir pihak yaitu oligarki 3 besar lembaga pemeringkat 
ekonomi seperti: Standard & Poors, Moody dan Fitch, serta dibantu oligarki 5 
besar Akuntan Publik dunia saat menilai kinerja sebuah institusi ekonomi.

Pasar (baca: masyarakat) mengambil keputusan ekonominya didasarkan penilaian 
dari lembaga tersebut. Jika lembaga itu mengatakan sesuatu itu "hitam" maka 
pasar pun memandang itu juga hitam, begitu sebaliknya. Masalahnya, 
lembaga-lembaga tersebut tidak tidak transparan dan hasil kerjanya sering kali 
tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Disinilah cacat genetik dari 
neo-liberalisme yang ada saat ini.

Lihatlah peringkat yang dilakukan Moody terhadap Lehman Brothers Holding Inc 
(LBHI). Bulan Maret 2008 lalu masih diberi rating A1. Artinya, Lehman Brother 
itu mendapat peringkat: "layak investasi dengan resiko rendah". Padahal 
kenyataannya LBHI keropos dan dipenuhi toxic asset. Bulan September 2008, hanya 
6 bulan setelah mendapatkan nilai baik dari Moody, Lehman Brother bangkrut. 
Kebobrokan dan kebangkrutan kolektif perusahaan-perusahaan yang nota bene 
dinilai baik oleh Moody dan kawan-kawan inilah, yang membuat dunia harus 
menanggung krisis ekonomi. Ini salah satu contoh kasus tidak bertanggung 
jawabnya lembaga pemberi ranting.

Lantas bagaimana memahami neo liberalisme dalam perspektif kepentingan 
Indonesia? Harus disadari lembaga ranting itu bisa melakukan apapun. Jika 
penilaian kinerja berbagai institusi keuangan bisa disulapnya maka hal yang 
sama bisa juga dilakukan terhadap Indonesia. Lembaga ranting, dengan cara-cara 
"abrakadabra", bisa menurunkan peringkat Indonesia; surat hutang Indonesia 
menjadi dinilai junk serta dikatagorikan negara tidak layak investasi. Apabila 
ini terjadi maka akan menyebabkan kepanikan bagi seluruh pelaku pasar di 
Indonesia dan berakibat chaos.

Sebaliknya, mereka pun bisa menyulap ranting Indonesia menjadi sangat baik dan 
sempurna tergantung dari kepentingan pihak-pihak yang ada di lembaga ranting 
tadi. Artinya, jika Indonesia mendapat ranting baik dari Moody dkk., tidak 
harus kita langsung bangga. Bisa jadi itu hanya pujian semu untuk memuluskan 
sebuah kepentingan tertentu.


Dari kehangatan Musim Bunga Tepian Lembah Sungai Isar,

München, 08.06.09

 

Ferizal Ramli


Kirim email ke