Koin Penyok Milikku.
My Diary: Jakarta, Jumat 27 Februari 2009. Pukul. 00.00 WIB

Oleh : Abdul Latief



”aflu mabruk... selamat yah...! 

Two thums up for my very big bro :P

Hari ini kita sama2 lagi seneng, diberkahi Allah...

kenapa? nanti gue kasih tau lo yah...” 



Begitulah tulis seorang rekan di dinding Facebook ku, memberikan selamat atas 
anugerah yang kudapat sebagai Juara-1 Lomba Foto HUT Astra ke-52. Beberapa 
ucapan dan jabat tangan selamat memang aku terima atas anugerah ini sejak di 
kantor sore tadi, begitu juga di dinding facebookku yang kontan aku langsung 
jawab dengan ucapan terima kasih. Namun ucapan sahabatku di atas membuatku 
langsung mengambil telepon genggamku dan mengirimkan sebuah pesan singkat 
untuknya. “Lo di terima jadi Hakim Pengadilan Agama ya?”



“Emang Insting lo sejak dulu selalu di atas rata-rata. Alhamdulillah, baru tadi 
pengumumannya, tetap doakan semoga Allah senantiasa membimbing kita semua, 
Amien..” jawabnya.



“Gw cuma kira-kira aja kok, sebab itulah berita yang paling lo nantikan saat 
ini bukan?. Oya, semoga lo jadi Hakim Surga, bukan Neraka. Karena kaki hakim 
sebelah di neraka, dan sebelahnya lagi di surga. Semua tergantung pilihan lo… 
selamat.”.



Cukup singkat percakapanku dengan Edi Hudiata, seorang rekan jebolan 
Universitas Al Azhar, Mesir yang dalam leluconnya selalu menyamakan dirinya 
dengan fachri, tokoh utama dalam Novel dan Film Ayat-ayat cinta. Namun 
Percakapan itu telah menyempurnakan kebahagiaanku hari ini, padahal sebelumnya 
aku sempat menulis di status Facebook ku “Latief menatap langit, menanti 
jawab-Nya”. Aku sendiri tak mengerti kenapa aku menulis itu, dan tak tahu 
jawaban apa yang kunanti, barangkali saat itu aku sedang membutuhkan secercah 
cahaya yang mencerahkan.



Allah seringkali menegur hamba-Nya dengan jalan yang misterius, dan itulah yang 
terjadi padaku di hari ini, kali ini teguran-Nya begitu manis, aku  meraih 
juara-1 Lomba Foto HUT Astra, yang kembali membangkitkan semangatku di 
perusahaan yang terasa semakin acuh ini, terlebih lagi mendengar kabar dari 
Sobat-ku Edi Hudiata yang lulus test di Mahkamah Agung sebagai Hakim Pengadilan 
Agama telah membuatku meloncat bahagia yang sangat atas keberhasilannya 
memperjuangkan cita-cita sebagai penegak keadilan di negeri ini.



Edi memang adik kelasku di SLTA dulu, namun jalur yang kami lalui hampir sama, 
kami pernah menjabat ketua OSIS di SLTA, dan saat kuliah, aku menjadi Presiden 
Mahasiswa di Kampusku, sedangkan dia sebagai Ketua Keluarga Mahasiswa Banten di 
Mesir. Kami punya hobby yang sama, yaitu menulis. Sebenarnya kami punya kakak 
kelas yang juga memiliki jalur hidup yang serupa yaitu Aan Rukmana yang beda 
setahun di atasku yang juga ketua OSIS dan kini menjadi Staff Ahli Rektorat di 
Univ. Paramadina dan sebentar lagi akan melanjutkan gelar Doktoral nya di 
negeri Paman Sam.



Aku dan Edi sejak dulu menjadi partner diskusi yang saling membangkitkan, 
bahkan sabtu kemarin dia dengan setia memboncengku di motornya dan  menemaniku 
hunting foto di Ciomas Banten sambil terus berdiskusi tentang banyak hal baru 
yang mencerahkan jiwaku, terutama visinya tentang sebuah kehidupan ideal yang 
ingin ditularkannya pada masyarakat sekitar. 



Sejak lulus dari Mesir, ia begitu gundah dengan kehidupan sekitarnya yang penuh 
dengan kebobrokan moral, bahkan kegundahanya sempat aku tuliskan dalam diary-ku 
bertajuk ”Hukumnya Enak”. Semangat Edi sedemikian menggebu tatkala kami 
membahas tentang ide mencerdaskan masyarakat, membangun moral umat dan 
menggapai cita-cita yang sempat kami gantungkan di puncak asa. Namun tetap saja 
dia bermuka masam saat aku bergurau tentang ide membangun rumah tangga dan 
mendesaknya segera mencari pasangan. Ya, begitulah Edi, yang selalu bersikap 
seperti Fahri dalam novel kegemarannya itu.



Malam ini Edi pasti tengah tafakur dalam kamar di atas sajadahnya, sepertinya 
ia tengah mengurai satu persatu air mata syukurnya sambil merangkai design 
ideal dari penegakan hukum di Indonesia. Sedangkan Aku, tengah meniru gayanya, 
namun dengan laptop di depanku dan HeadPhone di telingaku yang hanya 
melantunkan satu lagu yang terus mengalun berulang-ulang ”we will not Go 
Down..!”. 



Aku tengah mengurai kembali benang kusut dari jalur impianku yang mulai 
temaram, targetku saat ini adalah kelar Tesis dan studi pasca sarjanaku dengan 
hasil terbaik. Setelah itu?? Kembali menatap langit dan menanti jawab-Nya... 



Dua bulan yang lalu, sebenarnya aku tengah merangkai kembali Puzzle Impian masa 
kecilku untuk meniru jejak ayahku berkuliah di Jerman. Beberapa informasi 
tentang Jerman aku kembali kumpulkan, beragam jalur studi yang bisa 
menghantarkan ku ke sana mulai aku telusuri, bahkan aku berencana membongkar 
semua kamus dan buku sastra ayahku untuk kursus dan belajar bahasa Jerman, dan 
melanjutkan gelar doktoralku di sana selepas pasca sarjanaku. Namun semua itu 
kembali pupus tatkala keluarga terutama Mamaku tak merestui rencanaku dengan 
alasannya yang tak jelas. Hampir sama ketika Mamaku dulu yang tidak merestui 
aku berangkat Studi ke Sudan. 



Berat hati memang aku mengubur kembali impian itu, demi meraih Ridho Mamaku, 
aku harus kembali berjibaku dengan rutinitasku mengais sesuap nasi di tempat 
ini, tak lebih dari sesuap nasi yang terkadang begitu susah untuk memenuhi 
hajat hidupku, namun satu pesan mamaku yang patut aku renungkan adalah ”Di 
manapun kita belajar, jauh atau dekat, di dalam atau luar negeri, kalau kamu 
tidak kehilangan makna dan tujuan hidup maka kamu akan tetap berhasil. Tak 
usahlah mengejar kekayaan, kebanggan dan kemegahan Hidup, sebab jika suatu saat 
Allah mengambilnya maka yang tersisa adalah harga dan kualitas dirimu yang 
sesungguhnya. Bapakmu adalah bukti nyata akan hal itu..!”.



Malam ini, atau tepatnya dini hari ini, aku kembali merenungi semua anugerah 
selama ini akankah aku kurang mensyukurinya? Aku kembali merapatkan tangan dan 
memancangkan niat, langkah apa yang perlu aku luruskan saat ini? Yang jelas 
sebesar apapun anugerah atau bencana, semuanya tak akan merubah diri kita jika 
pemaknaan hidup kita sudah tepat. Yang paling berbahaya adalah ketika anugerah 
atau bencana merubah diri kita menjadi lebih buruk dan lupa siapa diri kita 
sebenarnya. 



Menutup tulisan ini, aku ingin menyadur sebuah cerita dari buku The Healing 
Stories karya GW Burns. Buku ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang keluar 
dari pekarangan rumahnya, ia berjalan tak tentu arah. Sudah cukup lama ia 
menganggur. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para 
tetangganya sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut 
memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sandang dan pangan.

Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah 
karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang layak. Laki-laki itu 
sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin bahwa perjalanannya kali 
inipun akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan. 

Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya terantuk 
sesuatu. Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya. “Uh, hanya 
sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok,” gerutunya kecewa. Meskipun begitu 
ia membawa koin itu ke sebuah bank.

“Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno,” kata teller itu 
memberi saran. Lelaki itupun mengikuti anjuran si teller, membawa koinnya 
kekolektor. Beruntung sekali, si kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar.

Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan 
dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya 
beberapa lembar kayu sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk 
istrinya karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan 
jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar, dia memanggul 
kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel. Mata pemilik 
bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu. Kayunya indah, 
warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan 
mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar kepada lelaki itu.

Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan 
dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di 
sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan 
meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya 
pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang 
mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu 
mendorong gerobak berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar 
dengan harga 200 dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita 
menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian 
mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang.

Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia 
merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat itu 
seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang 
itu, lalu kabur.

Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya 
berkata, “Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yang diambil oleh 
perampok tadi?”

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah 
koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.

Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam 
kepedihan yang berlebihan?

Hilang Harta dan jabatan bukanlah hilang segalanya, sebab sejak awal itu bukan 
milik kita. Namun hilang kejernihan Hati, itulah bencana hidup yang 
sesungguhnya.

Wallahu A’lam.







NB: 

Sekarang pukul 00.55 WIB, Sobatku Edi Hudiata, belum terlelap. Baru saja dia 
kirim SMS bahwa Ia sedang menyiapkan tulisan “1/2 surga, ½ Neraka” sebagai 
balasan untuk SMS-ku.



The information transmitted is intended only for the person or the entity to 
which it is addressed and may contain confidential and/or privileged material. 
If you have received it by mistake please notify the sender by return e-mail 
and delete this message including any of its attachments from your system. Any 
use, review, reliance or dissemination of this message in whole or in part is 
strictly prohibited. Please note that e-mails are susceptible to change. The 
views expressed herein do not necessarily represent those of PT Astra 
International Tbk and should not be construed as the views, offers or 
acceptances of PT Astra International Tbk.

Reply via email to