ini aku buat pas ribut-ribut mahasiswa
UKI dan YAI beberapa waktu lalu.
di facebook juga ada neh



Mahasiswa Dan Krisis Identitas

Oleh Aji Setiakarya

 

 

Kabar tawuran mahasiswa tersiar lagi di berbagai media. Kali
ini yang terlibat adalah mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan
Yayasan Administrasi (YAI). Menurut data yang dihimpun oleh Kompas (16/10)
tawuran antara UKI dan YAI ini dalam bulan ini mencapai puluhan kali.

 

Kasus UKI dan YAI bukan kasus pertama. Jauh sebelumnya
sering  terdengar tawuran mahasiswa. Di
Makassar misalnya, sering terjadi ribut antara mahasiswa, bahkan se
kampus.  Di televisi tampak terlihat
mahasiswa sering melakukan anarkisme pada tawuran tersebut. Mahasiswa saling
melemparkan batu dan kayu bahkan merusak fasilitas umum dan kampusnya sendiri.
Pada kasus UKI dan YAI ini ditemukan oknum mahasiswa yang menyiapkan diri
dengan senjata tajam. Bak preman mereka tampak siap untuk beradu fisik. 

 

Kekerasan                             

 

Sepertinya bukan hanya kelompok preman yang tergolong dalam
kaum anarkis. Mahasiswa kini juga identik dengan dengan anarkis karena
memanfaatkan cara-cara  kekerasan untuk
menyuarakan jeritan hati atau ide-idenya. Selain  tawuran, mahasiswa juga 
sering terlibat dalam
aksi demonstrasi  yang tidak sehat.
Mereka melakukan longmarch, meneriakan yel-yel sambil menendang pot bunga atau
melemparkan tomat pada beberapa bagian bangunan yang diprotes.  Bahkan tak 
jarang membakar  atau merusak fasilitas umum. Lihat kasus aksi
demonstrasi kenaikan BBM pada akhir Mei 2008 
lalu di depan Istana.  Tragedi
tersebut adalah indikasi bahwa mahasiswa tak bisa mengatur emosionalnya. Mereka
terbawa pada kubangan emosi anarkis.

 

 

Di Banten, keberingasan mahasiswa juga sering terjadi. Pada
sidang paripurna peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Banten ke-8 lalu misalnya,
beberapa mahasiswa mencorat-coret jalan dengan pilok yang sengaja mereka bawa.
Terbawa dengan emosi mereka seolah tak berpikir jika itu adalah tindakan
anarkisme. Apalagi dibarengi dengan 
pembakaran pengrusakan pada baliho secara paksa.   Tawuran
sebenarnya adalah salah satu persoalan yang menjangkiti anak muda (mahasiswa)
negeri ini.  Selain tawuran mahasiswa juga
seringkali menampilkan aktivitas yang tidak terpuji. Misalnya mereka seringkali
menampilkan adegan mesum, mabuk dan aktivitas lainnya yang hanya mengedepankan
hedonisme.

 

 

 

 

 







Krisis Identitas 

 

Anarkisme, tawuran, demonstrasi yang anarkis jelas tidak
sesuai dengan nilai-nilai kemahasiswaan yang dikenal di tengah masyarakat
sebagai agen perubahan, sebagai pengemban moral.  Identitas mahasiswa adalah 
luhur. Ia kemudian
disegani ditengah masyarakat karena ia memiliki “gigi” saat kondisi social di
terpa ketidakjelasanan. Karena itu 
setiap kali mahasiswa berteriak lantang atas sebuah penindasan,
ketidakadilan, turun ke jalan maka tak sedikit masyarakat membantunya secara
sukarela. 

 

Namun era kini, identitas mahasiswa sebagai agent of change,
sebagai penanngung moral luntur oleh budaya kekerasan, adegan mesum dan
tingkahpolah lainnya yang tak terpuji.  Jika
potret tersebut terus ditampilkan mahasiswa, maka identitas mahasiswa yang
luhur pastilah lenyap. Dadi Rsn, salah satu seniman asal Banten ketika melihat
tawuran mahasiswa di televisi  mencak-mencak
agar mereka yang tawuran tidak disebut dengan mahasiswa karena telah mencederai
nilai luhur mahasiwa. Dadi juga mengkritisi tindak tanduk mahasiswa saat ini
yang hanya bisa berdemo namun tidak menunjukan prestasi yang bagus. Menariknya
Dadi meyakini bahwa kebiasaan tawuran itu adalah kebiasaan dari SMA sejak dulu.
Dia memberikan pandangan bahwa jika tidak diberikan bimbingan yang baik. Bukan
tidak mungkin si mahasiswa yang kebetulan memiliki akses yang cukup key DPR
misalnya, mereka akan tawuran di gedung DPR sana.  Selain Dadi banyak lagi 
masyarakat yang mulai
antipati dengan tindak tanduk mahasiswa.  

 

Belajar Pada Laskar Pelangi

 

Mahasiswa idealnya adalah 
kelompok yang memiliki basis moral, intelektual yang tinggi. Makanya kemudian,
Amien Rais menyebut mahasiswa sebagai agent of change. Hal ini mengingat
mahasiswa/akademisi adalah tulung punggung masyarakat untuk sebuah perubahan
Jika kini di tengah mahasiswa melakukan anarkisme, pasti ada yang salah dengan
pola pendidikan kita. Tentu
saja bukan kesalahan lembaga penddidikan tempat mereka berada seperti UKI atau
YAI. Saya yakin benih-benih untuk berbuat  kekerasan itu sudah tumbuh sejak 
mereka SMA.
Maka itu hanya menyalahkan  perguruan
tinggi tidaklah tepat. Yang perlu diintrospeksi adalah sistem pendidikan dari
mulai SD hingga SMA. 

 

Menyaksikan
tawuran mahasiswa itu saya teringat dengan buku dan film Laskar Pelangi yang
belakangan ini sedang mewabah di nusantara. Dari sana saya dapatkan pesan bahwa
ada hal yang telah dilupakan oleh segenap pengelola lembaga pendidikan atau ahli
pendidikan saat ini. Juga dengan orangtua kita. Yakni semangat mengajar dengan
hati. Seni mengajar yang diterapkan disekolah saat ini adalah semangat nilai
yang mengedepankan otak ketimbang hati. Yang terjadi adalah  kita pintar namun 
tak memiliki kepekaan sosial
terhadap lingkungannya.    

 

Seorang
guru  bernama Bu  Muslimah yang  tak memiliki pendidikan tinggi ternyata mampu
menumbuhkan semangat kepada anak-anaknya. Semangat untuk memberikan rasa
percaya diri kepada anak kampung yang tak memiliki harta untuk bersekolah
hingga bisa mencapai cita-cita yang tinggi. Semangat untuk menjaga nilai moral.


 

Tawuran yang
ditontonkan oleh mahasiswa  pada beberapa
televisi dan media lainnya adalah sebuah tanda telah terjadi kesalahan pola
pendidikan kita. Sudah saatnya kita menata kembali pola pendidikan yang ideal
yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, moral dan  hati ketimbang otak atau 
secarik kertas yang
berisi angka-angka. Pintar tapi tak bermoral.

 

 

Aji Setiakarya,
Mahasiswa Untirta

Bergiat di Rumah Duniawww.setiakarya.wordpress.com
 

 




      

Kirim email ke