Ini artikel saya yang dimuat Harian Sore Sinar Harapan, tanggal 18 April 2006.
  Artikel tersebut mencoba meluruskan permasalahan rebutan 22 pulau di kawasan 
kepulauan seribu. Semangat Banten merebut ke 22 pulau harus disertai dengan 
konsep yang jelas dalam pengelolaan pulau.
   
  A. Solihin
  Staf Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB
   
   
  Banten, DKI Jakarta, dan 
Kepulauan Seribu     
  
Oleh
Akhmad Solihin

Sejak Banten terpisah dari Jawa Barat, tuntutan kepada Provinsi DKI Jakarta 
oleh Provinsi Banten mengenai kepemilikan 22 pulau di Kepulauan Seribu semakin 
menguat seiring dengan rencana Sutiyoso mengusung konsep megapolitan yang akan 
dimasukkan dalam revisi UU No 34/1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah 
Khusus Ibu Kota Jakarta.
Momen megapolitan ini dijadikan Provinsi Banten sebagai bargaining position 
dalam menegaskan status kepemilikan 22 pulau di Kepulauan Seribu. Tuntutan 
tersebut sangat beralasan, karena secara geografis 22 pulau tersebut dekat 
dengan Banten. Tuntutan itu didasari oleh landasan hukum yang jelas, yaitu UU 
Pemerintahan Daerah.
Sengketa soal wilayah ini bukanlah satu-satunya pascapemekaran/pembentukan 
daerah baru. Misalnya saja sengketa kepemilikan Pulau Berhala antara Provinsi 
Jambi dengan Provinsi Kepulauan Riau. Umumnya, argumen sengketa kepemilikan 
pulau adalah sama: sejarah, geografis, dan dasar hukum.
Konflik kepemilikan Kepulauan Seribu sudah sejak abad 16 ketika Fatahillah 
ditarik ke Cirebon. Selama kepemimpinan Fatahillah di Jayakarta (Jakarta) 
sepanjang 39 tahun, hubungan Banten-Jayakarta sangat harmonis dan saling bahu 
melawan imperialis Portugis.

Dasar Hukum
Tuntutan Provinsi Banten didasarkan pada UU No 22/1999 tentang Pemerintahan 
Daerah yang kemudian diganti oleh UU No 32/2004. Pada Pasal 18 ayat (4) 
disebutkan kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya laut paling jauh 12 
mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan 
kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk 
kabupaten/kota. 
Penarikan garis batas, yaitu apabila wilayah laut antara dua provinsi kurang 
dari 24 mil, wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis 
tengah dari wilayah antardua provinsi. Pengaturan tersebut mengadopsi hukum 
internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea - 1982), yaitu 
konsep sama jarak dan garis tengah. Untuk sengketa Banten-DKI Jakarta, konsep 
sama jarak dan garis tengah hanya di atas kertas alias tidak dilaksanakan.
Secara sepihak, dengan dukungan penuh Pemerintah Pusat, Provinsi DKI Jakarta 
berhak atas kepemilikan seluruh pulau di Kepulauan Seribu tanpa memperhatikan 
aspek sejarah, sosiologis dan geografis. Dukungan pusat tercermin dengan 
disahkannya UU No 34/1999 dimana secara sepihak kepulauan itu dimasukkan 
menjadi bagian DKI Jakarta. 
Kemudian terbit PP No 55/2001 yang mengukuhkan Kepulauan Seribu sebagai 
kabupaten administratif di bawah DKI Jakarta. Kalau DKI Jakarta mau menggunakan 
UU No 22/1999 yang digantikan UU No 32/2004 sebagai landasan hukum, provinsi 
ini seharusnya mengambil batas wilayah sebelah utara yang berbatasan langsung 
dengan Tangerang diukur 12 mil laut dari Laut Jawa secara garis lurus, bukannya 
12 mil laut dari Kepulauan Seribu. Inilah pangkal konflik.

Penyelesaian 
Hal menarik yang patut disikapi adalah pernyataan Achmad Suaedy, Ketua Komisi A 
DPRD DKI Jakarta. Ia mengatakan, kalau persoalannya sampai dengan upaya untuk 
merebut, sebaiknya penyelesaian itu diserahkan kepada warga Kepulauan Seribu 
untuk menentukan nasibnya sendiri. Warga diberi kesempatan memilih masuk Banten 
atau Provinsi DKI.
Pernyataan tersebut mencerminkan, secara sejarah, geografis, dan hukum, 
Provinsi DKI Jakarta bisa kalah dalam kasus sengketa kepemilikan pulau ini. 
Sehingga, mereka menyerahkan masalah ini kepada masyarakat untuk memilih. 
Jelas, kalau ini dilakukan masyarakat akan memilih ke DKI Jakarta, karena 
anggaran (APBD) yang diberikan sangat besar. 
Untuk tahun 2006 saja Provinsi DKI Jakarta mengalokasikan sekitar Rp 350 miliar 
untuk wilayah Kepulauan Seribu. Dengan tidak bermaksud menyampingkan peran 
masyarakat, UU No 32/2004 telah memuat aturan mengenai penyelesaian sengketa 
atau perselisihan antardaerah. 
Pada Pasal 198 ayat (2) disebutkan, apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, 
antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan 
kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan 
perselisihan tersebut.
Meski tak diatur secara rinci cara-cara penyelesaian sengketa, kesepakatan 
kedua belah pihak adalah hal utama yang harus diperhatikan Depdagri. Tentu 
saja, hal ini harus mengacu pada cara penarikan garis batas sesuai 
undang-undang. Bukannya menyerahkan begitu saja kepada masyarakat secara 
sepihak.
Disarankan bila tidak tercapai titik temu, perlu disusun kebijakan pengelolaan 
bersama di wilayah yang dipersengketakan.

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana hukum internasional Universitas 
Padjadjaran

                
---------------------------------
Love cheap thrills? Enjoy PC-to-Phone  calls to 30+ countries for just 2ยข/min 
with Yahoo! Messenger with Voice.

[Non-text portions of this message have been removed]



Tetap Semangat Mencintai Banten! 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wongbanten/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to